Misteri di Balik Putusan MK 'Kepala Daerah Belum 40 Tahun Bisa Nyapres'

16 Oktober 2023 18:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim MK Saldi Isra. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim MK Saldi Isra. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan 90/PUU-XXI/2023 dibalut misteri. Bukan dari pihak eksternal, misteri tersebut bahkan dilontarkan langsung oleh salah satu hakim konstitusi, Saldi Isra.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua MK itu mempertanyakan putusan yang dikeluarkan oleh lembaganya sendiri. Adapun putusan MK terkait gugatan itu mengubah Pasal 169 huruf q dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.
Namun, putusan tidak diambil dengan suara bulat. Putusan mengabulkan sebagian ini disetujui oleh 5 hakim MK, yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic. Dua hakim yang terakhir disebut mempunyai alasan berbeda dalam pertimbangannya.
Sementara 4 Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Keempatnya menilai gugatan layak ditolak.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," kata Saldi Isra yang memiliki pandangan berbeda dengan hakim lain terkait mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, Senin (16/10).
ADVERTISEMENT
"Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya Mahkamah pun menolak permohonan a quo," sambungnya.
Berikut misteri yang disampaikan oleh Saldi Isra:

Di Luar Kewajaran, MK Berubah Sikap dengan Cepat

Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Saldi Isra mengaku proses putusan permohonan ini aneh. Dia menyebut, sejak pertama kali menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini ia merasakan hal tersebut.
"Aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi Isra.
Hal tersebut bukan tanpa sebab. MK sebelumnya memutus perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa urusan usia dalam norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang.
Ketiga putusan itu berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 19 September 2023. Dalam RPH yang tak dihadiri Anwar Usman itu, mayoritas hakim menolak gugatan.
ADVERTISEMENT
Saldi mengatakan, putusan tiga gugatan itu sejatinya telah menutup ruangan adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Dua hari berselang, MK kembali menggelar RPH untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada saat itu, Anwar Usman kemudian ikut dalam rapat. Hasilnya, MK mengabulkan gugatan tersebut secara sebagian.
"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya," ucapnya.
Dia mempertanyakan, apa fakta penting yang telah berubah di masyarakat sehingga MK mengubah pendiriannya dari putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengikuti sidang putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Berbeda usai Anwar Usman Datang

Saldi mengatakan, MK menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada 19 September 2023. Dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, tanpa Anwar Usman.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, enam hakim konstitusi, memutus perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, menolak permohonan dan tetap memposisikan pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai open legal policy.
Dua hakim konstitusi lain beda sikap. Meski tetap memposisikan pasal tersebut sebagai open legal policy.
Kemudian dalam RPH selanjutnya pada 21 September 2023, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua dilakukan. Yakni membahas permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pada RPH ini, sembilan hakim hadir lengkap. Hasilnya, berbeda dan menilai pasal 169 huruf q UU Pemilu, membuka ruang untuk alternatif petitum sebagaimana dimohonkan oleh Almas.
"Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023," kata Saldi Isra.
Almas Tsaqibbirru (tengah) mengkuti sidang gugatan usai capres-cawapres. Foto: Dok. Istimewa
"Tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pendapat beberapa hakim dari putusan mahkamah konstitusi nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet," sambung dia.
ADVERTISEMENT
Saldi bahkan mengatakan, pembahasan putusan permohonan itu sempat terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali.

Permohonan Sempat Dicabut

Dalam proses pembahasan RPH tersebut, ditemukan persoalan yang berkaitan dengan formalitas pemohon yang memerlukan kejelasan dan kepastian. Sebab, para pemohon ternyata pernah menarik permohonannya. Namun sehari setelah penarikan, justru kembali membatalkannya.
"Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan lain selain mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengkonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan kepada pemohon," kata dia.
"Terlepas dari misteri yang menyelimuti dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian hakim konstitusi dalam putusan mahkamah konstitusi 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk UU, kemudian 'pindah haluan' dan mengambil posisi akhir dengan mengabulkan sebagian perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut," sambungnya.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengikuti sidang putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam putusan tersebut, lima hakim konstitusi mengabulkan sebagian permohonan. Tiga di antaranya memadankan 'berusia paling rendah 40 tahun' dengan 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
ADVERTISEMENT
Sementara dua hakim konstitusi lainnya, ada pada rumpun 'mengabulkan sebagian'. Dua hakim itu memadankan dengan 'pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur'.
"Sekalipun memadankan dengan jabatan gubernur, keduanya menyerahkan kriteria gubernur yang dapat memadankan dengan berusia paling rendah 40 tahun tersebut kepada pembentuk UU," kata Saldi Isra.
Sementara empat hakim lain, termasuk dirinya, menolak mengabulkan gugatan tersebut. Berikut komposisinya:
Mengabulkan: Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic.
Menolak: Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Berikut misteri lain yang diungkapkan oleh Saldi Isra:
Pertanyaan "ringan" dan sekaligus menggelitik yang mungkin dapat dimunculkan bilamana RPH untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, apakah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas Hakim sebagai kebijakan hukum terbuka sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023?
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, jika RPH memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan Hakim tanpa dihadiri Hakim Konstitusi Anwar Usman, apakah Putusan Mahkamah untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 akan tetap sama atau sejalan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023?
Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi Hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel "sebagian". sehingga menjadi "mengabulkan sebagian".