MK: Presiden Harusnya Batasi Tampil dengan Kandidat Tertentu di Pemilu 2024

22 April 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Hakim MK Saldi Isra saat sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).
 Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) berbincang dengan Hakim MK Saldi Isra saat sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyimpulkan bahwa seharusnya Presiden petahana, dalam hal ini Joko Widodo, membatasi diri untuk tampil bersama kandidat capres-cawapres yang turut berkontestasi dalam Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
“Bahwa menurut Mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan Presiden petahana untuk menahan/membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan/dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam Pemilu,” kata Hakim MK Ridwan Mansyur saat membacakan pertimbangan putusan atas gugatan atau permohonan yang diajukan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4).
Paslon 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendengarkan Hakim MK membacatan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kesediaan dan kerelaan Presiden untuk membatasi diri tersebut diperlukan agar hal sama tidak terjadi pada level di bawahnya. Agar petahana serupa dalam kontestasi pilkada tak menerapkan hal serupa. Agar terjaga serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia.
Kendati begitu, hal yang disampaikan MK hanyalah sebagai sesuatu yang diidealkan. Sebab, kerelaan semacam itu berada pada moralitas masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Kerelaan adalah wilayah moralitas, etis, atau pun fatsun, sehingga posisi yang berlawanan dengannya, yaitu ketidaknetralan, tentunya tidak dapat dikenai sanksi hukum kecuali apabila wilayah kerelaan demikian telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang,” imbuh Ridwan.
Presiden Jokowi makan Bakso bersama Menhan sekaligus capres nomor urut 1 Prabowo Subianto di Bakso Bandongan Pak Sholeh, Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
MK menilai, metode kampanye dengan melekatkan citra petahana bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Namun, endorsement atau perlekatan citra diri demikian, sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang Presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara.
“Di mana seharusnya Presiden bersangkutan berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan,” ujar Ridwan.
Menhan Prabowo Subianto mendampingi Presiden Jokowi meresmikan Graha Utama Akademi Militer di Magelang, 29 Januari 2024. Foto: Dok. kemhanri
Pada sisi lain, MK menilai kedudukan Presiden memang dilematis, antara posisinya sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan hasil pemilihan umum yang juga sekaligus sebagai kepala negara simbol kedaulatan negara; sebagai kader dari partai politik yang mengusungnya dalam pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
“Sekaligus sebagai warga negara Indonesia yang secara asasi mempunyai hak berpolitik,” pungkas Ridwan.
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri acara penyerahan Pesawat ke-4 C-130J-30 tail number A-1344, Helikopter AS550 Fennec dan AS565 MBe Panther di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan