MK Soroti Netralitas Eksekutif, Sarankan UU Pemilu Diubah

22 April 2024 12:08 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyoroti netralitas eksekutif khususnya dalam menggunakan program pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan elektoral dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Hakim MK pun meminta agar dibentuk aturan baru sebelum pemilu selanjutnya.
“Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan norma hukum yang mengatur pembatasan-pembatasan atas penggunaan dan/atau pengkaitan antara program pemerintah/negara dengan kepentingan pribadi, terutama dalam kaitannya dengan kontestasi pemilu maupun kepentingan elektoral lainnya, merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang [antara lain Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945] yang norma hukum demikian perlu segera dibentuk sebelum pelaksanaan pemilu berikutnya termasuk pemilihan kepala daerah,” kata Ridwan.
Hal itu diungkapkan Ridwan saat membacakan pertimbangan putusan terkait sengketa pilpres 2024 yang diajukan paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, di gedung MK, Jakarta, Senin (22/4).
Presiden Jokowi cek harga pangan dan bagikan bansos di Pasar Mungkid, Magelang, 29 Januari 2024. Foto: Dok. BPMI Setpres/Kris
Para hakim MK menyebut aturan pembatasan ini digunakan bukan untuk mengatur kebebasan melainkan agar tidak ada perbuatan yang merugikan hak konstitusional orang lain.
ADVERTISEMENT
“Penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa UUD 1945 membatasi pemenuhan hak asasi manusia bukan dalam arti UUD 1945 bersikap sewenang-wenang,” katanya.
“Melainkan justru demi mencegah munculnya situasi kebebasan yang paradoks, yaitu situasi manakala pemenuhan hak seseorang ternyata menimbulkan kerugian hak bagi orang lain,” tutur Ridwan.