MK Ubah Aturan Parpol Usung Calon Kepala Daerah, Apa Pertimbangannya?

20 Agustus 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: ardiwebs/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: ardiwebs/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan dalam UU Pilkada mengenai syarat bagi parpol untuk mengusung kepala daerah. Kini, syarat bagi parpol, disamakan dengan syarat bagi calon independen atau perseorangan.
ADVERTISEMENT
Aturan mengenai syarat parpol dalam mengajukan calon kepala daerah termuat dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atau UU Pilkada.
Gugatan kemudian diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili Ir. H. Said Iqbal, M.E. sebagai Presiden dan Ferri Nurzali, S.E., S.H. sebagai Sekretaris Jenderal (Pemohon I) dan Partai Gelora Muhammad Anis Matta sebagai Ketua Umum dan Mahfuz Sidik sebagai Sekretaris Jenderal (Pemohon II). Mereka mempersoalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada yang berbunyi:
Pasal 40 ayat (3)
Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
ADVERTISEMENT
Aturan itu membuat bahwa parpol yang dapat berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah hanya yang punya kursi di DPRD.

Pertimbangan MK

Suasana gedung Mahkamah konstitusi (MK) di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat jelang sidang pembacaan putusan MKMK, Selasa (7/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
MK sependapat bahwa aturan yang digugat tersebut membatasi pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Akibatnya, mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
"Sebab, suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya," kata Hakim MK.
MK menyebut bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis. Salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon.
ADVERTISEMENT
"Sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," ujar Hakim MK.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Keberadaan pasal tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada. Maka MK berpendapat perlu juga menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sebagai bagian dari norma yang mengatur mengenai pengusulan pasangan calon.
Pasal itu berbunyi:
Pasal 40 ayat (1)
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Menurut MK, menjadi tidak rasional jika syarat bagi calon perseorangan lebih besar dibanding calon yang diusulkan parpol. Misalnya, untuk pemilihan Gubernur dengan jumlah pemilih tetap dalam provinsi sampai dengan 2 juta jiwa, maka syarat calon perseorangan itu harus didukung paling sedikit 10% dari angka keseluruhan.
Oleh karenanya, MK menilai syarat jalur perseorangan dan parpol harus diselaraskan.
"Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan," kata MK.

Apa Syarat Calon Kepala Daerah Jalur Perseorangan?

Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Syarat dukungan bagi calon perseorangan untuk mendaftar pilkada diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU Pilkada. Berikut bunyinya:
(1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
ADVERTISEMENT
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
ADVERTISEMENT
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
(2) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
ADVERTISEMENT
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
ADVERTISEMENT

MK Ubah Aturan Syarat Dukungan Parpol

Sejumlah bendera partai politik (Parpol) terlihat terpasang di Jalan Layang MT Haryono, Cawang, Jakarta, Rabu (17/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Menurut MK, mempertahankan persentase syarat dukungan parpol untuk mengusulkan calon kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu. Maka, MK menilai Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Kini syarat bagi perseorangan juga diberlakukan bagi calon dari parpol. Pengusulan calon kepala daerah dilakukan berdasarkan perolehan suara.
Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada kini berubah menjadi:
“Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
ADVERTISEMENT
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta), partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut
ADVERTISEMENT
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut
ADVERTISEMENT
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut.
Dalam putusan tersebut, MK juga menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini diketok oleh 9 Hakim MK. Diwarnai alasan berbeda Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh serta pendapat berbeda Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.

Apresiasi untuk MK

Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perludem, mengapresiasi putusan MK tersebut. Ia menilai putusan MK itu progresif.
"Kabar gembira dan putusan yang sangat progresif dalam rangka menghadirkan kontestasi pilkada yang lebih adil dan menyajikan keragaman atau plurasime pilihan politik bagi warga. Selain itu putusan MK No 60 tahun 2024 ini merekonstruksi syarat pencalonan yang lebih memudahkan partai politik untuk bisa mengusung pasangan calon di pilkada serentak 2024, baik pilkada gubernur atau pun bupati/wali kota," kata Titi.
ADVERTISEMENT
"Putusan ini progresif wajib kita dukung dan apresiasi kepada MK termasuk Partai Buruh dan Gelora sebagai pemohon. Harapannya kita lebih bisa mendapatkan keragaman pilihan pasangan calon yang diusung oleh parpol dengan syarat yang lebih moderat. Kalau dulu 25 persen suara sah, dengan syarat yang baru ini untuk Jakarta saja misalnya kalau 25 persen dan semua partai mengambil peluang itu bisa mendapat 3 pasangan calon karena 7,5% kali 3 saja itu masih kurang dari 25 persen," sambungnya.
Ia berharap para parpol untuk mengambil peluang atas putusan MK ini. Masyarakat pun dinilai diuntungkan karena membuka peluang calon yang beragam.
"Sehingga kader terbaik partai bisa dicalonkan dan pemilih juga tidak harus berhadapan dengan fenomena calon tunggal atau calon yang diusung oleh koalisi yang obesitas sehingga melemahkan fungsi dan peran kontrol parpol di parlemen yang juga bisa melemahkan efektivitas parlemen kita," pungkasnya.
ADVERTISEMENT