Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Para Pemburu Emas Pulau Buru yang Tak Takut Mati
20 Maret 2017 9:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Ironis. Cairan perak mematikan itu justru menjadi sumber penghidupan para penambang liar di Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Dengan larutan perak yang biasa disebut merkuri atau air raksa, ribuan penambang berburu emas di Buru --pulau terbesar ketiga di Maluku yang dahulu terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru.
“Enggak takut sama perak (merkuri). Kalau takut, nanti keluarga saya enggak makan,” kata Hartono, pria asal 40 tahun asal Pati, Jawa Tengah, saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di Gunung Botak, Buru, Jumat (10/3).
ADVERTISEMENT
Penambang lainnya, M Kasim Warhangan, juga tak khawatir bersentuhan dengan merkuri. Ia bahkan tidak percaya merkuri bisa mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan.
“Di sini pada sehat semua,” kata lelaki 70 tahun itu. Ia tiap bulannya memperoleh sekitar Rp 10 juta dari hasil tambang.
Air raksa atau merkuri memang banyak digunakan penambang ilegal karena dianggap memiliki kekuatan mengikat emas lebih baik dari zat lain. Sehingga, pasir emas yang dicampur dengan merkuri akan menghasilkan emas murni dalam jumlah lebih banyak.
Larutan merkuri diperlukan untuk memisahkan (mengekstraksi) emas dari pasir. Proses ekstraksi tersebut dikenal dengan istilah amalgamasi.
Melalui amalgamasi, terbentuk ikatan senyawa antara emas dan merkuri. Merkuri mengikat butiran-butiran emas padanya, dan memisahkan emas itu dari pasir.
ADVERTISEMENT
Banyak penambang liar di Gunung Botak menampik menggunakan merkuri untuk memurnikan emas. Namun, hasil penelitian di lapangan menunjukkan hal berbeda. Misalnya pada survei yang digelar Medicuss Foundation, organisasi kemanusiaan yang beranggotakan dokter dan tenaga medis.
“Penggunaan merkuri di daerah Gunung Botak dan Wansait sangat luar biasa banyaknya… mereka (penambang) menggunakan teknik pengikatan emas menggunakan merkuri, juga menggunakan tong-tong resapan yang menggunakan sianida,” demikian petikan Laporan dan Rekomendasi Survey Masalah Merkuri di Pulau Buru yang disusun Medicuss Foundation bersama Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemerintah Daerah Maluku.
Jossep Frederick William, dokter yang tergabung dalam Medicuss Foundation, mengatakan merkuri untuk memurnikan emas hasil penambangan di Gunung Botak, memang kemungkinan tidak digunakan secara langsung di gunung itu.
ADVERTISEMENT
Namun, ujar Jossep, merkuri tampak digunakan pada tempat pengolahan emas di Desa Wansait yang berlokasi di kaki Gunung Botak. Setelah dicek, diketahui bahwa sejumlah titik di Wansait itu mengandung merkuri dengan kadar melampaui ambang batas.
Padahal, merkuri mengundang beragam penyakit. Keracunan merkuri dalam dosis rendah dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti penurunan daya ingat, penurunan kemampuan meraba, mendengar, melihat, gangguan bicara, sensoris, dan koordinasi gerak, peningkatan rasa letih; gangguan kardiovaskular seperti penurunan sistem imun; serta gangguan reproduksi seperti penurunan tingkat kesuburan dan cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Pada anak, keracunan merkuri dosis rendah dapat menyebabkan keterlambatan bicara, keterlambatan kemampuan berjalan, penurunan kemampuan berkonsentrasi, dan autisme.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, sebagian penambang tak percaya merkuri ialah zat berbahaya. Bahkan beberapa penambang mengaku pernah meminum merkuri alias air raksa perak itu.
Penambang peminum merkuri itu ialah Usep, lelaki asal Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ia meminum raksa secara tak sengaja beberapa tahun lalu, saat belum mulai berburu emas di Buru.
Ketika itu Usep masih menambang di Jawa Tengah. Ia yang merasa kegerahan saat baru keluar dari lubang tambang, langsung menyambar botol plastik dan meminum isinya. Celakanya, belakangan kawannya memberi tahu, botol isi berisi merkuri, bukan air putih.
“Waktu itu langsung saya tenggak karena haus. Perbedaan yang agak terasa, cairannya lebih berat,” kata Usep.
“Ini saya masih sehat dan masih kuat bekerja,” ujar Usep, merasa aman-aman saja meski terang telah terpapar logam berat.
ADVERTISEMENT
Rasa aman juga dimiliki oleh para penambang lain di Gunung Botak. Kebanyakan pemburu emas di lokasi itu bukan anak kemarin sore. Mereka sudah kerap berpindah dari satu wilayah tambang ke wilayah yang lain di berbagai daerah di Indonesia.
Berbagai tambang ilegal berskala kecil tersebut, menurut para penambang itu, hampir seluruhnya menggunakan merkuri si racun perak.
Meski para penambang liar merasa sehat-sehat saja, bukan berarti mereka kebal terhadap racun merkuri.
“Dampak merkuri memang tidak langsung, tapi 5 sampai 10 tahun kemudian baru terlihat,” kata Jossep F. William dari Medicuss Foundation di kantornya, Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/3).
Jossep ialah anggota tim yang menyusun Laporan dan Rekomendasi Survey Masalah Merkuri di Pulau Buru. Dia pun meneliti langsung dampak merkuri di beberapa lokasi pertambangan, termasuk Buru.
ADVERTISEMENT
Gejala keracunan merkuri pada orang dewasa misalnya terlihat pada gusi yang memiliki karang seperti logam kehitaman. Ciri-ciri itulah, ujar Jossep, yang tampak pada sebagian besar penambang di Gunung Botak.
Bila kadar merkuri dalam darah melebihi ambang batas, penurunan fungsi refleks akan terjadi. Hal ini, menurut Jossep, bisa dicek dengan mudah.
“Misalnya lewat uji memberi titik di atas kertas selama satu menit. Normalnya, dalam satu menit itu, orang bisa membuat 60 titik. Tapi bagi mereka yang sudah terkena merkuri, hasilnya bisa kurang dari itu. Pernah saya temui, satu menit hanya bisa buat 20 titik,” kata Jossep.
Paling kasihan adalah dampak merkuri pada janin di kandungan. Ia bisa terkena Sindrom Minamata. Awalnya saat baru dilahirkan, si bayi terlihat normal sampai usia 3 tahun. Namun setelah itu, dia akan mengalami penurunan fungsi syaraf, yang berakhir dengan kelumpuhan.
Sindrom Minamata dikenal luas sebagai kelainan fungsi saraf akibat keracunan air raksa. Pada level rendah, korban mengalami kesemutan dan lemas. Di tingkat medium, ia mengalami penyempitan sudut pandang pada mata, dan berkurangnya kemampuan berbicara dan mendengar.
ADVERTISEMENT
Jika sudah sampai tingkat akut, kondisi korban terus memburuk. Ia akan mengalami kelumpuhan, kegilaan, koma, dam akhirnya mati.
Minamata, nama sindrom itu, berasal dari nama kota di Jepang yang menjadi asal mula ditemukannya wabah tersebut pada tahun 1958. Saat itu di Minamata, ratusan orang mati setelah lebih dulu mendadak lumpuh.
Para pakar kesehatan Negeri Sakura lantas melakukan penyelidikan, dan terkuaklah bahwa warga Minamata keracunan logam merkuri dari ikan-ikan yang mereka makan. Ikan-ikan di Teluk Minamata ternyata mengandung merkuri dari pabrik batu baterai.
Sampai saat ini, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Namlea belum pernah menerima laporan mengenai anak dengan Sindrom Minamata. Namun, itu bukan berarti tak ada bocah dengan Sindrom Minamata di Buru.
ADVERTISEMENT
“Besar kemungkinan ada, tapi tidak dilaporkan. Karena masyarakat di sini menyembunyikan anak yang dianggap cacat,” kata Kepala Pelayanan dan Perawatan Medis RSU Namlea, Una Soamole, di kantornya, Sabtu (11/3).
Meski dampak merkuri baru akan terlihat 5-10 tahun setelah orang tersebut terkontaminasi, Medicuss Foundation memprediksi masalah-masalah kesehatan di Buru akan muncul dalam waktu lebih dekat karena paparan merkuri yang masif di pulau itu.
Jika sudah begitu, apa masih tak takut mati?