Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Perang Bintang di Korps Bhayangkara: dari Ferdy Sambo ke Teddy Minahasa (1)
24 Oktober 2022 12:29 WIB
·
waktu baca 11 menit“Saya siap jadi Kapolri. Saya akan sapu bersih orang-orang kayak Sambo .”
Irjen Teddy Minahasa dua bulan terakhir ini mengungkapkan intensinya untuk menjadi Kapolri. Niatan itu muncul beberapa saat usai kasus penembakan Brigadir Yosua yang didalangi eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo.
“Sebetulnya banyak, Om, orang yang kayak [Sambo] gitu di Polri,” kata Teddy via WhatsApp kepada salah satu kenalan dekatnya medio Juli–Agustus 2022.
Ketika itu, Teddy masih menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat. Ia punya kebiasaan memanggil kawan-kawannya dengan sapaan “Om”.
Namun, niat Teddy menjadi Kapolri kini tinggallah niat. Ia malah tersangkut kasus narkoba. Teddy diduga terlibat peredaran 5 kg sabu-sabu, dengan 1,7 kg di antaranya telah diedarkan di Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Lima kilogram sabu-sabu itu merupakan bagian dari 41,4 kg barang bukti kasus narkoba milik Polres Bukittinggi yang seharusnya dimusnahkan.
Kasus Teddy bermula dari penangkapan HE, seorang pengedar sabu-sabu, pada 10 Oktober 2022 oleh Polda Metro Jaya. HE mengaku mendapat sabu dari AR yang bersumber dari AD, seorang anggota Polres Jakarta Barat.
Berikutnya, AD mengaku mendapat sabu dari Kapolsek Kalibaru Kompol Kastranto dan anggota Polres Tanjung Priok Aiptu Janto Situmorang. Sementara keduanya mengaku mendapat sabu-sabu dari seseorang bernama Linda Pujiastuti yang kerap mengadakan pertemuan dengan AW.
AW lantas ditangkap pada 12 Oktober bersama seseorang berinisial A. Dari keduanya, polisi menyita 1 kg sabu-sabu.
Rangkaian penangkapan dan pengakuan para tersangka pengedar sabu-sabu tersebut pada akhirnya mengarah kepada sumber utama peredaran sabu yang diduga berasal dari eks Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara.
Doddy dan Linda kemudian menyeret nama Teddy sebagai pihak yang terlibat. Mereka menyebut Teddy mengendalikan peredaran sabu-sabu tersebut.
Jumat, 14 Oktober, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Teddy sudah ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka, dan ditaruh di penempatan khusus Divpropam Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan etik dan menunggu proses pidana.
“Saya minta agar Kadiv Propam melakukan pemeriksaan etik untuk kemudian diproses dengan ancaman hukuman PTDH (dipecat). Selain itu, Kapolda Metro lanjutkan proses penanganan kasus pidananya,” ujar Kapolri.
Padahal, baru empat hari sebelumnya Listyo menunjuk Irjen Teddy Minahasa sebagai Kapolda Jawa Timur menggantikan Irjen Nico Afinta yang dimutasi usai tragedi di Stadion Kanjuruhan . Penunjukan itu tertuang dalam surat telegram bernomor ST/2134/X/KEP/2022 yang dikeluarkan Kapolri pada 10 Oktober.
Alhasil, Kapolri menerbitkan telegram pembatalan penunjukan Teddy sebagai Kapolda Jatim. Kini, Irjen Toni Harmanto—yang sebelumnya Kapolda Sumatera Selatan—mengisi jabatan tersebut.
Teddy belum lagi tiba di Jawa Timur ketika ditangkap dan dicopot dari posisinya.
Penangkapan Teddy bertepatan dengan pemanggilan para perwira Polri ke Istana Merdeka oleh Presiden Jokowi. Total 559 perwira menghadap Jokowi, termasuk para pejabat Mabes Polri dan Kapolres serta Kapolda se-Indonesia.
Pada kesempatan itu, Jokowi meminta Korps Bhayangkara segera berbenah diri, mulai dari mengerem gaya hidup mewah, meredam tindakan sewenang-wenang, meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menjaga soliditas di internal Polri menjelang pemilu, sampai memberantas judi online.
Pesan Jokowi untuk ratusan perwira Polri tersebut menyusul deretan kasus yang membuat Korps Bhayangkara terus menjadi sorotan publik selama empat bulan ke belakang—bermula dari kasus Sambo, disusul isu konsorsium judi yang dibekingi aparat, disambung tragedi tewasnya 134 suporter bola di Kanjuruhan, hingga perkara narkoba yang menjerat Teddy Minahasa.
Kapolri menyebut kasus terakhir itu menjadi momen “bersih-bersih” di institusinya. Di sisi lain, kasus tersebut juga mencuatkan tagar “perang bintang” di media sosial.
Rivalitas di Tubuh Polri
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berpendapat, tak mungkin Kapolri asal menunjuk perwira sebagai Kapolda tanpa mengecek latar belakangnya terlebih dahulu. Dalam pengecekan awal, Teddy diyakini tak memiliki sangkut paut dengan masalah narkoba.
Menurut Reza, jika Teddy memang terlibat perkara pidana, namanya tak mungkin masuk ke meja Kapolri dalam pencalonan Kapolda Jatim. Namun, seorang sumber di internal Polri mengisyaratkan bahwa kasus narkoba Teddy tidak terdeteksi di awal sehingga namanya tetap masuk bursa Kapolda Jatim. Ini terjadi karena sistem pembinaan karier belum diterapkan dengan konsisten di Polri.
“TM (Teddy Minahasa) bisa lolos karena mutasi tidak melalui mekanisme yang benar sehingga terjadi kekacauan di tubuh Polri. Orang yang ditempatkan bukan the right man on the right place,” ujarnya kepada kumparan.
Terlepas dari itu, Reza yakin ada kelompok atau subgrup di tubuh Polri yang saling berlawanan. Kelompok-kelompok ini membangun rivalitas berdasarkan keakraban atau klik.
Jika subgrup-subgrup tersebut bersaing secara sehat, hal itu menguntungkan masyarakat. Namun, jika yang terjadi adalah persaingan tak sehat, maka mereka akan berbenturan satu sama lain dengan cara-cara destruktif. Hal inilah yang dikhawatirkan Reza.
Oleh sebab itu, penangkapan Teddy memunculkan dugaan adanya sabotase dan saling sikut dalam Polri. Teddy dianggap sebagian pihak sebagai korban saling sikut tersebut.
“Apakah [kasus Teddy] ini manifestasi perang bintang atau tidak? Dari sudut pandang keilmuan, kita punya alasan untuk berspekulasi tentang itu walaupun tetap perlu dibuktikan oleh internal kepolisian sendiri,” kata Reza di Lodaya, Bogor, Kamis (20/10).
Ia tak yakin penangkapan Teddy hanya terkait masalah jual beli narkoba.
Kasus Rekaan?
Guru Besar Ilmu Keamanan Universitas Padjadjaran Prof. Muradi mengatakan bahwa jual beli barang bukti narkoba sesungguhnya bukan hal baru di Polri maupun di kepolisian negara lain.
Dalam kasus peredaran narkoba yang melibatkan Teddy, Muradi berpendapat bahwa ini adalah kasus narkoba yang sengaja dirancang (case building) untuk menangkap pengedar narkoba yang lebih besar.
Reza menduga tersangkutnya Teddy dalam case building peredaran narkoba terkait teori pengembangan karier di kepolisian. Berdasarkan teori ini, polisi bekerja bukan demi menegakkan hukum, tetapi demi kepentingan egosentris, yakni membangun kariernya sendiri.
Akan tetapi, Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menampik kemungkinan tersebut. Menurutnya, sulit menciptakan sebuah kasus tanpa bukti. Padahal, dalam kasus yang melibatkan Teddy, buktinya jelas ada, yakni sabu-sabu.
“Merekayasa kasus untuk menjatuhkan Teddy, apa bisa? Kalau Teddy ternyata tidak melakukan [peredaran narkoba], ya tidak bisa,” kata dia.
kumparan menghubungi pengacara Teddy, Hotman Paris Hutapea, untuk meminta tanggapan mengenai hal tersebut, namun belum berbalas.
Karier Teddy terbilang moncer di kepolisian. Ia pernah menjadi pengawal Jokowi saat Jokowi jadi capres tahun 2014. Teddy kemudian menjadi ajudan dan staf ahli Wapres Jusuf Kalla pada 2014 dan 2017. Teddy juga perwira polisi terkaya versi LHKPN dengan harta mencapai Rp 29 miliar.
Menurut Reza, dengan sederet modal sosial dan finansial tersebut, Teddy berpotensi menjadi Kapolri di masa depan.
Meski demikian, seorang sumber kumparan menyebut bahwa karier Teddy dibangun dari Korps Lalu Lintas. Ia disebut tak memiliki portofolio di bidang reserse kriminal atau intel yang dianggap mentereng di kepolisian.
“Lalu dia ciptakanlah sebuah kasus di mana dia bisa menunjukkan ke dunia bahwa ternyata dia juga punya kemampuan untuk bekerja layaknya reskrim. Tapi sayang beribu sayang, operasi yang dia lakukan menyasar ke wilayah lain,” ujar sumber tersebut.
Bicara soal potensi Teddy sebagai Kapolri, Muradi melihat sebuah pola. Kapolri saat ini, Listyo Sigit, berasal dari Akpol angkatan 1991. Tongkat komando diprediksi akan jatuh kepada penerusnya yang berasal dari 2–4 angkatan di bawahnya.
Dalam konteks itu, Teddy Minahasa yang berasal dari angkatan 1993 punya potensi menjadi Kapolri. Namun, dugaan hubungan antara penangkapan Teddy dengan politik pergantian Kapolri bukanlah hal yang bersifat determinan.
“Persaingan antarjenderal kan biasa. Dalam proses itu, ada yang diuntungkan,” kata Muradi.
Gagal Permalukan Kapolri
Ada dua isu besar yang muncul menyusul penangkapan Teddy, dan ini terkait persaingan antarjenderal di tubuh Polri.
Isu pertama, bahwa penangkapan Teddy adalah upaya untuk mempermalukan Kapolri. Keterlibatan Teddy dalam kasus narkoba akan membuat Kapolri dianggap tak becus dalam memilih figur untuk posisi Kapolda Jatim.
Salah satu sumber kumparan menyebut, penunjukan Teddy sebagai Kapolda Jatim beberapa waktu lalu membuat sebagian pihak gerah ingin membongkar kasusnya. Seorang jenderal mengemukakan keinginannya kepada Kapolri untuk menduduki jabatan strategis. Bila tidak, ia berniat membuka kasus Teddy.
Namun, Kapolri ternyata tak ambil pusing. Ia tak berminat meladeni faksi yang hendak menaikkan daya tawar di instansinya. Listyo disebut tak keberatan borok Teddy terungkap bila Teddy memang terlibat. Bukan soal baginya untuk menganulir surat telegram penunjukan Teddy.
Pengungkapan kasus Teddy, meski menjadi “bom” kesekian bagi Polri sejak kasus Sambo, menurut Reza justru menjadi titik penting untuk merontokkan salah satu faksi di instansi tersebut.
“Momentum jadi sempurna untuk meletuskan meriamnya. Dengan harapan ambrol ke akar-akarnya,” kata Reza.
Isu kedua, bahwa niat Teddy menduduki jabatan Kapolri menjadi sasaran empuk faksi lain yang juga mengincar kursi tersebut. Sumber lain kumparan menyebut, Teddy diproyeksikan menjadi Kapolri pada 2024 karena potensi kedekatannya dengan kelompok politik tertentu. Padahal hal tersebut tak dikehendaki oleh sejumlah faksi di internal maupun eksternal Polri.
Dalam konteks ini, menurut sumber tersebut, awalnya kasus peredaran narkoba yang diselidiki Polda Metro Jaya tak hendak disangkutpautkan secara langsung dengan Teddy. Namun, karena intensi dan kans Teddy menjadi Kapolri, maka kasus tersebut digunakan untuk menyisihkannya dari persaingan.
Namun, Sugeng tak sependapat. Ia menyebut teori tersebut sebagai “cocokologi”, yakni karena kasus narkoba Teddy kebetulan diungkap Polda Metro Jaya yang dikepalai Irjen Fadil Imran yang disebut dekat dengan eks Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta.
“Itu gatuk-matuk saja. Tanpa sengaja tertangkap pengedar di bawah yang dirujuk-rujuk sampai ke TM (Teddy Minahasa), karena ada bukti kesalahannya. Bisa saja ini kasus ditutup, tapi Pak Fadil (Kapolda Metro Jaya) tidak mau. Mesti dibuka walau harus memakan sejawatnya bintang dua,” kata Sugeng.
kumparan yang menghubungi Irjen Fadil Imran dan Irjen Nico Afinta untuk meminta tanggapan, hingga kini belum mendapat respons dari keduanya.
Terlepas dari dua isu tersebut, Komisi Kepolisian Nasional melihat bahwa penangkapan Teddy tak terkait apa pun kecuali sebagai momentum bersih-bersih Polri. Meski demikian, Kompolnas terus mendalami informasi mengenai faksi-faksi di tubuh Polri.
“Kami belum tahu pasti faksinya pada posisi mana saja. Hanya memang ada statement dari [Menko Polhukam] Pak Mahfud MD agar Polri lebih solid satu gerbong,” kata Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto.
Pecah usai Kasus Sambo
Banyak pihak meyakini bahwa perang bintang di Polri berawal dari kejatuhan Sambo. Tiga sumber kumparan mengatakan, genderang perang nyaris serempak ditabuh sejak kemunculan bagan-bagan konsorsium judi yang dibekingi aparat kepolisian. Berbagai skema itu beredar dalam waktu berdekatan di media sosial pada Agustus lalu.
Bagan pertama yang tersebar di medsos adalah “Kaisar Sambo dan Konsorsium 303” yang memuat dugaan keterlibatan Ferdy dalam sindikat judi online. Kelompok Sambo yang “diserang” kemudian membalas dengan mengeluarkan bagan aliran duit judi online, narkoba Medan, serta tambang ilegal yang memuat nama salah satu jenderal bintang tiga Polri.
Terkait bagan-bagan judi online yang mencantumkan nama-nama pejabat tinggi Polri tersebut, Kapolri pada 24 Agustus berjanji untuk mendalaminya. Sebulan kemudian, ia membentuk tim gabungan Polri bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan pengusutan.
Seorang sumber mengatakan, bagan-bagan tersebut membuat Kapolri mengetahui siapa kawan dan lawan dari faksi-faksi di tubuh institusi yang ia pimpin. Sementara itu, enam sumber kumparan menyebut bahwa terdapat 3–6 faksi di Polri. Dari faksi-faksi itu, tiga merupakan faksi besar.
Tiga sumber menyatakan bahwa ada dua faksi utama yang hendak menggoyang posisi Kapolri. Namun, seluruh sumber tersebut kemudian mengatakan hal senada, bahwa Kapolri Listyo Sigit kini mendapat sokongan penuh dari Presiden, khususnya usai Jokowi memanggil para pejabat Polri ke Istana.
“Jokowi pengin deklarasi bahwa dia dukung Listyo Sigit. Sempat orang pikir Listyo dimarahi sampai [pejabat Polri] dikumpulkan. [Padahal] Jokowi malah pengin tunjukkan dukungannya [kepada Listyo] di publik, ‘... Jangan ganggu-ganggu [Kapolri],’” kata seorang sumber yang dikonfirmasi sumber-sumber lain.
Sebelum itu, faksi-faksi di tubuh Polri ini sempat membuat seorang kapolda yang berseberangan dengan faksi lain hendak dicopot tiga bulan lalu. Menurut sumber kumparan yang mengetahui kejadian itu, kapolda tersebut bahkan telah mengantongi salinan telegram pencopotannya. Namun, ia urung dicopot setelah menemui orang dekat istana.
Orang di lingkaran Istana itu, menurutnya, menelepon Kapolri agar tak mencopot kapolda terkait. kumparan yang menghubungi kapolda tersebut, belum mendapat respons sampai saat ini.
Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute cum Penasihat Kapolri Bidang HAM, menyebut bahwa isu mengenai kubu-kubuan di Polri berawal dari media sosial. Namun, isu tersebut ia anggap surut dengan penindakan tegas terkait kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, sampai kasus narkoba Teddy.
Sumber kumparan menyebut bahwa perang bintang ini bakal segera mereda akhir Oktober. Dalam waktu dekat, menurutnya, Kapolri bakal melakukan mutasi besar-besaran sebagai langkah konsolidasi faksi-faksi yang ada di internal Polri.
kumparan mencoba mengonfirmasi hal ini kepada Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dan bersurat ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit melalui Kasubbag Bungkol Spripim Polri, namun belum mendapat jawaban.
Muradi berpendapat, faksi-faksi tak bisa dilenyapkan dari suatu lembaga. Alih-alih membersihkannya, kepentingan faksi-faksi itu menurut Muradi justru mesti diakomodir.
“[Itu pengalaman] Pak Tito Karnavian (Kapolri periode 2016–2019). Dia itu lompat lima tahun dari Pak BHD (Badrodin Haiti, Kapolri periode 2015–216), dari lulusan 1982 ke 1987. Dia (Tito) kan dianggap junior, tapi [semua faksi] dia akomodir. Maka iramanya aman, enggak ada masalah,” tutup Muradi.