Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Rela Menangkap Ikan Pakai Cara Berbahaya Demi Untung Berlipat
17 Mei 2017 15:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali mengungkap praktik penangkapan ikan secara ilegal. Namun kali ini pelakunya bukan nelayan asing tetapi justru nelayan lokal setempat.
ADVERTISEMENT
Praktik ini bahkan terbilang cukup berbahaya dan merusak lingkungan. Susi menyebutnya Destructive Fishing Practices (DFP). Praktik ini cukup lama dilakukan oleh para nelayan di kawasan Takabonerate, Desa Jinato, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendata ada dua cara yang biasa dilakukan nelayan Desa Jinato untuk menangkap ikan dan masuk kategori DFP. Cara pertama adalah dengan mengebom. Sedangkan cara kedua membius ikan dengan cairan potasium sianida.
Cara kedua ini yang menjadi perhatian Susi. Di Desa Jinato, nelayan yang melakukan praktik ini disebut nelayan penyelam atau nelayan bius. Mereka menyeburkan diri ke laut dan hanya mengandalkan alat bantu pernapasan dari selang yang terhubung ke mesin kompresor.
ADVERTISEMENT
Kemudian di dalam laut, nelayan menyuntikkan cairan bius ke jenis ikan karang seperti ikan napoleon dan kerapu. Tujuannya jelas, agar ikan-ikan tersebut lemas dan mereka dengan mudah menangkapnya.
Praktik ini cukup berbahaya karena nelayan menyelam tanpa dilengkapi pelindung tubuh serta tabung oksigen. Mereka hanya mendapatkan udara dari selang yang terhubung mesin kompresor yang diletakkan di atas perahu. Ironisnya, mesin kompresor ini mengeluarkan gas karbon dioksida, bukan oksigen.
Hasilnya banyak nelayan bius di Desa Jinato yang menderita kelumpuhan dan tuli. Beberapa di antara mereka juga meninggal dunia.
Ketua LSM Yayasan Mattirotasi di Kabupaten Luwu, Sudarman menceritakan, praktik ilegal dan berbahaya ini sudah terjadi sejak 10 sampai 20 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Mereka menjalani profesi sebagai nelayan bius karena tergiur untung besar yang ditawarkan oleh para pengepul, terutama bila mereka berhasil menangkap jenis ikan karang, misalnya kerapu dalam keadaan hidup. Harga ikan kerapu hidup di Sulawesi Selatan lebih tinggi dari harga ikan yang sudah mati.
"Ikan kerapu hidup bisa dihargai di kisaran Rp 600.000-700.000 per 0,6 ons. Sedangkan yang sudah mati hanya Rp 200.000 saja," kata dia kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (17/5).
Sudarman mengungkapkan, perairan di Kabupaten Kepulauan Selayar memang dikenal sebagai salah satu produsen ikan karang jenis kerapu alam bukan hasil budi daya. Oleh karena itu, dengan tawaran yang menggiurkan, mereka lantas memilih berprofesi sebagai nelayan bius. Dengan bius maka mereka bisa mendapatkan ikan kerapu alam lebih cepat dan efisien.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya untuk saat ini penangkapan ikan hidup yang baik menggunakan pancing. Tetapi mereka menggunakan cara itu karena lebih praktis dan efisien juga lebih cepat," sebutnya.
Sudarman sendiri telah melihat fenomena yang cukup miris di Desa Jinato. Di Desa tersebut banyak laki-laki berusia produktif yang mengalami kelumpuhan. Menurut dia, ini adalah efek dari gas karbon dioksida dari mesin kompresor yang mereka hirup saat menyelam.
"Dampak penggunaan kompresor berbahaya bagi tubuh. Di wilayah tersebut banyak masyarakat yang lumpuh, sampai ada beberapa yang meninggal di bawah laut," tutupnya.