Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Masalah penangkalan radikalisme dan intoleransi menjadi salah satu program utama Jokowi-Ma'ruf dalam lima tahun ke depan. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga menyarankan agar istilah radikalisme bisa diganti menjadi istilah lain, misalnya manipulator agama.
ADVERTISEMENT
"Harus ada upaya serius untuk mencegah meluasnya, apa yang sekarang ini banyak disebut, radikalisme. Atau mungkin, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan? Misalnya manipulator agama," kata Jokowi di rapat terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10).
Namun, usulan ini justru memantik pro dan kontra. Menurut PAN, penggantian istilah radikalisme menjadi 'manipulator agama' mirip dengan penggantian istilah 'korupsi' di zaman Orde Baru (Orba).
"Mau diganti istilah itu sama saja, istilah mengganti 'radikalisme' dengan 'manipulator agama' itu sama saja. Dulu cara pandang orde baru, tidak mau dibilang korupsi, tapi dibilangnya 'kesalahan prosedur'," kata Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais di Gedung DPR, Senayan, Jumat (1/11).
"Sama enggak, kira-kira? Kesalahan prosedur dalam penganggaran dengan korupsi, sama, enggak, kira-kira substansinya? Sama, 'kan? Ini juga sama. Radikalisme kemudian diganti istilahnya dengan 'manipulator agama'. Sama enggak, kira-kira? Ya, sama," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Hanafi menyarankan, sebaiknya Jokowi berhati-hati dalam memilih istilah atau kosa kata yang hendak digunakan. Di sisi lain, menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, apa pun istilah yang digunakan, perilaku radikal tetap tidak bisa dibenarkan.
"Kemudian memahami agama secara tidak tepat. Istilahnya seperti radikalisme , apa manipulasi, saya kira bukan masalah. Tapi wujudnya seperti itu, ya penyalahgunaan agama, politisasi agama, kemudian memberikan tafsiran-tafsiran agama yang tidak moderat lah, yang radikal," tutur Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (1/11).
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, harus disepakati bersama, bahwa istilah radikalisme tidak merujuk pada kelompok agama tertentu. Menurutnya, radikalisme adalah paham atau kelompok yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara yang melawan aturan.
ADVERTISEMENT
"Dan kemudian merusak cara berpikir generasi baru. Yang menyebabkan anak berpikiran bernegara seperti ini, berkonstitusi seperti ini salah. Itu orang Islam atau bukan orang Islam kalau melakukan itu adalah radikal," kata Mahfud di Istana, Kamis (31/10).
Mahfud menegaskan, pemerintah tidak pernah bermaksud menuding umat agama tertentu, apalagi umat islam, sebagai umat yang radikal. Sebaliknya, justru pemerintah menganggap umat beragama di Indonesia sebagai umat yang toleran dan mampu menjaga kerukunan.
"Pemerintah itu menganggap justru karena umat Islam tidak radikal itulah maka negara ini sampai sekarang terjaga dengan baik. Karena semua umat Islam itu ada atau pada umumnya umat Islam itu setuju dan sangat menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila," tutup Mahfud.
ADVERTISEMENT