Sejarah Putusan Sengketa Pilpres 2004-2024: Baru Kali Ini Ada Dissenting Opinion

22 April 2024 18:46 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hakim Mahkamah Konstitusi memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Pilpres 2024 yang diajukan paslon 01 Anies-Muhaimin dan paslon 02 Ganjar-Mahfud. Dalam sejarahnya, MK memang selalu menolak gugatan pilpres sejak pertama kali dihelat pada 2004 silam.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada yang berbeda antara putusan sengketa Pilpres 2024 dengan pilpres-pilpres sebelumnya. Perbedaan itu berupa adanya dissenting opinion atau pendapat hakim yang berbeda pada sengketa Pilpres 2024.
Dari 8 hakim yang menyidangkan gugatan Pilpres 2024, tiga hakim di antaranya menyatakan dissenting opinion. Ketiganya yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Dalam catatan kumparan, perjalanan sidang putusan sengketa pilpres 2004 hingga 2019 tak ada dissenting opinion. Berikut perjalanan sengketa pilpres 2004-2024.

2004

Pilpres 2004 diikuti lima pasangan capres-cawapres. Mereka adalah Wiranto dan Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
ADVERTISEMENT
Pemilu putaran pertama diselenggarakan pada 5 Juli 2004. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang diumumkan pada 26 Juli 2004, pasangan SBY-JK memenangkan putaran pertama dengan suara 33 persen.
Presiden Indonesia dan calon presiden Megawati Sukarnoputri (kiri) dan pasangan wakil presidennya Hasyim Muzadi (kanan), berpartisipasi dalam diskusi televisi terkenal, di Jakarta (14/9/2024) Foto: BAY ISMOYO / AFP
Sementara itu, pasangan Megawati-Hasyim di posisi kedua dengan suara 26 persen. Kemudian pasangan Wiranto-Salahuddin mendapatkan suara 22 persen. Namun, karena tidak ada satu pasangan pun yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka dilakukan putaran kedua yang diikuti oleh SBY-JK dan Mega-Hasyim.
Tak terima dengan hasil rekapitulasi suara, pasangan Wiranto-Salahuddin mendaftarkan gugatan sengketa Pilpres 2004 ke MK. Dalam gugatannya, Wiranto-Salahuddin mengajukan dua tuntutan. Yakni, membatalkan SK KPU 79/2004 tentang penetapan hasil perhitungan suara dan menuntut perhitungan ulang.
Ketum PBSI, Wiranto, saat memberikan pidato di Munas PBSI. Foto: Media PBSI
Wiranto-Salahuddin mengeklaim kehilangan 5,43 juta suara yang tersebar di 26 provinsi. Pasangan tersebut juga mengeklaim bahwa mereka seharusnya memperoleh 31,72 juta suara, jauh lebih besar dari 26,29 juta suara yang ditetapkan KPU.
ADVERTISEMENT
Kala itu, yang menjadi ketua MK adalah Jimly Asshiddiqie. Nah, dari serangkaian sidang yang panjang, MK akhirnya menolak seluruh permohonan sengketa hasil pilpres.
Majelis hakim menilai bahwa selama persidangan, pemohon tidak dapat membuktikan dalil hilangnya suara sebanyak 5,43 juta suara di 26 provinsi. Tak ada dissenting opinion di sini. Sementara pemenang Pilpres adalah SBY-JK.

2009

Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan capres-cawapres. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, SBY dan Boediono, serta Jusuf Kalla dan Wiranto.
Kala itu, KPU menetapkan SBY-Boediono sebagai pemenang Pilpres 8 Juli 2009. Pasangan tersebut meraih 73.874.562 suara atau 60,80 persen.
Angka tersebut melampaui perolehan suara Megawati-Prabowo dengan 32.548.10 atau 26,79 persen dan pasangan JK-Wiranto dengan perolehan 15.081.814 atau 12,41 persen.
Megawati dan Prabowo saat Pilpres 2009 Foto: AFP/Romeo Gacad
Baik JK-Wiranto maupun Megawati-Prabowo sepakat menggugat hasil pilpres tersebut ke MK. Pasangan JK-Wiranto menilai banyak sekali pemilih ganda dalam soft copy DPT 2009.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Mega-Prabowo menilai ada penggelembungan suara sebesar 28.658.634 untuk pasangan SBY-Boediono. Penggelembungan ini mengakibatkan perolehan suara mereka melonjak hingga 73.874.562 suara (60,8 persen).
SBY dan Boediono saat Pilpres 2009 Foto: AFP/Romeo Gacad
Menurut Megawati-Prabowo, suara SBY-Boediono mestinya cuma 45.215.927 (48,7 persen) Nah, Megawati-Prabowo pun meminta MK untuk memerintahkan KPU melaksanakan pemilu ulang di seluruh Indonesia.
Kala itu, Ketua MK yang tengah menjabat adalah Mahfud MD. Dalam sidang putusan 12 Agustus 2009, majelis hakim secara aklamasi menolak gugatan pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo.
Alasannya, bukti-bukti yang diajukan pemohon bahwa telah terjadi kecurangan secara masif dan terstruktur tidak terbukti. Tidak ada dissenting opinion di sini.

2014

Pilpres 2014 diikuti dua pasangan capres-cawapres. Mereka adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
ADVERTISEMENT
Kala itu, KPU mencatat pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833 suara (53,14 persen). Namun, Prabowo-Hatta tak terima dengan keputusan hasil rekapitulasi KPU tersebut.
Prabowo Subianto (kiri) dan pasangannya Hatta Rajasa (kanan) melambaikan tangan kepada para pendukungnya saat kampanye di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2014. Foto: Romeo Gacad/AFP
Prabowo-Hatta pun mendaftarkan gugatan Pilpres 2014 ke MK pada 25 Juli 2014. Mereka menilai ada pelanggaran yang terjadi di 52.000 TPS yang menyangkut 21 juta pemilih. TPS tersebut tersebar di 33 provinsi. Selain itu, Prabowo-Hatta juga menilai adanya pemilih fiktif di 15 kabupaten/kota di Papua. Mereka pun meminta pemilu ulang.
Pada 21 Agustus 2014, MK menolak menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta. Dalil-dalil yang diajukan Prabowo-Hatta soal kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif, sama sekali tak terbukti. Kala itu, Ketua MK yang menjabat adalah Hamdan Zoelva. Tidak ada dissenting opinion di sini.
ADVERTISEMENT

2019

Lagi-lagi yang bertarung adalah Jokowi vs Prabowo. Namun yang berbeda adalah wakilnya. Pada tahun 2019, Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Sementara Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Sandiaga Uno temui Prabowo Subianto, Senin (27/3). Foto: Instagram/@sandiuno
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Jokowi-Ma’ruf mendapat 85.036.828 suara (55,41 persen). Sementara itu, Prabowo-Sandi mendapatkan 68.442.493 suara (44,59 persen). Jokowi-Ma’ruf unggul di 21 provinsi, sedangkan Prabowo-Sandi unggul di 13 provinsi.
Tak terima dengan hasil rekapitulasi KPU, Prabowo-Hatta pun menggugat hasil pilpres ke MK. Mereka menuntut sejumlah hal. Mulai dari pelaksanaan pemilu ulang, mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf, hingga menetapkan Prabowo-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Presiden Joko Widodo disambut Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mendarat di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (10/2). Foto: Rusman-Biro Pers Sekretariat Presiden
Dalil Prabowo-Hatta adalah adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Mulai dari penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, ketidaknetralan polisi dan BIN, hingga DPT siluman.
ADVERTISEMENT
Pada 27 Juni 2019, MK pun melaksanakan sidang putusan sengketa pilpres. Hasilnya, gugatan Prabowo-Sandi ditolak seluruhnya. Kala itu, yang jadi Ketua MK adalah Anwar Usman. Tidak ada dissenting opinion di sini.

2024

ADVERTISEMENT
Kontestasi Pilpres 2024 diikuti oleh Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Prabowo-Gibran unggul di 36 provinsi dan luar negeri dengan perolehan suara mencapai 96.214.691 atau 58,59 persen. Sementara itu, Anies-Muhaimin memperoleh suara sebesar 40.971.906 atau 24,95 persen dan Ganjar-Mahfud 27.040.878 atau 16,47 persen. Nah, gugatan pun dilayangkan ke MK oleh Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Anies Baswedan bersama tim saat meninggalkan sidang putusan MK, Senin (22/4/2024) Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Anies-Muhaimin meminta hakim mendiskualifikasi Prabowo-Gibran atau hanya Gibran yang didiskualifikasi. Selain itu juga meminta untuk dilakukan pemungutan suara ulang tanpa paslon 02 atau Prabowo mengganti cawapresnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ganjar-Mahfud juga meminta Prabowo-Gibran didiskualifikasi. Selain itu, KPU sebagai termohon diminta untuk menggelar pemungutan suara ulang hanya antara Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Keduanya menilai bansos yang dibagikan Jokowi berpengaruh terhadap kemenangan Prabowo-Gibran. Selain itu, pencalonan Gibran sebagai cawapres juga dianggap sebagai nepotisme.
Ganjar Pranowo dan Mahfud MD usai sidang putusan MK, Senin (22/4/2024) Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Hasilnya, MK menolak seluruh gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada sidang yang digelar 22 April 2024. MK menilai apa yang didalilkan pemohon tidak terbukti seluruhnya.
Putusan tersebut diambil oleh delapan hakim MK yakni: Ketua MK Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Namun, putusan tersebut tidak bulat. Tiga hakim menyatakan dissenting opinion, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam dissenting opinion-nya, Arief Hidayat menilai Presiden Jokowi jelas melakukan pelanggaran Pemilu 2024 secara terstruktur dan sistematis. Ia menekankan, tidak boleh ada pihak-pihak tertentu untuk cawe-cawe dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Saldi Isra berpandangan seharusnya MK menerima dalil politisasi bansos. Tujuannya untuk menghindari praktik serupa terjadi di Pilkada November 2024 mendatang. Dia pun yakin politisasi bansos benar-benar terjadi.
Senada dengan Saldi, Enny Nurbaningsih juga menyoroti soal alokasi dana kunjungan Jokowi terkait bansos. Selain itu, ia juga melihat adanya indikasi kuat pelanggaran yang telah dilakukan oleh Pj Gubernur Kalimantan Barat namun tidak terdapat kejelasan proses penegakan hukum.