Senjata Politik Millennial Itu Bernama Meme

4 Mei 2017 8:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Meme #TinyTrump viral di Media Sosial (Foto: twitter @RT_com)
Selama ini, dunia politik bergantung kepada narasi yang diciptakan para elite yang mampu membayar iklan dan ahli. Namun itu semua berubah ketika kehidupan digital merangsek lanskap politik.
ADVERTISEMENT
Media sosial menjelma jadi panggung demokrasi, dan alat protes baru ikut muncul. Sebuah karya sederhana berupa gambar disertai tulisan yang dirancang berbau humor, ternyata menjadi peluru.
Warga punya senjata baru untuk menjadikan diri mereka tak lagi diatur kepentingan elite.
Istilah meme ditelurkan oleh penulis Inggris, Richard Dawkins, pada 1976 sebagai medium untuk menyalurkan “kenakalan” manusia. Meme menjadi cara seseorang untuk menertawakan hal absurd atau berimajinasi atas kenyataan pahit, dengan membentuk narasi baru dari apa yang ajek.
[Baca ]
Meme Ahok dan Habieb Rizieq bersalaman (Foto: Dok. Pribadi Agan Harahap)
Seiring perkembangan teknologi dan makin derasnya arus informasi, meme melesat menjadi karya yang digemari umat. Ia merupakan perpaduan antara gambar lucu dan interaksi manusia di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Padu padan gambar atau video dengan teks, menjadikan meme sebuah karya sederhana namun menggugah.
[Lihat: ]
Secara teknis, meme membawa manusia yang resah ke aktivisme gaya baru. Ethan Zetterman dalam bukunya menyebutkan bahwa Web 2.0 memungkinkan manusia bercerita tentang lucunya kucing yang mereka miliki, dalam format gambar hingga interaksi.
Keterwakilan interaksi di dunia nyata pada jagat maya itulah yang memungkinkan piranti-piranti digital menjadi begitu signifikan. Keterbatasan akses untuk menyuarakan aspirasi, terbungkamnya kebebasan berekspresi, dan politik yang minim dialog, membuat aktivisme di dunia maya menjadi digandrungi.
[Baca juga ]
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
Meme berkembang beriringan dengan semakin pentingnya media sosial dalam politik. Pemilu Amerika Serikat tahun 2008 menjadi tanda dimulainya penggunaan media sosial seperti Youtube dan Facebook.
ADVERTISEMENT
Meme kemudian ikut terseret dalam kehidupan politis manusia penggunanya. Ia bak seismograf yang melacak apa saja gejolak yang sedang dirasakan publik.
Dalam Memes in Digital Culture, Limor Shifman menyebutkan bahwa meski proses politik tetap penting, meme mampu membentuk narasi otentik yang dinikmati masyarakat meski di dalamnya terkandung penjelasan rumit.
Sejak tahun 2011, dunia dikejutkan dengan berbagai perubahan politik di berbagai penjuru bumi. Fenomena Arab Spring di Timur Tengah digerakkan oleh energi yang terbentuk di dunia maya. Dari kanal dunia maya, gerakan tersebut berhasil menggulingkan berbagai rezim yang sebelumnya otoriter.
Pilihan ini berdasar kepada proses pembuatan yang lebih mudah ketimbang menelurkan tulisan. Ketika menulis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra, publik kini punya pilihan lebih mudah untuk menelurkan ekspresi keresahan mereka --atau dalam bahasa Shifman adalah “kesempatan untuk menunjukkan opini mereka yang dapat diakses, murah, dan jenaka.”
ADVERTISEMENT
[Baca juga ]
Meme Susi Pudjiastuti (Foto: twitter/@bngpy)
Meme juga cenderung memberi pengaruh persebaran yang lebih instan. Dalam buku Satirical User-Generated Memes as an Effective Source of Political Criticism, Extending Debate and Enhancing Civic Ehancement, Vasiliki Pleviriti menganggap meme memiliki jangkauan luas sebagai media penyampai aspirasi.
Pleviriti menyebut bahwa akhirnya meme adalah perwujudan budaya populer di dunia maya untuk menyampaikan pesan politik.
Meski banyak meme cenderung kasar dan melanggar norma, budaya meme dan satire pada dasarnya sehat untuk demokrasi. Masyarakat jadi punya kesempatan untuk membentuk wacana yang berasal dari bawah, dan mengungkapkan kejujuran sepahit apapun itu.
[Baca: ]