Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Apa yang anda lakukan saat melihat meme? Tertawa, betul?
ADVERTISEMENT
Begitulah kita memperlakukan meme: sebagai sumber keceriaan dan bahan canda tawa.
Dan seperti itulah memang arti harfiah meme: ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya; cuplikan gambar dari acara televisi, film, dan sebagainya, atau gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur.
“Melucu dan menghibur.” Itulah kata kuncinya.
Dan seiring perkembangan arus informasi dan kemajuan teknologi, meme seakan menjadi hiburan khas yang dapat dilakukan dan dinikmati semua orang.
Namun tahukah anda siapa yang pertama kali menyerakkan meme-meme di jagat maya?
Meme sejatinya sebuah frasa yang muncul untuk menilik realitas sisi liar manusia. Istilah ini dimunculkan oleh Richard Dawkins, penulis Inggris, dalam karyanya yang terbit tahun 1976 berjudul The Selfish Genes.
ADVERTISEMENT
Dawkins menjelaskan, meme adalah konsep mengenai budaya manusia yang terkait dengan aspek gen biologis. Manusia gandrung pada meme karena fenomena gambar berteks nyeleneh itu mampu memenuhi sisi “kenakalan” manusia.
Selebrasi akan sisi nakal manusia ini terus-menerus menjadi cara yang digandrungi.
Meme menemukan tempat yang nyaman dalam belantara dunia maya tempat manusia modern hidup bersama, dengan akun-akun media sosial mereka bertebaran dan berkelindan.
Teknologi yang memberi ruang bagi informasi untuk bergerak cepat, serta piranti yang makin “mewujudkan apa yang tidak mungkin” menjadikan meme terus eksis dan rakus dilahap.
Tren meme yang berpijak pada klaim manusia yang gemar menertawakan sesuatu dan memelesetkan segala sesuatu yang aktual dan akurat, bersanding dengan digitalisasi kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Bahan yang jadi tertawaan selalu berkisar pada isu-isu terkini yang sedang berembus di masyarakat.
Limon Shifman dalam bukunya, Meme in Digital Community, berujar bahwa meme berangkat dari apa yang viral atau populer di masyarakat, misal video anak kecil yang salah menyebut nama ikan, foto Menteri Susi Pudjiastuti melakukan peregangan di atas paddle board, dan lain-lain.
Konten visual yang viral tersebut, menurut Shifman, kemudian diberi bumbu berupa teks untuk memberi arti tambahan. Bumbu yang tak ajek dan tak pakem namun tetap punya makna itulah yang membuat meme begitu jenaka.
“Meme adalah bentuk sudut pandang terhadap objek-objek yang tersebar dan berkaitan dengan dimensi --aspek-aspek yang mungkin diimitasi. Dan meme adalah bentuk pemahaman bahwa setiap hal tidak pernah tunggal,” kata Shifman.
ADVERTISEMENT
Salah satu meme yang muncul dan beranak pinak adalah ekspresi melengos pebasket setinggi 2,1 meter asal China, Yao Ming. Ekspresi itu terekam dalam konferensi pers ketika Yao tertawa terbahak-bahak mendengar omongan rekan setimnya, Ron Artest.
Ekspresi Yao kemudian menjadi viral di dunia maya. Publik merasa mereka dekat dengan ekspresi tersebut tatkala sedang nyinyir terhadap suatu hal yang dianggap tak masuk akal. Dan kehidupan sering dimenangkan oleh sesuatu yang tidak masuk akal.
Meme Yao Ming menjadi alat perlawanan untuk menegakkan nalar dengan canda tawa.
Indonesia mengenal Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang tak mau berkompromi dengan para pencuri ikan. Frasa khas yang muncul dari Susi adalah “Tenggelamkan!”
“Tenggelamkan!” mewakili narasi ketegasan yang lantas ditempelkan di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
Foto Susi kemudian bersanding dengan kata “tenggelamkan” yang diikuti berbagai macam kalimat dengan berbagai konteks. Intinya, foto dan kalimat Susi menjadi penegas bagi kata-kata lain yang tertempel di dalamnya.
Bagaimana kehadiran meme dalam masyarakat yang penuh pakem dan norma?
Justru meme melawan anggapan bahwa setiap makna itu ajek dan mengalami interpretasi satu jalur. Melihatnya sebagai varian dari humor, meme adalah upaya manusia masa kini untuk menemukan kekuatannya.
Argumen tersebut didiskusikan dalam sebuah forum berjudul “Meme dan Persebarannya: Diskusi Kritis Mengenai Fenomena Dunia Maya” di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri di Yogyakarta, Kamis (27/4).
Ilustrator kondang yang hobi membuat meme, Agan Harahap, menuturkan bahwa setiap karya yang ia buat adalah bahan lelucon semata.
ADVERTISEMENT
“Kalau meme dibuat untuk memberi pesan, justru kita malah mundur ke belakang. Kita asal saja membuat lelucon ini,” kata Agan.
Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Budi Irwanto, mengatakan pengaruh meme tidak melulu soal apa yang berusaha ditelurkan oleh penciptanya.
“Di luar imajinasi pembuatnya, meme mengkombinasikan berbagai suara dan perspektif.”
Sastrawan ternama Seno Gumira Ajidarma (SGA), menyatakan bahwa meme, layaknya humor, berupaya menangkap situasi yang sedang dihadapi manusia.
“Bagaimana humor itu punya power. Humor itu menyesuaikan dengan konteks masa tertentu,” ujar SGA.
“Humor itu katarsis dan punya konteks sosial. Boleh menghina boleh mengkritik, asal guyon. Kapan tertawa salah?” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, meme menjadi ekor dari setiap letupan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat. Itulah bagian dari cara manusia memandang dunia.