Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Meme yang Menghancurkan Kehidupan (dan) Politik
3 Mei 2017 13:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Meme. Dialah nyawa dunia maya saat ini. Anda akan menemukannya di semua sudut internet: dari Facebook hingga situs-situs berita “kredibel” yang kerap memuatnya sebagai bahan guyonan maupun representasi sarkasme dan kritik.
ADVERTISEMENT
Kemudahan membuat meme, kesederhanaan pesan, serta kecepatannya menyebar di dunia maya membuat meme menyebar amat cepat --meski cepat pula tenggelam.
Yang jelas, meme tak lagi hanya memenuhi fungsi awalnya sebagai hiburan, namun juga merambah fungsi-fungsi lain yang efektif untuk berbagai tujuan seperti fungsi kritik, penyampaian gagasan, pengumpulan dana bantuan , sindiran, bahkan klaim politik .
Meski kerap menghibur dan efektif seperti meme Success Kid di Amerika Serikat, meme juga banyak membawa dampak buruk yang merugikan. Bahkan pada beberapa kasus, ia mampu betul-betul mengubah alur nasib korbannya.
Kasus paling terkenal menimpa seorang model Taiwan bernama Heidi Yeh. Ia menjadi korban nyata bagaimana sebuah meme dapat menghancurkan hidup seseorang.
ADVERTISEMENT
Sebelum Yeh berada pada meme tersebut, ia yang berprofesi sebagai seorang model tengah menikmati karier yang bagus. Dia tampil di berbagai iklan produk terkenal seperti Sony dan beberapa alat kecantikan ternama Taiwan.
Di antara pekerjaan-pekerjaan besar tersebut, ia mengambil sebuah job dari penyedia jasa operasi plastik kecil di Korea Selatan. Pesan dari foto yang diambilnya diakuinya sederhana dan menggelitik: bahwa hal negatif soal melakukan operasi plastik adalah menerangkan pada anakmu soal dari mana kelopak mata itu berasal.
Bagi orang asli Korea Selatan, kelopak di bagian mata memang bukan hal yang bisa diperoleh secara alami. Praktik mengoperasi kelopak mata bagi orang-orang Korea Selatan juga sudah tak tabu lagi. Yeh menerimanya tanpa suatu prasangka tertentu.
Masalah muncul ketika foto tersebut menyebar di dunia maya. Sebetulnya, kontrak Yeh dengan perusahaan tersebut hanya membolehkan si perusahaan menggunakan foto Yeh untuk media cetak, bukan sebagai material di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, foto itu tetap saja digunakan untuk promosi produk di internet. Dari situlah hidup Yeh berubah.
Singkat cerita, foto Yeh menyebar dengan sebuah deskripsi: bahwa Anda tidak bisa menyembunyikan operasi plastik yang sudah Anda lakukan --atau bisa dibaca: bahwa Anda buruk rupa, dan begitulah aslinya seperti terlihat di muka anak-anak Anda.
Cerita tersebut kemudian dipercaya banyak pihak. Bahkan, keluarga dan keluarga tunangannya sempat menanyakan kebenaran rumor tersebut.
Jelas, kepercayaan diri Yeh hancur berkeping-keping. Ia juga tak lagi mendapatkan tawaran modeling yang sebonafide sebelum meme tersebut menyebar.
Cerita tersebut baru diketahui setelah Yeh sendiri menceritakan kehidupannya ke BBC .
Dan kasus Yeh bukanlah yang pertama maupun satu-satunya. Ada pula kasus seperti Vereender Jubal yang dikira teroris, Alix Bromley yang menjadi korban seksualisasi, atau Ghislain Raza yang menjadi bahan bully teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Nama-nama tersebut jelas korban dampak negatif meme. Dan melihat penggunaannya yang semakin gencar, akan ada nama-nama lain yang masuk ke dalam kategori yang sama.
Korban-korban meme jelas tak terhindarkan. Biasanya, meme menggunakan foto yang diambil tanpa persetujuan, tanpa izin, yang menyebar sangat cepat ke banyak orang, dan karena itu tak bisa menyerahkan pertanggungjawabannya ke satu orang tertentu.
Dengan kebebasan menambah caption pada setiap foto, pembuat meme bisa seenaknya saja memberikan deskripsi yang sama sekali tak berkaitan dengan konteks ataupun fakta di balik foto tersebut --seperti yang terjadi pada Yeh.
Apalagi, meme tak memerlukan gatekeeper --fungsi penyaringan (biasanya di media massa) yang memilih sebuah konten layak ditampilkan atau tidak. Semua orang bisa membuatnya, menyebarkannya, tanpa ada kode etik yang perlu ditaati.
ADVERTISEMENT
Dan dampak-dampak negatif meme pun dirasakan di dunia tempat ia kini merebut panggung: politik.
Meme, sebuah kata kurang lebih berarti “...yang diimitasikan oleh...” sudah hadir di dunia politik bahkan sebelum internet menjamur di masyarakat. Bentuknya dulu adalah kolom-kolom komik pada surat kabar yang rata-rata memiliki konten satire.
Namun, dengan semakin terjangkaunya kuota dan smartphone, siapapun bisa menciptakan meme. Bermodalkan gambar politikus dan kemampuan edit gambar minimal, dan tanpa harus peduli konteks yang tepat, Anda bisa mendukung --atau mengucilkan-- salah satu pendirian politik dan menyebarkannya ke orang-orang yang sependapat dengan Anda.
Di situlah permasalah muncul. Meme menawarkan kebaruan dan kemudahan dalam pertempuran politik manapun. Ia, mengutip dari Douglas Haddow dari Guardian , menawarkan inversion of control: pembalikan kuasa.
ADVERTISEMENT
Kita tahu: pendapat, reportase, dan argumentasi politik yang jadi konsumsi massa selalu terkotak-kotakkan pada personel-personel tertentu di media-media tertentu pula.
Pendapat soal gegap gempita pemilihan presiden, misalnya, dimonopoli oleh “pengamat politik” di koran ataupun di televisi. Standar-standar yang ditetapkan oleh media massa tersebut menjadi pagar antara yang “kompeten” dengan masyarakat lebih luas.
Namun, meme menghancurkan pagar tersebut.
Kini, pandangan politik lahir dari tumpukan rongsok internet secara real time, dan didistribusikan secara bottom-up dari masyarakat akar rumput itu sendiri.
Meme telah berubah bentuk menjadi alat propaganda anarkis masyarakat, tanpa harus takluk pada standar apapun. Celakanya, ia sangatlah cepat, sederhana, dan mudah sekali dibagikan.
Dengan sekali tekan tombol retweet, atau love (di Instagram), atau share (di Facebook), teman-teman Anda di platform dunia maya tersebut akan dapat melihat meme yang Anda setujui itu.
ADVERTISEMENT
Kewenangan opini berubah dari argumen politik yang didominasi “pakar politik” kepada Anda yang --only God knows what you’re capable of.
Meme punya bahaya lain bagi masa depan masyarakat yang rentan akan bahaya laten pas-pasannya penguasaan wawasan politik. Alih-alih menjadi penyegar cuaca diskusi politik, meme telah sampai pada tahap merusak percakapan politik yang membangun.
Dengan ketiadaan fungsi gatekeeper pada produksi meme, kenetralan konten memang menjadi pokok pembicaraan nomor dua. Akibatnya? Meme-meme tersebut kerap kali beredar di tengah orang-orang yang memiliki pemikiran ataupun pendirian politik yang serupa.
Ketimbang mengkritisi pemahaman dan prasangka kita soal politik, meme justru menjadi peluru untuk menyerang orang-orang yang tidak kita setujui pendapat politiknya.
Alih-alih memiliki argumen yang terlegitimasi dan punya pendapat yang kuat untuk melawan status quo, meme hanya membuat orang-orang yang membacanya semakin terpolarisasi kepada kutub-kutub argumen politik yang sudah ia miliki sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sederhananya: meme, ketimbang memperluas khazanah dan percakapan politik --seperti fungsi media sosial secara umum, justru lebih jauh menjerumuskan masyarakat untuk memperkuat syak wasangka dan mempertahankan perpecahan yang tak berarti.
Meme masih punya fungsi yang sama. Ia menawarkan jeda dan sejenak tertawa di antara keributan politik yang kadang tak memberi ruang untuk khalayak bernapas.
Meski begitu, dengan penggunaannya yang justru membawa orang semakin terpolarisasi ke dalam “kebenaran-kebenaran” yang rancu tak sesuai konteks, mungkin sekali lagi kita harus menahan diri karena pesan meme-meme tersebut: untuk tidak mencemooh, tidak mencerca, tidak mencaci, tidak memaki, dan tidak tertarik dengan banyak hal.