Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Siapa Yusuf al-Qaradawi yang Disebut Saudi Pendukung Teroris?
9 Juni 2017 15:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Aliansi Saudi terus menambah tekanan terhadap Qatar pasca-pemutusan hubungan diplomatik. Jumat (9/6), seperti dilansir Reuters, empat negara Arab --Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain-- menetapkan 59 orang sebagai pendukung teroris (terror finance watch list).
ADVERTISEMENT
Sebanyak 59 orang tersebut diduga memiliki hubungan dengan Qatar, yang diputus hubungan dengan negara-negara tetangganya di jazirah Arab karena dituding mendukung kelompok ekstremis, teroris, dan sektarian.
Salah satu dari 59 orang yang disebut Saudi cs pendana teroris ialah Yusuf al-Qaradawi. Ia disebut pemimpin spiritual Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) --organisasi Islam yang tumbuh di Mesir dan kini disebut Aliansi Saudi sebagai teroris.
Siapa sesungguhnya Yusuf al-Qaradawi?
Qaradawi ialah cendekiawan Muslim dan teolog Islam asal Mesir. Ia dikenal sebagai mujtahid atau ahli ijtihad (tafsir). Lelaki kelahiran Kairo, September 1926 itu kini sudah amat sepuh. Ia berusia 90 tahun, dan disebut tinggal di Qatar --yang tengah diblokade Saudi.
ADVERTISEMENT
Semasa muda, Qaradawi sudah merasakan dinginnya jeruji penjara. Pada umur 23 tahun, tahun 1949, ia ditahan karena terlibat gerakan Ikhwanul Muslimin. Setahun sebelumnya, 1948, Ikhwanul Muslimin yang sedang tumbuh pesat dibekukan oleh Perdana Menteri Mesir Muhammad Fahmi Naqrasyi. Organisasi itu dicurigai terlibat upaya pengeboman dan pembunuhan.
Qaradawi muda ditangkap lagi saat Revolusi Juli 1952 menumbangkan kekuasaan monarki Raja Farouk --yang kerap dikritik karena bergaya hidup mewah.
Setelahnya, pada 1956 --ketika aristokrasi dan monarki Mesir telah roboh, Farouk rebah wafat di meja makan setelah bersantap, dan Mesir berganti republik di bawah kepemimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser-- Qaradawi kembali ditangkap dan mendekam di penjara militer selama dua bulan.
Sepanjang pemerintahan Nasser, Qaradawi tiga kali dipenjara. Ia langganan keluar-masuk bui bak residivis. Ia tak disukai penguasa karena khotbah-khotbahnya yang dianggap menggiring opini publik bahwa pemerintah telah berlaku tak adil
ADVERTISEMENT
Usai bolak-balik keluar-masuk tahanan, pada 1961 Qaradawi meninggalkan Mesir menuju Qatar untuk tugas akademik. Di kemudian hari, ia menetap di Qatar dan baru kembali ke Mesir saat negeri itu mulai dilanda Revolusi 25 Januari --yang merupakan bagian dari demonstrasi masif Arab Spring di berbagai negara Arab-- dan berakhir dengan terjungkalnya Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa di Mesir selama 30 tahun.
[Baca juga: Qatar Terjepit Kobar Api Perseteruan Saudi-Iran ]
Keterlibatan Qaradawi dengan Ikhwanul Muslimin bermula dari pertemuannya dengan Hassan al-Banna, pendiri organisasi tersebut, saat al-Banna memberikan ceramah di sekolahnya. Qaradawi menggambarkan al-Banna sebagai sosok yang “memancar cemerlang, seolah kata-katanya hasil wahyu yang diturunkan kepadanya.”
Organisasi pimpinan al-Banna, Ikhwanul Muslimin, berkembang menjadi organisasi Islam terbesar dan berpengaruh di dunia pada abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Sembari kemudian aktif di Ikhwanul Muslimin, Qaradawi mengambil studi Teologi Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo. Setelah lulus tahun 1953, ia kembali belajar dan memperoleh gelar diploma Bahasa dan Sastra Arab pada 1958 di Institut Studi Arab Lanjutan.
Qaradawi haus ilmu. Ia tak berhenti sekolah, mendaftar ke program pascasarjana Departemen Alquran dan Ilmu Sumah di Fakultas Agama Fundamental (Usul al-Din), dan lulus dengan gelar master pada 1960.
Sekitar satu-dua tahun kemudian, ia dikirim Universitas Al-Azhar Kairo ke Qatar untuk mengepalai Qatari Secondary Institute of Religious Studies.
Karier akademik Qaradawi terus menanjak. Tahun 1973, ia merampungkan disertasi PhD-nya di Universitas Al-Azhar dengan judul Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan Masalah Sosial.
ADVERTISEMENT
Empat tahun kemudian, 1977, Qaradawi mendirikan Fakultas Syariah dan Studi Islam di Universitas Qatar dan menjadi dekan fakultas. Ia juga membentuk Pusat Penelitian Sirah dan Sunah.
[Baca juga: Qatar vs Saudi: Semua yang Perlu Anda Tahu ]
Kiprah Qaradawi di Qatar membuatnya memperoleh kewarganegaraan Qatar dan tinggal di ibu kota negara itu, Doha.
Qaradawi, dengan latar pengetahuan Islam yang kental hasil menimba ilmu selama puluhan tahun, kemudian dipercaya menjadi Ketua Majelis Fatwa Mesir dan kerap dijuluki Mufti Agung Mesir. Mufti ialah pemberi fatwa.
Pada 1997, Qaradawi membantu mendirikan Dewan Fatwa dan Riset Eropa yang berisi para ilmuwan Muslim penting dan berpengaruh. Mereka bertugas meneliti dan menulis fatwa untuk menyokong komunitas minoritas Muslim Barat yang berbasis di Irlandia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Qaradawi menjabat Ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional. Ia telah banyak mengeluarkan fatwa yang hingga kini menjadi bahan referensi atas berbagai permasalahan umat.
“Ia amat dikenal. Bukunya banyak beredar juga di Indonesia, sering jadi rujukan. Saya tak tahu beliau dimasukkan daftar teroris,” kata politikus PKS Hidayat Nur Wahid, kepada kumparan, Jumat (9/6).
Buku karya Qaradawi amat banyak. Hingga kini ia telah menerbitkan lebih dari 120 buku. Salah satunya berjudul Islam: Peradaban Masa Depan.
Tak cuma itu, Qaradawi menerima delapan penghargaan internasional untuk kontribusinya di keilmuan Islam, menjabat Ketua Dewan Pengawas Islamic American University, dan menjadi salah satu cendekiawan Muslim berpengaruh di dunia.
Qaradawi menentang dikotomi ilmu dan agama, memandang pemisahan seperti itu hanya menghambat kemajuan umat Islam. Ia berpendapat, semua ilmu bisa islami atau tidak islami, tergantung kepada orang yang mempelajari dan menggunakannya.
ADVERTISEMENT
Qaradawi juga terkenal dengan programnya di Al Jazeera, televisi Qatar, yakni Sharia and Life yang diperkirakan menyedot 60 juta penonton di seluruh dunia.
[Baca juga: Al Jazeera Terhantam Krisis Qatar-Saudi ]
Yusuf al-Qaradawi kini disebut Aliansi Saudi sebagai pendana teroris/pendukung terorisme, menyusul Ikhwanul Muslimin yang juga disebut Saudi sebagai kelompok teroris --dan memicu amarah organisasi itu, yang mengklaim selama ini mereka telah mempertahankan hubungan baik dengan rakyat dan pemerintahan negara-negara Teluk.
Qaradawi sejak lama memiliki peran penting dalam kepemimpinan intelektual Ikhwanul Muslimin, meski ia telah berulang kali mengatakan kini bukan lagi anggota, dan dua kali (1976 dan 2004) menolak memegang jabatan struktural resmi dalam organisasi yang memiliki misi menegakkan syariat Allah itu.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: Gas Alam Qatar, Sumber “Kedengkian” Arab Saudi ]
Kelompok riset The Investigative Project on Terrorism (IPT) yang didirikan Steven Emerson, pakar keamanan nasional, terorisme, dan ekstremisme Islam asal AS, dalam laman situsnya menyebut Qaradawi kerap melontarkan komentar politik yang mendukung kelompok militan, tindak terorisme, dan represi terhadap perempuan.
Sejumlah isu yang terpengaruh fatwa atau intrepretasi agama Qaradawi terentang dari aksi pembunuhan “yang dibenarkan” sampai konflik keluarga.
IPT misalnya menyoroti ucapan Qaradawi pada konferensi yang digelar Asosiasi Pemuda Arab Muslim di Toledo, Ohio, AS, pada 1995. Saat itu ia mengatakan, “Saudara-saudara kita di Hamas, Palestina, (melakukan) perlawanan Islam, Jihad Islam. Setelah semua orang menyerah dan putus asa, gerakan Jihad membawa kita kembali kepada iman kita.”
ADVERTISEMENT
Ia juga dikritik karena ucapan-ucapannya terkait Yahudi. Pada Januari 1998, Associated Press memuat kutipan tulisan Qaradawi yang berbunyi, “Seharusnya tidak ada dialog dengan orang-orang (Israel) ini kecuali dengan pedang.”
Pada 2004, ketika mendapat pertanyaan tentang pengebom bunuh diri perempuan, Qaradawi menjawab, “Operasi syahid adalah jihad terbesar atas nama Allah.”
[Baca juga: Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi ]
Hal lain yang membuat gerah Amerika Serikat ialah fatwa Qaradawi yang menyebut bahwa Muslim yang membunuh pasukan AS di Irak adalah syahid.
“Mereka yang membunuh tentara Amerika ialah syahid, mengingat niat baik mereka yang menganggap pasukan penyerang ini sebagai musuh tak diundang dalam wilayah mereka.”
Qaradawi berkata, “Meski dianggap salah, mereka yang bertahan terhadap upaya (musuh) untuk mengendalikan negara-negara Islam, memiliki niat jihad dan mempunyai semangat mempertahankan tanah air mereka.”
ADVERTISEMENT
Ia pun menyatakan “Heran karena beberapa syekh mengeluarkan fatwa yang mengkhianati mujahidin --alih-alih mendukung dan mendorong mereka untuk berkorban dan mati syahid. Sangat disayangkan mendengar seorang imam besar berkata tidak boleh membunuh warga sipil di negara manapun, termasuk Israel.”
Pandangan-pandangan Qaradawi tersebut, termasuk pembelaannya atas bom bunuh diri orang Palestina terhadap Israel, menjadi kontroversi di Barat hingga visa masuk Inggris-nya ditolak pada 2008, dan ia dilarang masuk Prancis tahun 2012.
Namun, sementara Qaradawi vokal mendukung aksi bom bunuh diri, ia justru dianggap sebagian kelompok terlalu “lembek”. Ia mengutuk serangan 9/11 di World Trade Center, New York, yang menewaskan sekitar 3.000 orang, tak mendukung jihad ofensif (menyerang), dan menolak mengutuk acara nyanyian dan film seperti yang dilakukan sebagian ulama.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Qaradawi mendukung penuh sistem kekhilafahan Islam di dunia, seperti juga misi Ikhwanul Muslim menegakkan syariat Allah.
Dengan status baru sebagai pendukung terorisme, gerak Qaradawi sedikit-banyak mungkin terpengaruh. Sejak muda hingga kini di masa senjanya, ia tak lepas dari riuh.