Walhi: Pulau Reklamasi Tidak Boleh untuk Komersial

26 Oktober 2018 10:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penolakan terhadap reklamasi oleh nelayan Muara Angke. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penolakan terhadap reklamasi oleh nelayan Muara Angke. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tak ada yang istimewa dalam penghentian proyek reklamasi Teluk Jakarta di mata Tubagus Soleh Ahmadi. Sudah seharusnya. Sudah semestinya. Justru, bagaimana proyek ratusan triliun itu bisa bertahan sampai sekarang, adalah perihal yang semestinya ditanyakan.
ADVERTISEMENT
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) itu, proyek megah yang rencananya mengubah lanskap lepas pantai utara Jakarta seluas 5.155 hektare itu memang telah salah dari fitrahnya. Reklamasi Teluk Jakarta adalah anak haram perkawinan mismanajemen pembangunan daerah dan sikap abai pemangku kebijakan terhadap perkara lingkungan.
Tentu saja, pencabutan izin prinsip 13 pulau oleh Gubernur Anies Baswedan patut disyukuri. Setidaknya, petaka lingkungan made-in-manusia ini tak akan lebih jauh berlarut dan tak tertanggulangi.
Meski begitu, Tubagus tahu persoalan reklamasi ini jauh dari kata selesai. Di utara Jakarta sana, tiga pulau telah pongah berdiri. Salah satu pulau bahkan telah lengkap dengan bangunan-bangunan mewah di atasnya. Pertanyaannya, mau diapakan Pulau C, D, dan G ini?
ADVERTISEMENT
Tubagus punya jawaban soal ini. Kepada kumparan dalam diskusi intensif beberapa pekan ke belakang, Tubagus menjelaskan duduk perkara dan isu apa yang seharusnya bersama-sama dikawal.
Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Walhi (Foto: Jafrianto/kumparan)
Beberapa minggu lalu Gubernur mencabut izin reklamasi Jakarta. Meski begitu, masih banyak permasalahan. Sikap WALHI bagaimana?
Pertama kita ingin menegaskan bahwa sudah seharusnya reklamasi itu batal. Karena seluruh kebijakan terkait reklamasi yang ada saat ini sudah menyalahi aturan-aturan yang ada.
Saya kira yang harus ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI Jakarta saat ini adalah memulihkan Teluk Jakarta. Itu yang menjadi bagian terpenting, (agar) krisis yang terjadi di Teluk Jakarta bisa diselesaikan secara holistik.
Kebijakan ini sudah seharusnya batal. Termasuk juga pulau-pulau yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Anda sempat menyinggung adanya aturan yang dilanggar dalam proyek ini. Apa saja?
Selama ini yang dijadikan alasan Pemprov DKI melakukan reklamasi adalah Keppres 52/1995. Keppres ini seharusnya tidak berlaku lagi sejak adanya UU Pesisir dan Perpres 54 tahun 2008 yang sudah mencabut Keppres itu. Itu yang harus diketahui dahulu.
Yang kedua, reklamasi juga dibangunkan di atas wilayah perairan yang belum jelas peraturan zonasinya. Dia melanggar zonasi peruntukannya yang tidak ada, tetapi dia sudah membangun. Parahnya lagi, mereka membangun di atas lahan reklamasi.
Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengeluarkan Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Pasal 70 aturan tersebut menyatakan bahwa Keppres No. 52/1995 masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan di bawah Perpres tersebut. Namun Pasal 72 menyatakan Keppres No. 52/1995 sepanjang berkaitan dengan aspek tata ruang tidak lagi berlaku.
ADVERTISEMENT
"Peraturan yang dicabut itu soal tata ruangnya. Kewenangannya dan perizinan itu tidak dicabut," ujar Tuty Kusumawati, mantan Kepala Bappeda DKI Jakarta. Adapun yang dipakai dari Keppres Nomor 52 Tahun 1995 hanyalah Pasal 4, yang berbunyi: Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Aktivitas di dekat Pulau C Reklamasi. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas di dekat Pulau C Reklamasi. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Proyek ini berjalan sudah cukup lama. 2013 mulai jalan, 2017 mendapat HGB, dan properti telah terjual. Bagaimana proyek ini bisa selancar itu kemudian?
Kita juga mempertanyakan itu. Kedudukannya begini: pertama, reklamasi itu sesungguhnya sudah dihapus dengan UU mengenai pesisir dan pulau-pulau kecil, kemudian juga ada Perpres 54/2008. Kemudian izin diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Kemudian mereka membangun reklamasi, (membangun) pulau palsu, kemudian membangun bangunan di atasnya. Kebijakan pertama yang dilanggar adalah reklamasi ini berdiri di atas ruang yang tidak peruntukan ruangnya. Tidak ada kebijakan bahwa ruang ini diperuntukkan untuk apa, tetapi telah membangun reklamasi.
ADVERTISEMENT
Kedua, sudah ada aktivitas bangunan di reklamasi. Lautnya belum jelas peraturannya, kemudian membangun reklamasi. Peruntukan ruang di atas pulau reklamasi juga belum jelas, tetapi mereka membangun bangunan di atas reklamasi.
Baik itu pulaunya dan seluruh bangunannya itu sudah menyalahi aturan, cacat secara hukum dan cacat lingkungan hidup. Potensi kerusakannya sudah dirasakan betul oleh masyarakat nelayan yang ada di pesisir utara Jakarta.
Penyegelan proyek reklamasi pulau D (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penyegelan proyek reklamasi pulau D (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
WALHI berpendapat jika reklamasi merusak lingkungan. Di lain sisi, beberapa pihak mengatakan reklamasi dan proyek lain macam NCICD digunakan untuk menata kerusakan lingkungan yang terlanjur rumit di Jakarta Utara. Dampak lingkungan apa yang timbul akibat reklamasi?
Pesisir dan Teluk Jakarta ini belum ada kajian lingkungan hidup strategisnya (KLHS). Seharusnya KLHS inilah yang mendudukkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sepanjang pesisir dan Teluk Jakarta. Itu yang pertama harus didahulukan.
ADVERTISEMENT
Tetapi kemudian justru mereka memaksakan. Ini kita sebut proyek memaksa. Tanpa ada KLHS, tetapi mereka mengklaim ini sebagai solusi, padahal tidak.
Permasalahan Teluk Jakarta ini kan cukup panjang, sejak tahun ‘80 dan ‘90an sudah terjadi pencemaran yang sangat kritis. Dan WALHI sejak ‘90-an sudah concern terhadap isu pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tetapi kemudian tidak ada upaya yang signifikan terhadap Teluk Jakarta. Alih fungsi mangrove terus berjalan, kemudian pencemaran terjadi begitu saja tanpa pengawasan yang berarti. Itu yang kemudian membuat pesisir Teluk Jakarta mengalami krisis.
Yang harus dilakukan adalah memulihkan Teluk Jakarta. Kita tahu bahwa pencemaran di sepanjang Teluk Jakarta dikontribusikan oleh 13 sungai besar di Jakarta, yang sebagian besar masuk kategori tercemar berat. Sehingga, penyelesaian Teluk Jakarta ini harus diselesaikan secara holistik.
ADVERTISEMENT
Dampak riil ketika Teluk Jakarta diurug dengan pulau baru apa?
Yang pertama ini mengubah bentang ekosistem Teluk Jakarta. Kita tahu bahwa itu lokasi wilayah kelola nelayan, itu fishing ground, dan keberadaan reklamasi ini meminggirkan sumber-sumber kehidupan nelayan. Keluhan ini sudah dirasakan betul oleh nelayan.
Dengan krisis di sepanjang Teluk Jakarta ini mereka sudah rasakan betul bagaimana ekonomi mereka menurun, ditambah lagi dengan keberadaan reklamasi. Artinya, sejak adanya reklamasi, dari sisi jangkauan harus beraktivitas lebih jauh lagi. Ini sudah jelas saling berkaitan.
Perusakan ekosistem yang dimaksud akibat pembangunan pulau ini seperti apa?
Reklamasi ini proyek yang merusak dari hulu sampai hilir. Dia, untuk mengeruk pasirnya, diambil dari lokasi lain. Itu sudah merusak ekosistem pasir yang diambil. Selain itu, dalam banyak kajian, dapat menghambat 13 sungai di Jakarta. (Ini) berdampak pada masalah yang begitu banyak.
Pemandangan permukiman kumuh yang padat di tepi danau di Jakarta Utara. (Foto: Shutter stock)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan permukiman kumuh yang padat di tepi danau di Jakarta Utara. (Foto: Shutter stock)
Izin prinsip 13 pulau yang belum dibangun telah dicabut Gubernur. Untuk tiga pulau yang sudah dibangun, Pemprov akan melakukan kajian sampai November soal peruntukannya. Aspirasi WALHI seperti apa?
ADVERTISEMENT
Pertama yang harus dilakukan Pemprov, permasalahan bukan hanya reklamasi di Teluk Jakarta, tapi lingkungan hidup secara holistik.
Jadi pemerintah harus membuat rencana pemulihan Teluk Jakarta, di dalamnya harus ada masyarakat, akademisi, kemudian juga nelayan, untuk memikirkan bersama-sama bagaimana ke depan Teluk Jakarta itu.
Terkait pulau reklamasi yang sudah existing ini, pemerintah harus melakukan kajian secara mendalam. Apakah pulau reklamasi ini akan dibongkar, dan bagaimana dampak jika reklamasi dibongkar. Yang kedua bagaimana dampak pulau reklamasi jika tetap ada.
Jika ternyata kajiannya reklamasi tidak dibongkar, itu tidak boleh lagi diperuntukkan untuk kawasan komersial dan privat. Dia harus menjadi ruang terbuka hijau dan menjadi area publik. Lebih penting lagi akses masyarakat, partisipasi masyarakat, dan nelayan mengenai rencana Teluk Jakarta. Itu yang harus disusun.
Akhir Reklamasi Jakarta (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Akhir Reklamasi Jakarta (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Artinya, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa (langsung menentukan) reklamasi akan diapakan. Tidak begitu juga.
ADVERTISEMENT
Kita harus tahu apakah reklamasi ke depannya akan terus memperpanjang dan memperdalam krisis yang terjadi di Teluk Jakarta. Itu yang harus didudukkan. Tidak bisa dibilang jika reklamasi yang sudah terlanjur terbentuk akan dibangun sesuatu. Nanti dulu.
Pemprov DKI Jakarta harus membuka kajian secara mendalam. Bagaimana jika reklamasi ini dibongkar. Reklamasi ini jika tidak dibongkar apa dampaknya, apakah akan melahirkan masalah-masalah baru di Teluk Jakarta. Sehingga kajiannya akan komprehensif.
Tapi syaratnya itu tadi, dia harus terbuka, transparan, dan berprinsip pada keadilan ekologis dan HAM.
Memangnya selama ini tidak ada kajian komprehensif terhadap reklamasi? Ini proyek besar lho.
ADVERTISEMENT
Kajian yang kita maksud komprehensif adalah bagaimana dampak sosialnya. Kajian selama ini kan tidak dilakukan secara terbuka. Nelayan secara luas tidak dilibatkan dalam kajian-kajian yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Itu yang kita sebut tidak komprehensif.
Artinya kepentingan reklamasi ini bukan kepentingan lingkungan hidup dan juga bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir terutama nelayan di Jakarta.
Maju Mundur Reklamasi Jakarta (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Maju Mundur Reklamasi Jakarta (Foto: Basith Subastian/kumparan)
------------------------
Simak laporan mendalam Setengah Hati Setop Reklamasi? di Liputan Khusus kumparan.