Cover-To the Point Sucipto Hadi Purnomo

Wawancara Khusus Dosen Nonaktif Unnes: Tuduhan Saya Menghina Jokowi Janggal

26 Februari 2020 20:11 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri, media sosial bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa menjadi sarana komunikasi yang jitu, tetapi di sisi lain bisa menghujam sang pengguna. Hal itu yang kini tengah dirasakan oleh dosen non aktif Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sucipto Hadi Purnomo.
ADVERTISEMENT
Berniat untuk menyampaikan pemikirannya, status yang diunggah Sucipto melalui akun Facebook pribadinya pada tahun lalu, akhirnya berujung perkara. Sucipto didakwa menghina Presiden Joko Widodo melalui unggahan tersebut. Alhasil, pihak Rektorat Unnes memberikannya sanksi dengan dibebastugaskan sementara hingga waktu yang belum ditentukan.
Meski demikian, pria lima anak ini membantah segala tuduhan itu. Menurutnya, status tersebut justru ditujukan untuk pihak-pihak yang selama ini kerap menyalahkan Jokowi.
“Tidak menghina, apalagi menghina presiden, kalau pun yang merasa terhina itu bukannya Presiden, tapi orang-orang yang selama ini menyalahkan Jokowi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sucipto pun menilai hukuman yang diberikan pihak Rektorat janggal. Lantas, kejanggalan seperti apa yang dimaksud dosen pengampu Bahasa Jawa ini? Apa langkah selanjutnya setelah dibebastugaskan? Simak wawancara khusus kumparan berikut ini.
Dosen non aktif Unnes, Sucipto Hadi Purnomo. Foto: Melly Meiliani
Sebenarnya apa makna dari status yang Anda unggah di Facebook? Anda menyebutkan penghasilan anak Anda menurun drastis, lantas apa hubungannya secara langsung dengan Jokowi?
Dari sisi logika tidak ada hubungannya, saya ingin mengatakan ke masyarakat bahwa apa-apa yang selalu dijadikan kambing hitam itu selalu Jokowi, apa-apa kok jokowi, apa-apa kok jokowi yang salah. Apakah kalau anak saya itu dapat amplop pada saat lebaran pun saya harus menyalahkan Jokowi? Maka kalimat kedua dalam status saya itu kan saya buat tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Pokoknya bukan pada penghasilan anak saya, tapi ini kalau ditambahkan ‘’juga’ atau ‘pun’ sebagai partikel pementing, ini akan kelihatan apakah ini salah Jokowi? Karena saya mengatakan apakah ini juga salah Jokowi? Waktu itu, saya kira yang paling ramai pemberitaan di media massa adalah Jokowi yang asik banget jalan-jalan sama cucunya, Jan Ethes. Di situ saya ingin mempertegas lagi, apakah ini salah Jokowi yang asyik dengan Jan Ethes?
Jadi, sebenarnya ada unsur pengandaian di situ?
Saya ingin mempertegas setiap unsur-unsur dari kata yang saya pilih itu, dengan kemudian menghadirkan baik diksi maupun personal-personal itu yang kontekstual agar enggak basi, hal itu sebagai sebuah pesan. Saya tidak mengatakan apa-apa ini salah Jokowi ? Tidak, tapi efek, karena ada efek Jokowi, ada efek Sri Mulyani. Di sisi lain, kemudian ada tokoh Jan Ethes, popularitas Jan Ethes pada lebaran lalu sangat tinggi, maka itu saya masukkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, saya tidak mengatakan ini sebagai angpau, tetapi dari sisi guyon sering kita mengatakan bahwa angpau itu sebagai penghasilan, ‘Wah, lebaran ini saya dapat penghasilan’. Dalam penuturan sering mengatakan begitu, makanya saya ingin membangun sebuah kedekatan, maka saya katakan penghasilan? Apakah ini penghasilan dari bekerja? Tidak, semua anak saya masih sekolah dan tidak bekerja.
Pada kalimat ‘penghasilan anak-anak saya menurun drastis pada Lebaran kali ini’ jadi bukan fakta sebenarnya?
Fakta bahwa pendapatan angpau, iya, itu yang menginspirasi saya untuk menulis, pada saat Lebaran, angpau itu berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Itu justru yang men-trigger saya untuk menulis, ide pokoknya sudah tersimpan lama. Saya ingin menyentil orang-orang yang kerap kali menyalahkan Jokowi. Bukan saya menyalahkan Jokowi, tapi ingin menyentil orang-orang yang kerap menyalahkan Jokowi. ‘Ini jalan rusak, astaga’ atau ‘Makan di warung rasanya kurang lezat’, ada apa saja rasanya ingin menyalahkan Jokowi.
Dosen nonaktif Unnes, Sucipto Hadi Purnomo. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Sebenarnya bukan ingin menyalahkan Jokowi, melainkan untuk menyentil orang-orang yang selalu menyalahkan Jokowi?
ADVERTISEMENT
Betul.
Menurut Anda, unggahan tersebut tidak dikategorikan menghina?
Tidak menghina, apalagi menghina presiden, kalau pun yang merasa terhina itu bukannya Presiden, tapi orang-orang yang selama ini menyalahkan Jokowi.
Sebagai ASN bukankah sudah sepatutnya tidak bermain-main dengan nama Presiden karena sudah banyak contoh kasusnya sebelumnya. Ketika Anda menulis status itu apakah tidak berpikir nantinya bisa menjadi perkara?
Sebenarnya ketika menulis saya mempertimbangkan, menimbang-nimbang. Bisa dilihat status saya tidak royal kata, apakah itu misalnya berefek pada rima atau persajakan atau kemudian ada pembagian kata atau tidak. Sebelum menulis, saya biasanya timbang-timbang. Yang kedua adalah menurut saya apakah seorang PNS tidak boleh menyebutkan nama Jokowi? Apakah seorang aparatur sipil negara tidak boleh menyebut nama-nama keluarga mereka? Boleh, siapa pun boleh, ini dalam rangka untuk panggilan edukasi kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika di lihat status tersebut, seperti ada makna yang hilang, hingga akhirnya pihak Unnes berpikir bahwa ini masuk dalam kategori penghinaan terhadap Jokowi. Anda sepakat dengan hal itu? Mengapa tidak menulis pemikiran Anda di media massa misalnya, sehingga maknanya tersampaikan dengan jelas?
Yuk, konstruksi kata-perkata maupun frasa-frasa, hubungannya kemudian kalimat satu dengan yang lain. Pada titik ini, coba lihat, baik itu secara leksikal maupun secara semantik, itu tidak terlihat ada hal yang menubruk, memberikan justifikasi ini adalah penghinaan terhadap Jokowi. Seperti yang saya katakan tadi, dan seperti yang saya tuliskan, “Ini teh kok enggak manis, apa ini karena Jokowi ya? Apakah saya meledek Jokowi? Apakah gara-gara Jokowi jadi presiden teh ini menjadi tidak manis?”.
Dosen nonaktif Unnes, Sucipto Hadi Purnomo, menunjukkan surat pembebasan tugas sementara dari Rektor Universitas Negeri Semarang. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Apakah Anda memang sering mengunggah status dengan memakai kalimat pengandaian?
ADVERTISEMENT
Ya, kadang-kadang saya mengatakan begitu walaupun tidak persis ya. “Dompet di saku celana saya menipis, apakah ini karena Merapi yang lagi meletus?” Enggak ada hubungannya sebenarnya, hanya bagian dari joke (candaan), bagian dari guyon.
Kita berkomunikasi perlu guyon, menampilkan diri sebagai sosok yang juga bisa guyon, tapi kadang-kadang saja. Tapi, itu sah-sah saja, memang ada jenis orang yang belum membaca benar-benar, tapi kemudian sikapnya reaktif.
Sebenarnya yang paling tahu itu memang penuturnya. Tapi, penutur bahasa tidak bisa bersembunyi di balik subjektivitasnya, karena bahasa itu adalah persoalan simbol yang sama-sama dipahami. Enggak mungkin saya mengatakan ini manis, tapi sesungguhnya adalah pahit. Bahwa ini adalah putih sama kita bersepakat bahwa ini putih.
ADVERTISEMENT
Jika maksud Anda justru menyentil orang yang kerap menyalahkan Jokowi, apakah sanksi dari pihak Rektorat berlebihan?
Dari sisi alasan maupun dari sisi prosedur, iya. Alasan, soal mengganti status itu siapa sih yang berhak? Kemudian untuk memberikan justifikasi saya bersalah? Maka dalam berbagai kesempatan saya sampaikan, mari kita melakukan debat ilmiah, jika itu yang menyatakan adalah Rektor yang kebetulan adalah guru besar di bidang sosiolinguistik maka kita akan bersama-sama perdebatkan, bukan di ruang-ruang yang penuh dengan resesi, kita pergunakan norma-norma, kita gunakan acuan-acuan, kita gunakan landasan teoritis.
Yang kedua, proses ini sangat mendadak, tanggal 11 Februari saya diundang oleh sebuah tim pemeriksa atas dugaan terjadinya pelanggaran disiplin kepegawaian, salah satu itemnya adalah saya diduga tidak netral sebagai ASN atas unggahan tersebut. Tetapi, sebelum pemeriksaan saya bertanya kepada tim pemeriksa, apakah memiliki surat tugas atau surat keputusan atas keberadaan personel-personel ini?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kedua saya adalah apakah tersedia SOP pemeriksaan, sehingga tahu di mana letak kesalahan saya jika memang nanti salah, apakah saya off-side atau tidak, itu saya tanyakan. Kedua hal ini tidak terjawab, sehingga kemudian akhir-akhir pemeriksaan baru muncul dan kemudian ditemukan SOP-nya, tapi SK-nya belum. Kemudian saya katakan, jika syarat-syarat terpenuhi maka nanti malam pun artinya setelah saya membaca SOP saya siap diperiksa, besok pagi saya siap diperiksa. Tapi apa yang terjadi, ternyata esok harinya walaupun surat pemberhentian sementara itu diberikan dua atau tiga hari sebelumnya, surat tertanggal 12 Februari artinya satu hari setelah pemeriksaan yang belum masuk pada substansi, saya sudah mendapatkan sanksi.
Dosen nonaktif Unnes, Sucipto Hadi Purnomo. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Anda mengunggah status di Facebook pada 10 Juni 2019, tetapi baru diberhentikan sementara 12 Februari lalu, apakah Anda melihat ada kejanggalan di sini?
ADVERTISEMENT
Kejanggalannya, saya diperiksa tetapi tiba-tiba satu hari berikutnya sudah ada sanksi. Lebih aneh lagi ketika saya membaca rilis yang dikeluarkan oleh Humas Unnes, salah satu dasarnya adalah bahwa Rektor Unnes menyampaikan kampusnya sangat tegas terhadap unggahan di media sosial yang yang berisi penghinaan terhadap simbol NKRI dan kepala negara. Digunakan pasal 218 ayat 1 RKHUP. Yang digunakan rancangan undang-undang untuk menskors seseorang, menurut saya aneh, jika tidak keliru dalam ingatan saya, rancangan ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi .
Apa yang Anda lakukan untuk membela diri atau menjelasakan ke pihak Rektorat ketika itu?
Kebetulan tidak berselang lama ramai di media, beberapa teman menjadi tahu SK saya, secara administratif saya mencoba untuk mencermati SK, kemudian berita acara, kemudian saya lihat juga landasan hukumnya. Waktu itu saya minta untuk menulis surat keberatan. Pada tanggal 14 Februari, pada saat saya mendapatkan SK itu, pun saya sudah menulis surat, tapi kemudian ketika saya timbang-timbang dan minta nasihat dari kawan-kawan, akhirnya jika tidak keliru pada tanggal 17 atau 18 Februari, saya putuskan untuk mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai atasan langsung yang memberikan sanksi kepada saya.
Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman menjelaskan secara runtut lini masa penyusunan disertasinya yang disebut plagiat skripsi mahasiswi Unnes. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
Anda sempat menjadi saksi untuk kasus dugaan plagiat seorang dosen di Unnes yang saat ini menjabat sebagai Rektor Unnes. Apakah Anda menilai ini ada kaitannya?
ADVERTISEMENT
Benar, ada tiga sangkaan yang dialamatkan kepada saya. Satu, terkait dengan unggahan dan yang kedua adalah keterlibatan saya sebagai tim evaluasi kinerja akademik, Kementerian Ristek dan Dikti yang sekarang namanya menjadi Kemendikbud, tim evaluasi kinerja akademik (EKA) adalah yang biasanya bekerja dalam rangka pembinaan perguruan tinggi, memeriksa perguruan tinggi bermasalah termasuk pemeriksaan terhadap plagiat. Yang ketiga, kehadiran saya sebagai saksi di Polda terkait dengan acuan seseorang yang menyebutkan bahwa Mr. X mengadukan adanya dugaan plagiat salah seorang dosen di universitas kami pada saat menempuh studi dokternya. Itu salah satu yang menjadi alasan, karena faktanya ketika saya dipanggil ditanya soal itu.
Terkait dengan sangkaan kedua, untuk evaluasi kinerja termasuk salah satunya dugaan plagiat sebenarnya sejauh mana Anda terlibat di situ?
ADVERTISEMENT
Keterlibatan saya terhadap pengungkapan berbagai praktik plagiat di berbagai perguruan tinggi itu tidak hanya sekali-dua kali. Kami temukan hal itu lantaran skripsi mahasiswa tersebut atau tesis mahasiswa tersebut merupakan hasil plagiat, maka kami rekomendasikan agar ijazahnya ditarik kembali.
Apakah Anda sudah berbicara secara langsung dengan Rektor?
Belum, rektor juga belum memanggil saya. Yang terjadi adalah ketika teman media bertanya kepada saya, saya jawab. Mungkin teman-teman media juga bertanya kepada Rektor kami dan Rektor kami pun menjawab. Saya tawarkan bagaimana sebaiknya kita melakukan debat akademik. Karena ini sudah menjadi ranah umum, menurut saya perlu menjelaskan di forum-forum yang disaksikan banyak orang dan juga kemudian saya merayu kepada Rektor bahwa saya tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya beredar poster ada debat akademik antara Anda dengan Rektor Unnes pada 20 Februari, tapi pada akhirnya Rektor dikabarkan tidak datang, benarkah?
Beberapa hari sebelum itu saya dihubungi oleh mahasiswa, karena mereka membaca di berbagai media tentang ajakan saya, kadang-kadang dia juga menuliskan dengan diksi, ‘dosen terskorsing tantang Rektor debat terbuka di Akademi’. Ini dipicu oleh pernyataan beliau bahwa saya menghina Jokowi, karena kami sama-sama berhikmat pada studi kebahasaan maka saya tawarkan kalau begitu ungkapkan gagasan kita di hadapan masyarakat akademik, hadirkan para dosen, datangkan para mahasiswa. Dan, di situlah kemudian beliau bisa menguliti saya, bisa menyoroti apa yang saya tuliskan dan berikan juga kesempatan saya untuk mengajukan argumentasi saya dan ini adalah tradisi akademik.
ADVERTISEMENT
Ini menjadi komite saya untuk memenuhi undangan mahasiswa yang sejak awal sudah saya sanggupi dan tidak ada kekhawatiran apa pun. Saya tidak melihat mahasiswa sebagai ancaman, melainkan kawan untuk berdiskusi, kawan untuk bertukar pikiran, kawan untuk saling mengasah, mengasah empati dan lain-lain. Saya melihat antusiasme ruangan yang juga tidak bisa menampung mahasiswa itu, mereka duduk lesehan. Tapi, karena mitra berdebat saya tidak hadir, rasa-rasanya tidak elok kalau saya paparkan, lawan bicara tidak hadir, itu kan enggak berimbang. Kemudian panitia menawarkan sebuah format, dengan memanfaatkan panel yang sudah hadir, digantilah menjadi format diskusi publik termasuk mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk berbicara, bahkan penyelenggara kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa menyampaikan proses penyelenggaraan debat sebagai satu kasus praktik-praktik demokrasi di Unnes yang mengalami cobaan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana melihat dukungan dari beberapa mahasiswa terhadap kasus yang Bapak alami ini bagaimana?
Saya bersyukur bahwa mahasiswa-mahasiswa kami, baik yang selama ini saya ampu di jurusan, bahasa Jawa, maupun mahasiswa lain dari berbagai fakultas di tempat kami bekerja, ternyata support yang luar biasa. Tidak hanya di media sosial tetapi juga diskusi. Saya melihat melihat antusiasme dan dukungan ke saya, ini anak-anak muda bikin semacam polling antara saya dengan Rektor dan saya sampai dapat berapa ribu polling, mungkin mereka melihat saya sebagai sosok yang terdzholimi.
Di mana kesulitan dari kasus dugaan plagiat yang melibatkan Rektor Unnes sebenarnya?
Soal kasus dugaan plagiat sebenarnya sedang dalam penanganan, yang terakhir ya, ini sedang dalam penanganan UGM, tempat dia dulu menempuh studi S3. Sejumlah media mengabarkan bahwa proses yang sudah berjalan lebih dari 1 tahun ternyata sudah sampai pada simpulan dan rekomendasi. Dikemukakan bahwa rektor tinggal mendapatkan semacam review dari hukum, karena ini memiliki implikasi hukum juga, tapi soal akademik saya kira sudah selesai. Seseorang apakah ia plagiat atau tidak itu adalah persoalan akademik, persoalan saya mencontek atau tidak mencontek ketika mengikuti ujian, itu persoalan akademik bukan persoalan hukum.
ADVERTISEMENT
Bagaimana untuk kasus dugaan plagiat Rektor Unnes?
Saya hanya menjadi tim EKA, pada 2018 membuat data hasil kajian dan sudah diserahkan kepada Menteri Ristek dan Dikti waktu itu,saya kira tidak hanya tim EKA yang melakukan kajian itu, ada juga tim independen yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, itu bekerja atas aduan masyarakat, mereka melakukan kajian.
Dosen nonaktif Unnes, Sucipto Hadi Purnomo saat wawancara eksklusif dengan kumparan. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Dalam kaca mata Anda, apakah Rektor Unnes melakukan plagiat?
Saya tidak dalam kapasitas untuk justifikasi apakah seseorang itu plagiat atau tidak. Tapi kalau saya yang dituduh seperti itu maka saya akan minta kepada atasan saya atau siapa pun atau kalau saya berkuasa, saya akan bikin forum, saya bawa bahan-bahan pustaka saya, saya beberkan kepada khalayak, saya minta kepada banyak orang yang mendakwa saya menuding saya sebagai pelatihan kemudian yuk bidiklah saya, hujani saya dengan pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Anda juga mengirimkan surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, apa Harapan Anda dengan mengirimkan surat itu?
Isinya keberatan bahwa beberapa poin yang menjadi kejanggalan, adanya ketidaktaatan terhadap azas, dan kemudian semestinya sanksi itu diberikan ketika ada ketetapan. Ini kan mempreteli peran dan fungsi saya sebagai dosen, bukan saja saya tidak boleh mengkaji, tetapi juga tidak boleh meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat, bahkan saya tidak boleh untuk menggunakan nama dan atribut PNS dalam kegiatan pribadi maupun kelembagaan apa pun.
Apakah dengan kejadian ini akan menjadi pertimbangan dalam mengunggah sesuatu di media sosial?
Ya tentu saja, ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa mengunggah apa pun itu makin selektif itu, karena dalam komunikasi itu lumrah saja terjadi kesalahpahaman. Tetapi, ada hal yang memang kemudian dari sisi proses yang dijadikan sebagai masalah, di titik-titik itu yang kita menemukan adanya kejanggalan atau kecurigaan.
Sucipto Hadi Purnomo (kedua dari kiri) Dosen yang dinonaktifkan Unnes. Foto: Afiati Tsalitsati/Kumparan
Apa harapan Anda ke depannya?
ADVERTISEMENT
Saya ingin proses ini berjalan cepat, artinya kalau mau diperiksa besok pagi pun saya siap dan dari situ kemudian ditegaskan bahwa saya bersalah atau tidak. Tetapi, saya ingin pemeriksaan itu berjalan secara imparsial, berkeadilan dan kemudian karena ini sudah menjadi perhatian publik transparansi menjadi hal yang perlu. Tidak usah kemudian aturannya berbalik, kita enggak punya tata tertib seperti itu, tetapi transparansi itu tidak harus menjadi 'ketelanjangan', itu akuntabilitas kepada publik, selain ada akuntabilitas akademik.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten