Ahli: Serangan Siber Bisa Lebih Mematikan Dibanding Serangan Nuklir

28 Agustus 2019 18:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Hacker Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hacker Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Sekarang ini kebanyakan orang mungkin lebih mengkhawatirkan ancaman serangan nuklir ketimbang serangan siber. Tapi, menurut Jeremy Straub, asisten profesor ilmu komputer di North Dakota State University, serangan siber sebenarnya justru lebih berbahaya ketimbang serangan nuklir..
ADVERTISEMENT
Straub mengatakan serangan siber dengan dampak luas atau kombinasi dari serangan-serangan yang lebih kecil bisa berakibat fatal. Menurutnya, kerusakan akibat serangan siber ini bisa menyebabkan cedera dan kematian massal yang jumlahnya menyaingi serangan bom nuklir.
"Berbeda dengan senjata nuklir, yang dalam seketika bisa melenyapkan orang dalam jarak 30 meter dan membunuh siapapun dalam jarak 800 meter, angka kematian dari serangan siber akan lebih lambat naiknya," papar Straub di The Conversation.
"Akibat serangan siber, orang-orang bisa meninggal karena kekurangan makanan, atau listrik. Korban juga bisa meninggal akibat gangguan sistem pengatur lalu lintas. Hal ini bisa terjadi pada area yang luas dan menyebabkan kematian atau cedera massal," lanjut dia.
Straub mengatakan hal semacam ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Ia menceritakan bahwa pada 2016 ada sekelompok hacker yang meretas pabrik pengolahan air minum di AS.
ADVERTISEMENT
Hacker-hacker itu mengubah campuran kimia yang digunakan untuk memurnikan air. Jika perubahan yang terjadi tersebut tidak segera disadari, hal itu bisa menyebabkan terjadinya keracunan massal, suplai air yang ada tidak bisa digunakan, dan kekurangan air pada masyarakat.
Contoh lainnya adalah kejadian di Ukraina pada 2016 dan 2017. Waktu itu, hacker mematikan sejumlah pembangkit listrik di sana. Untungnya, tidak ada kerusakan parah akibat serangan siber itu, meski para hacker bisa menyebabkan kerusakan yang lebih parah, jelas Straub.
Ilustrasi Hacker Foto: Thinkstock
Pada Agustus 2017, sebuah pabrik petrokimia Arab Saudi juga pernah mendapat serangan oleh sekelompok hacker yang ingin meledakkan peralatan di sana. Para hacker ingin melakukan itu dengan mengontrol sebuah alat elektronik yang banyak digunakan oleh berbagai fasilitas industri di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
"FBI telah memberi peringatan bahwa hacker sudah mulai menarget fasilitas nuklir. Fasilitas nuklir yang diretas bisa berakibat pada bocornya material radioaktif atau bahkan rusaknya inti reaktor," kata Straub.
"Serangan siber bisa menyebabkan kejadian yang sama dengan kecelakaan di Chernobyl," sambungnya.
Straub mengatakan bahwa ia tidak meremehkan dampak langsung dari serangan nuklir. Ia ingin menunjukkan bahwa serangan siber tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan ancaman nuklir.
Menurutnya, saat ini tidak ada "inhibitor" atau suatu hal yang menahan suatu negara unuk melakukan serangan siber. Ia menjelaskan bahwa dalam hal senjata nuklir ada pemahaman "kehancuran bersama" yang mencegah negara pemilik nuklir untuk saling serang menggunakan nuklir. Sebab, serangan nuklir dari suatu negara akan mendapat respons yang sama dari negara yang lain sehingga akhirnya membuat negara-negara itu hancur.
ADVERTISEMENT
Straub menjelaskan ada sejumlah skenario yang bisa membuat perang serangan siber antarnegara pecah. Hal itu bisa dimulai oleh adanya badan intelijen suatu negara yang mencuri atau mengganggu data militer negara lain. Hal ini bisa memicu serangan siber balasan yang dampaknya meluas hingga ke masyarakat.
Dalam skenario lain, sebuah negara atau organisasi teroris bisa mengeluarkan serangan siber merusak yang menarget fasilitas listrik, air, atau industri dalam satu waktu. Kemungkinan lainnya adalah serangan siber yang terjadi akibat kesalahan manusia.
Karena begitu berbahayanya serangan siber, Straub menyarankan agar pihak pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat mengamankan sistem komputer yang mereka gunakan. Hal ini untuk mencegah serangan siber bisa masuk ke sistem dan mendapat informasi serta akses yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Straub menambahkan bahwa sistem-sistem penting, seperti sistem utilitas publik, transportasi, dan perusahaan yang menggunakan bahan kimia berbahaya, harus lebih aman lagi. Ia menekankan bahwa sistem-sistem itu memerlukan staf-staf khusus keamanan siber.