Dirjen KLHK: Kendaraan Bermotor dan Kemarau Penyebab Polusi Udara Jabodetabek

11 Agustus 2023 14:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan, polusi udara di Jabodetabek kembali memburuk. Bahkan, menurut data Nafas, perusahaan kualitas udara berbasis teknologi, polusi udara di Jabodetabek sudah masuk kategori “tidak sehat untuk semua orang” dengan rata-rata PM2.5 lebih dari 50 µg/m³.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, tidak menampik bahwa polusi udara di Jakarta dan kota sekitarnya mengalami peningkatan. Namun, sifatnya masih fluktuatif.
Salah satu faktor pencetusnya karena saat ini Indonesia sedang memasuki musim kemarau. Kualitas udara di musim kemarau khususnya dari Juli, Agustus, hingga September cenderung memburuk dan ini terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau dilihat dari segi siklus, memang bulang Juli dan Agustus itu selalu terjadi peningkatan polusi udara di Jakarata karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering," ujar Sigit, dalam konferensi pers yang dilakukan di Kantor Dirjen PPKL, Jakarta Timur, Jumat (11/8).
KLHK juga sudah melakukan upaya mencari tahu dari mana sebetulnya sumber pencemaran di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil studi, dari bahan bakar, pemicu polusi udara di Jakarta disebabkan oleh batu bara 0,4 persen, minyak 9 persen, dan gas 51 persen.
ADVERTISEMENT
Sektor kendaraan bermotor ternyata menjadi faktor utama polusi di Ibu Kota. Menurut KLHK, sektor transportasi menyumbang 44 persen polusi ke udara, industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
Artinya polutan yang ada di udara seperti PM10, PM2.5, NOx (Nitrogen oksida), dan karbon, lebih banyak dilepaskan dari kendaraan bermotor, seperti mobil, truk, kendaraan roda dua, dan sebagainya. Sementara gas SO2 memang lebih banyak berasal dari PLTU manufakturing, mencapai 61,96 persen.
Macet di sekitaran Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, imbas bubaran relawan Jokowi, Sabtu (26/11/2022). Foto: Dok. Istimewa
“Peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas udara dengan memperbaiki sektor transportasi. Baru kemudian dari alat pengendali pencemaran dari industri. Sisanya itu adalah mungkin tidak terlalu signifikan di DKI Jakarta, seperti pengendalian peternakan, mencegah pembakaran sampah langsung, kemudian mengganti kayu dan minyak dengan gas atau kompor listrik,” ujar Sigit.
ADVERTISEMENT
Sigit mengatakan, untuk menangani hal ini, KLHK telah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan mendukung peraturan uji emisi. Uji emisi baku mutu ini dilakukan pada kendaraan tipe lama roda dua, roda empat, dan kendaraan lainnya. Uji emisi besar-besaran pernah dilakukan pada 5 Juli 2023 di wilayah Jabodetabek.
“Karena tadi rekomendasinya adalah uji emisi, maka kita juga sudah melakukan upaya serentak untuk melakukan uji emisi. Orang yang melakukan uji emisi sudah disiapkan, bahkan sertifikasi juga sudah disiapkan untuk menjamin bahwa bengkel-bengkel dan orang yang melakukan uji emisi itu standar,” ujarnya.
Bagaimanapun, kata Sigit, polusi udara di Jakarta tidak cukup dilakukan oleh Pemprov DKI saja. Ini harus melibatkan daerah lain yang ada di sekitarnya. Dibutuhkan kesadaran dari seluruh stakeholder agar polusi udara Jabodetabek bisa dikendalikan, mulai dari pemerintah, organisasi, hingga masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Hal-hal kecil yang mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi polusi udara saat ini adalah dengan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.