Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ngerinya Polusi Udara: Bikin Bakteri Jadi 'Superbug' Kebal Antibiotik!
11 Agustus 2023 8:37 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lho, kok bisa?
Sebuah riset dipublikasikan di Jurnal The Lancet Planentary Health, berjudul ‘Association between particulate matter (PM)2·5 air pollution and clinical antibiotic resistance: a global analysis’ menunjukkan fakta baru.
Para peneliti menemukan korelasi global antara polutan PM 2,5 di udara dengan bakteri kebal terhadap antibiotik. Mereka meneliti sekumpulan data dari tahun 2000-2018 terkait pola resistensi antibiotik di 116 negara.
Kumpulan data yang diteliti tim peneliti terdiri dari:
Tim peneliti berspekulasi bahwa bakteri resisten antibiotik diangkut melalui PM 2.5 yang dibawa melalui udara. Mereka mengingatkan bahwa resistensi antibiotik (ABR) adalah “masalah global yang parah,” menurut laporan Daily Mail.
ADVERTISEMENT
ABR adalah peristiwa di mana bakteri beradaptasi dan berevolusi sebagai respons terhadap obat-obatan antibakteri modern dan bahan kimia yang dirancang untuk membunuh mereka, menjadi 'superbug' yang sangat kuat.
Studi yang dipimpin oleh para peneliti di Universitas Zhejiang di Hangzhou ini menunjukkan bahwa kematian dini akibat ABR, sebagian diyakini dipicu oleh polusi PM 2,5.
“Analisis ini adalah yang pertama menggambarkan hubungan antara PM 2.5 dan resistensi antibiotik klinis secara global,” tulis para peneliti di dalam jurnal.
“Kami menunjukkan bahwa korelasi antara PM 2.5 dan resistensi antibiotik adalah konsisten di seluruh dunia pada sebagian besar bakteri yang resistan terhadap antibiotik, dan bahwa korelasi tersebut telah menguat dari waktu ke waktu.”
Korelasi signifikan antara PM2.5 dan resistensi antibiotik, konsisten secara global, pada delapan dari sembilan spesies bakteri resisten antibiotik yang diamati, termasuk E. coli.
ADVERTISEMENT
Menurut hasil penelitian, setiap kenaikan 10 persen PM 2.5 dikaitkan dengan peningkatan resistensi antibiotik sebesar 1,1 persen.
Tingkat resistensi antibiotik yang tinggi ditemukan di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Selatan. Sementara itu, Eropa dan Amerika Utara memiliki tingkat resistensi antibiotik yang rendah. Ini kemungkinan karena penggunaan antibiotik di wilayah itu yang lebih tinggi.
Apa itu PM 2,5?
Particulate Matter (PM) 2,5 adalah partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu. Menurut penjelasan Departement of Health New York, AS, PM 2,5 bisa mengurangi jarak pandang dan terlihat agak berkabut ketika jumlahnya tinggi.
PM 2,5 memiliki lebar sekitar 2 sampai 1,5 mikron. Ukurannya ini membuatnya 30 kali lebih kecil dibanding lebar rambut manusia.
ADVERTISEMENT
Ukuran PM 2,5 membuatnya bisa masuk hingga ke dalam paru-paru. Paparan PM 2,5 dalam waktu sebentar saja sudah cukup untuk menyebabkan masalah pada mata, hidung, tenggorokan, iritasi paru, batuk, bersin, pilek, dan napas pendek.
PM 2,5 juga dapat mengganggu fungsi paru dan memperburuk penyakit asma dan jantung. Sebuah riset yang dipublikasikan di The Journal of Investigative Medicine mengungkap, PM 2,5 meningkatkan risiko kanker mulut.
Cara paling ampuh
Menekan kadar polutan PM 2,5 adalah salah satu cara ampuh untuk mencegah lebih banyak bakteri berkembang menjadi superbug. Tim berpendapat bahwa pengendalian polusi akan berdampak signifikan berhasilnya tenaga medis mengurangi bakteri jenis ini berkembang di masa depan.
Para peneliti juga memperingatkan, perlu ada kebijakan yang harus diterapkan bersama untuk menghentikan polusi udara. Jika tidak, dikhawatirkan resistensi antibiotik akan meningkat sebesar 17 persen dan kematian tahunan yang disebabkan oleh resistensi antibiotik akan meningkat sebesar 56,4 persen pada tahun 2050 secara global.
ADVERTISEMENT
WHO memprediksi bahwa superbug akan membunuh 10 juta orang setiap tahun pada tahun 2050. Padahal sebelum itu, penyakit ini dapat disembuhkan dengan obat. Prediksi WHO itu akan menimbulkan beban kumulatif sebesar 100 triliun dolar AS terhadap ekonomi global.