Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Memahami Himen Perempuan yang Kerap Jadi Tolok Ukur Keperawanan
24 November 2018 13:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Tidak boleh split! Tidak boleh naik sepeda! Tidak boleh duduk dengan kaki terbuka terlalu lebar!
ADVERTISEMENT
Demi menjaga agar himen (hymen) di vagina tidak robek, banyak hal yang ditabukan untuk perempuan.
Pertiwi (nama samaran), calon istri anggota TNI, mengatakan kepada kumparan bahwa dirinya diwajibkan menjalani “tes keperawanan ” sebelum menikah dengan kekasihnya yang merupakan prajurit TNI. Pertiwi mengatakan dirinya telah menjalani tes yang berupa pemeriksaan himen itu pada 2018 ini.
Selain Pertiwi, seorang perempuan bernama Zakia juga mengatakan kepada ABC bahwa pada tahun ini dirinya juga pernah menjalani pemeriksaan himen demi mengikuti tahapan seleksi polisi wanita (polwan).
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya sudah pandang medis terhadap himen?
Tidak ada fungsinya
Himen adalah sebuah lipatan jaringan ikat yang berada di bagian depan vagina. Himen sendiri merupakan sisa lipatan jaringan yang berasal dari proses pembentukan vagina dan bibir kemaluan bagian luar.
ADVERTISEMENT
Menurut dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis obstetrik dan ginekologi di Rumah Sakit Ibu Anak Limijati, Bandung, himen sebenarnya tidak memiliki fungsi khusus, terutama bila menyangkut reproduksi perempuan.
“Umumnya pada perempuan dewasa, selaput dara (himen) itu tidak punya fungsi maupun kerja yang khusus,” kata Robbi saat ditemui kumparan, Kamis pekan lalu.
Namun begitu Robbi menambahkan ada beberapa teori yang mengatakan bahwa pada saat perempuan masih bayi, himen berfungsi membantu menghalangi kotoran seperti urine untuk masuk ke dalam vagina. Akan tetapi setelah perempuan tumbuh dewasa, himen menjadi tidak berfungsi.
Mengenai anggapan bahwa kondisi himen dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan keperawanan seseorang, Robbi dengan tegas membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada istilah keperawanan dalam bidang medis. Alasan mengapa himen tidak dapat menjadi penentu apakah seorang perempuan pernah berhubungan seksual atau tidak adalah karena bentuk struktur dan keutuhan himen dapat berubah karena alasan apapun meski tidak melibatkan hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
“Keberadaan selaput dara (himen), keutuhan selaput dara (himen) memang bisa berubah kapan saja, bisa berubah akibat kegiatan apa pun, baik itu berhubungan dengan penetrasi (seksual) maupun tidak. Jadi memang tidak bisa kita jadikan patokan bahwa selaput dara (himen) kalau seperti apa dia masih perawan, kalau seperti ini berarti dia tidak perawan,” ungkap Robbi.
Bahkan Robbi juga mengatakan bahwa himen seorang perempuan masih bisa tetap utuh meskipun dia telah berhubungan seksual.
Dalam kesempatan lain dokter sekaligus aktivis gender, dr. Putri Widi Saraswati, juga menyatakan bahwa sebenarnya himen memiliki berbagai variasi bentuk sehingga sulit untuk membedakan mana bentuk himen yang sudah koyak dan mana himen yang memang memiliki bentuk seperti itu.
“Yang kita tahu kan bentuknya cuma lingkaran di dalamnya ada lubang,” kata Putri saat ditemui di tempat praktiknya di Kota Baru Parahyangan, Padalarang.
ADVERTISEMENT
“(Tapi) ada juga yang dia lingkaran tapi ada batasnya di tengah-tengahnya. Ada kayak selaput di tengah-tengah. Ada juga yang ternyata bolongannya kecil-kecil. Ada juga yang dia bolong tapi bolongnya itu nggak lurus. dia kayak ada lipatan-lipatannya. Ada cekungan-cekungannya. Ada notch-nya ada juga yang kelainan, jadi si hymen-nya nggak berlubang sama sekali.”
Faktanya, setiap perempuan memiliki bentuk himen yang berbeda. Ada yang tipis, ada yang tebal, ada yang panjang, dan bahkan ada perempuan yang terlahir tanpa himen.
Karena “tes keperawanan ” ini tidak memiliki dasar ilmiah dan klinis, maka pada 17 Oktober lalu tiga organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Badan Kesehatan Dunia (WHO), UN Women, dan UN Human Rights Office (OHCHR), menyerukan penghapusan "tes keperawanan " dari seluruh negara di dunia. Berdasarkan data mereka, “tes keperawanan” umum ditemukan setidaknya di 20 negara, salah satunya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jenis kerusakan himen bisa tentukan keperawanan?
Wakil Kepala Pusat Kesehatan TNI, Laksamana Pertama Drg. Andriani, Sp.Ort, membenarkan bahwa ada pemeriksaan himen terhadap calon anggota wanita TNI dan calon istri anggota TNI. Namun begitu, ia mengatakan bahwa perempuan yang himennya telah rusak tidak serta-merta diklasifikasikan sebagai tidak perawan.
“Jadi, ini pun seandainya nanti di dalam pemeriksaan itu terjadi tidak perawan dan sebagainya karena hymen, itu akan kelihatan sebabnya apa dulu. Tim kesehatan akan tahu penyebabnya. Mungkin itu dia atlet penunggang kuda dan sebagainya itu juga bisa hymen-nya bisa robek di situ. Atau atlet yang sepeda dan sebagainya itu juga bisa,” terang Andriani ketika ditemui kumparan pekan lalu.
Pernyataan Andriani ini didukung oleh dr. Ulul Albab, SpOG, perwakilan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Sebelumnya Ulul mengatakan, secara resmi IDI selaku organisasi profesi kedokteran di Indonesia belum menanggapi seruan WHO tersebut dan belum memberikan sikap tersendiri soal polemik “tes keperawanan” di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun begitu Ulul justru mengatakan bahwa penyebab kerusakan himen pada perempuan bisa diketahui melalui “tes keperawanan”. Dia menjelaskan bahwa kerusakan himen, yang dianggap berbentuk seperti lingkaran, dapat dilihat berdasarkan teori semacam jarum jam.
“Biasanya selaput darah (himen) rusak karena hubungan seksual itu di bagian bawah antara jam 7 sampe jam 5. Kalau misalkan dia rusaknya di tempat yang lain karena trauma, biasanya tidak beraturan. Makanya akan kelihatan. Jadi tenaga kesehatan itu sudah tahu ini masih gadis apa enggak. Ada juga orang yang berbohong sudah melakukan hubungan seksual berkali-kali, tetapi bilangnya masih perawan. Bisa ketahuan itu kalau bohong. Karena berbeda sekali hymen yg sudah melakukan hubungan seksual sama yang belum,” tutur Ulul saat ditemui kumparan di Jakarta, Kamis (21/11).
ADVERTISEMENT
Pertanyaan Ulul ini berbeda dengan Robbi yang juga merupakan dokter spesialis obgyn. Bahkan, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan bahwa “teori jarum jam itu sampah.”
“Teori mereka dan itu ada di ensiklopedia kedokteran yang lama, itu adalah teori jarum jam. Kalau sobek antara jam 11 sampai jam 1 atau jam 2, itu karena kegiatan olahraga. Tapi kalau robek jam 6, itu karena kegiatan seksualnya aktif. Itu sampah,” kata Andreas saat ditemui kumparan.
Apa yang disampaikan Andreas ini didukung oleh pula hasil studi berjudul “Hymen: facts and conceptions” yang telah dipublikasikan di jurnal The Health pada 2012. Dalam riset ini disimpulkan bahwa himen bukalah parameter akurat keperawanan. “Pemahaman mengenai anatomi himen dan kelainannya sangat penting untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang hal itu,” tulis riset yang dibuat oleh Abdelmonem Awad Hegazy dari Faculty of Medicine, Zagazig University, Mesir, dan Mohammed O. Al-Rukban dari College of Medicine, King Saud University, Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian lain soal himen dan “tes keperawanan” juga pernah dipublikasikan di jurnal Reproductive Health pada 2017. Dalam makalah berjudul “Virginity testing: a systematic review” ini disimpulkan bahwa “tes keperawanan” atau yang biasa juga disebut sebagai “tes dua jari” atau pun “pemeriksaan himen”, tidaklah akurat untuk memprediksi status keperawanan seseorang. Selain itu, studi ini menyatakan bahwa tes semacam ini “dapat menimbulkan kerugian fisik, psikologis, dan sosial bagi peserta yang menjalaninya.”
Status imajiner
Mengingat keperawanan sendiri sebenarnya tidak bisa dibuktikan secara medis dan tidak memiliki definisi yang jelas, Robbi mengatakan bahwa keperawanan hanyalah status imajiner.
“Saya bilang keperawanan itu adalah status imajiner, tidak ada wujudnya dan yang tahu hanya dirimu sendiri,” tegas Robbi. “Secara ilmu kedokteran tidak ada yang namanya keperawanan, tidak ada tes keperawanan, tidak ada karakteristik perawan. End of discussion.”
ADVERTISEMENT
Psikolog klinis dewasa, Inez Kristanti juga mengingatkan agar masyarakat tidak menaruh harga perempuan pada keperawanan saja.
“Keberhargaan perempuan jauh lebih dari itu (keperawanan),” kata Inez. “Terkadang keperawanan dilihat sebagai inti atau keberhargaan perempuan. Padahal sebenarnya sama sekali tidak seperti itu. Perempuan itu dilihat dari seluruhnya keberhargaannya, dari fisiknya, mentalnya, semua secara keseluruhan.”
Simak cerita konten spesial Tes Keperawanan melalui tautan di bawah ini.
ADVERTISEMENT