Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengakuan Mereka yang Pernah Terlibat dalam 'Tes Keperawanan'
24 November 2018 17:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Sri Rumiati, pensiunan polwan berpangkat brigjen, punya pengalaman panjang dengan “tes keperawanan ” di Polri. Dirinya pernah menjalani tes keperawanan saat bergabung dengan kepolisian dan juga sempat terlibat sebagai psikolog dalam proses rekrutmen polisi yang menggunakan “tes keperawanan”.
ADVERTISEMENT
“Tes keperawanan” yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah berupa pemeriksaan terhadap himen di vagina perempuan. Tes ini kerap disebut juga sebagai “tes dua jari” karena biasanya dilakukan dengan memasukkan dua jari pemeriksa ke dalam anus perempuan yang diperiksa.
Meski pernah terlibat dalam melakukan “tes keperawanan”, Rumiati mengaku tidak menyetujui tes tersebut. Dia pernah melakukan protes terhadap “tes keperawanan” dari dalam dan sempat berpartisipasi dalam sidang parlemen membahas praktik ini.
"Saya mencintai institusi saya. Saya ingin kepolisian untuk menegakkan hukum. Kebanyakan hukum Indonesia, seperti Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Wanita dan Undang Undang RI NO 39 Tahun 1999 tentang HAM, melarang diskriminasi terhadap para perempuan," ujar Rumiati, dikutip dari laporan Human Rights Watch (HRW).
ADVERTISEMENT
"Lalu bagaimana bisa kepolisian melaksanakan penegakan hukum jika mereka sendiri tidak menuruti hukum negeri ini?" tambah dia.
Rumiati juga pernah mengemukakan pendapatnya untuk menghentikan "tes keperawanan" kepada Irjen. Pol. Drs.Sigit Sudarmanto S.H., M.M. pada 2010. Kala itu ia sedang mengikuti pertemuan membahas rekrutmen kader polisi baru.
Pendapat Rumiati banyak ditentang oleh koleganya sendiri. Bahkan tentangan juga datang dari mereka yang bekerja di pusat kesehatan dan medis. Menurutnya, mereka menentang dengan alasan moral.
Namun demikian, menurut Rumiati, pertemuan itu ditutup dengan Jendral Sigit meminta tes dihentikan. Tapi Rumiati merasa bahwa "tes keperawanan" masih terus dilakukan hingga sekarang.
Selain Rumiati, ada juga Veryanto Sitohang, direktur eksekutif dari Aliansi Sumut Bersatu, LSM Medan, yang sempat jadi anggota tim rekrutmen polisi tahun 2006-2008, yang bercerita soal tes keperawanan yang terjadi saat proses penerimaan polisi di Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Veryanto tergabung dalam tim eksternal beranggotakan lima orang. Dalam timnya ia bekerja bersama-sama dokter, psikiater, dan akademisi.
Kepada HRW, Veryanto mengatakan bahwa ketika timnya mengetahui sedang dilakukan "tes keperawanan " kepada para peserta perempuan, mereka merekomendasikan untuk menghentikan tes itu kepada tim internal yang beranggotakan para polisi.
"Tim internal bilang bahwa mereka akan mempertimbangkan masukan saya, tapi karena tes adalah salah satu kriteria yang dibuat oleh Mabes Polri, mereka tetap melakukannya," ujar Veryanto.
"Saya sudah menuliskan keberatan saya tapi tampaknya tes merendahkan itu tetap dilakukan," imbuh dia.
Kepada kumparan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo membantah bahwa Polri menerapkan “tes keperawanan” untuk seleksi polisi wanita (polwan). “Ini (‘tes keperawanan’) nggak ada di Polri,” kata Dedi saat dihubungi kumparan, Jumat (23/11).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, peneliti Indonesia untuk HRW Andreas Harsono mengatakan bahwa setiap tahunnya, hingga tahun 2018, HRW masih menerima keluhan soal “tes keperawanan” yang dilakukan oleh TNI maupun Polri.
“Sudah lima tahun saya meneliti soal (‘tes keperawanan’) ini. Setiap musim seleksi Polri dan TNI, selalu saja ada laporan soal ‘tes keperawanan’ ini,” kata Andreas kepada kumparan. Ia mengklaim bahwa penelitian soal “tes keperawanan” di Indonesia yang ia lakukan ini juga melibatkan sejumlah jenderal di kepolisian.
Praktik “tes keperawanan” ini menjadi kontroversi karena tidak hanya dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan, tapi juga dinilai sebagai tes yang tidak memiliki dasar klinis dan ilmiah.
Meski Wakil Kepala Pusat Kesehatan TNI, Laksamana Pertama Drg. Andriani, Sp.Ort, membenarkan bahwa pemeriksaan himen memang dilakukan terhadap calon anggota wanita TNI maupun calon istri anggota TNI. Selain menyatakan hasil tes ini tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan calon anggota wanita TNI, Andriani juga mengklaim bahwa pemeriksaan himen yang dilakukan instansinya ini memiliki dasar ilmiah untuk menentukan apakah himen seseorang rusak karena berhubungan seks atau karena faktor lain.
ADVERTISEMENT
“Jadi, ini pun seandainya nanti di dalam pemeriksaan itu terjadi tidak perawan dan sebagainya karena hymen, itu akan kelihatan sebabnya apa dulu. Tim kesehatan akan tahu penyebabnya. Mungkin itu dia atlet penunggang kuda dan sebagainya itu juga bisa hymennya bisa robek di situ. Atau atlet yang sepeda dan sebagainya itu juga bisa,” kata Andriani ketika ditemui kumparan pekan lalu.
Akan tetapi penuturan Andriani ini dibantah oleh beberapa dokter yang ditemui kumparan, salah satunya dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis obstetrik dan ginekologi di Rumah Sakit Ibu Anak Limijati, Bandung. Robbi mengatakan kondisi himen tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan keperawanan seseorang.
“Keberadaan selaput dara (himen), keutuhan selaput dara (himen) memang bisa berubah kapan saja, bisa berubah akibat kegiatan apa pun, baik itu berhubungan dengan penetrasi (seksual) maupun tidak. Jadi memang tidak bisa kita jadikan patokan bahwa selaput dara (himen) kalau seperti apa dia masih perawan, kalau seperti ini berarti dia tidak perawan,” ungkap Robbi.
ADVERTISEMENT
Andreas Harsono mengatakan bahwa teori yang dipakai TNI dan Polri adalah teori jarum jam yang ada di ensiklopedia kedokteran lama yang sudah usang. “Kalau sobek antara jam 11 sampai jam 1 atau jam 2, itu karena kegiatan olahraga. Tapi kalau robek jam 6, itu karena kegiatan seksualnya aktif. Itu sampah,” kata Andreas.
Hasil studi berjudul “Virginity testing: a systematic review” yang telah dipublikasikan di jurnal Reproductive Health pada 2017 mendukung pernyataan Robbi dan Andreas bahwa himen bukalah parameter akurat keperawanan.
“Pemahaman mengenai anatomi himen dan kelainannya sangat penting untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang hal itu,” tulis riset yang dibuat oleh Abdelmonem Awad Hegazy dari Faculty of Medicine, Zagazig University, Mesir, dan Mohammed O. Al-Rukban dari College of Medicine, King Saud University, Arab Saudi.
Studi ini menyatakan bahwa “tes keperawanan ” atau yang biasa juga disebut sebagai “tes dua jari” atau pun “pemeriksaan himen”, tidaklah akurat untuk memprediksi status keperawanan seseorang. Selain itu, studi ini menyatakan bahwa tes semacam ini “dapat menimbulkan kerugian fisik, psikologis, dan sosial bagi peserta yang menjalaninya.”
ADVERTISEMENT
Dalam bagian kesimpulan studi ini tertulis, “Tenaga kesehatan harus mendapat informasi yang lebih baik dan buku-buku kedokteran dan pelajaran lainnya harus diperbarui untuk mencerminkan pengetahuan medis terkini.”
Selain itu, disimpulkan bahwa “negara-negara harus meninjau kebijakan mereka dan bergerak menuju pelarangan ‘tes keperawanan’.” Kesimpulan studi ini jadi seruan juga dari tiga organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Badan Kesehatan Dunia (WHO), UN Women, dan UN Human Rights Office (OHCHR).
Pada 17 Oktober lalu mereka menyerukan penghapusan “tes keperawanan” yang dilakukan di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Mereka mengatakan “tes keperawanan” tidak memiliki dasar ilmiah atau klinis sehingga menyatakan bahwa tes yang “secara medis tidak perlu, dan sering kali menyakitkan, memalukan, dan bersifat traumatis ini harus berakhir.”
ADVERTISEMENT