Hacktivism: Ketika Hacker Berperan sebagai Aktivis Politik

3 April 2017 8:59 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Propic twitter Haikal hacker (Foto: Twitter Haikal)
zoom-in-whitePerbesar
Propic twitter Haikal hacker (Foto: Twitter Haikal)
Kasus Sultan Haikal, hacker berusia 19 tahun asal Tangerang, sesungguhnya mendegradasi peran hacker. Peretas bisa jadi dianggap sebuah profesi untuk memperkaya diri. Padahal, tak selalu demikian.
ADVERTISEMENT
Walau aksi para peretas kerap melanggar hukum, tindakan mereka sering kali didasari solidaritas dan empati. (Baca )
Dari situlah fenomena hacktivism muncul.
Ilustrasi Hacktivism (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hacktivism (Foto: Istimewa)
Sebelum hacktivism...
Protes bernada politis untuk mendorong perubahan, dilakukan melalui berbagai medium komunikasi manusia. Sekelompok orang turun ke jalan, berteriak di muka para pejabat, menyebarkan poster berisi pesan keresahan, hingga membuat tagar dan mengedarkannya di media sosial. Semua itu menjadi jembatan atas ekspresi ketidakpuasan publik.
Ketika peradaban maju seiring perkembangan teknologi, wujud penyampaian protes pun mengalami metamorfosis. Masing-masing individu mampu meneriakkan kegelisakan mereka, apapun caranya.
Pada titik ini, terbitlah hacktivism.
Dalam buku berjudul Hacktivism and Cyberwar: Rebels with A Cause? karya Tim Jordan dan Paul Taylor, terminologi hacktivism muncul berbarengan dengan perkembangan teknologi dan kehadiran profesi baru: hacker.
ADVERTISEMENT
Buku tersebut menyebutkan, peretas muncul ketika kemajuan teknologi memunculkan ruang kehidupan baru bernama cyberspace. Para hacker yang menjadi bagian dari cyberspace, lantas ikut terbentuk kesadarannya dalam berpolitik.
“Hacktivism adalah bentuk aktivisme yang menggunakan teknologi komputer untuk menunjukkan pesan politik. Simbol dalam ranah elektronik menjadi penanda tersendiri dalam demokrasi ruang siber,” tulis buku itu.
Penulis Hacktivism and Cyberwar: Rebels with A Cause?, Tim Jordan, ialah dosen sosiologi di Open University, Inggris, yang pernah menerbitkan buku Cyberpower dan Activism!; sedangkan Paul Taylor adalah dosen senior jurusan komunikasi di University of Leeds, juga Inggris, yang sebelumnya menelurkan buku Hackers.
[Baca juga: ]
Edward Snowden (Foto: REUTERS/Glenn Greenwald/Laura Poitras/Courtesy of The Guardian/Handout via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Edward Snowden (Foto: REUTERS/Glenn Greenwald/Laura Poitras/Courtesy of The Guardian/Handout via Reuters)
Penggunaan kemampuan peretasan muncul dalam berbagai kejadian. Edward Snowden, mantan pegawai Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat yang membeberkan dokumen praktik kotor negara adidaya itu kepada publik, merupakan salah satu tokoh yang bergerak di bidang hacktivism. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Contoh hacktivism lainnya dilakukan oleh Ghost Squad Attacker. Mereka melancarkan operasi peretasan bernama Opicarus dengan target bank internasional. Kelompok ini, alih-alih membobol sistem untuk mencuri uang dari bank-bank itu, justru meninggalkan pesan di laman web.
Operasi Opicarus didasari kecemasan atas perilaku para bank yang menampung dana hasil korupsi. Pesan Opicarus lantas muncul di laman bank-bank asal Belanda, Yunani, Kroasia, Macedonia, Maladewa, dan Siprus.
"Ini hanya permulaan, kami tidak akan berhenti sampai semua memberi perhatian pada bank, termasuk semua institusi yang menyimpan uang hasil tindakan kriminal para kriminal di dalamnya," tulis Ghost Squad Attacker.
Di Indonesia sendiri, hacktivism sudah sering digunakan sebagai cara menyampaikan pesan politik. Ini misalnya saat terjadi perang siber yang melibatkan hacker Indonesia dengan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Peretasan laman milik Malaysia dan Australia pada 2009 dan 2013 oleh peretas Indonesia, menjadi bukti peretasan dilakukan atas dasar aspirasi politik. Tahun 2009 karena sengkarut Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia-Malaysia, dan 2013 karena terkuaknya penyadapan intelijen Australia terhadap sejumlah petinggi Indonesia. [Selengkapnya: ]
Kasus lain yang menonjol adalah peretasan laman milik Robovac, perusahaan alat kebersihan asal Malaysia. Robovac, pada Februari 2015, meluncurkan iklan yang membuat rakyat Indonesia sakit hati. Iklan tersebut menyiratkan satu hal: beli alat Robovac dan “pecat pembantu Indonesia sekarang!”
Protes langsung menyeruak saat itu, dan para hacker Indonesia tak tinggal diam. Tak lama berselang, situs Robovac yang semula berisi daftar produk, langsung berubah gelap dan tak berfungsi. Terdapat pesan yang tertulis di laman tersebut:
ADVERTISEMENT
“Peringatan! Tolong perlakukan saudara perempuan kami dengan baik. Mereka memiliki keluarga, mereka memiliki anak-anak, mereka semua membutuhkan makanan. Jangan lupa, kami masyarakat Indonesia akan melindungi mereka. Iklan Anda tidak lucu sama sekali. Anda merendahkan harga diri orang lain di kaki Anda. Terima kasih.”
[Baca juga: ]
Ilustrasi Hacker (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hacker (Foto: Thinkstock)
Hacktivism juga terjadi ketika kelompok mahasiswa Papua di Yogyakarta direpresi. Juli 2016, ratusan personel Polda DIY turun mengepung Asrama Papua di Jalan Kusumanegara, Yogya, dengan alasan mencegah bentrokan antara penghuni asrama dengan kelompok antiseparatis.
Yogyakarta geger. Jalan utama kota gudeg lumpuh karena banyak polisi berjaga. Pengepungan asrama itu, meski bukan kali pertama, namun dianggap sebagian orang sebagai hal tak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Seiring protes dari para aktivis, sejumlah kelompok hacker turun tangan. Situs web milik Polda DIY berubah wajah menjadi gelap, dengan foto Joker si simbol kejahatan, mendadak muncul di laman depan, disertai tulisan:
"Why so serious? Introduce a little anarchy, and everything becomes CHAOS. Great, you've shown us how justice works. Improve your brutality Sir. PS #We'reNotSeparatist#
Peretasan situs milik Polda DIY (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Peretasan situs milik Polda DIY (Foto: Istimewa)