news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pro dan Kontra Netflix di Indonesia

17 Januari 2020 7:06 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menonton Netflix. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton Netflix. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Kehadiran Netflix di Indonesia menuai pro dan kontra. Ada pihak yang menyambut hadirnya Netflix karena memperkaya konten hiburan berkualitas, tapi ada juga yang menentang dengan berbagai alasan, mulai dari regulasi hingga moral.
ADVERTISEMENT
Salah satu pihak yang kontra dengan Netflix adalah Telkom. Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu memblokir akses Netflix sejak 2016 karena dianggap tidak mampu memenuhi aturan di Indonesia.
Telkom dan Netflix sebenarnya telah melakukan pembicaraan untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Namun, hingga kini belum ada kesepakatan yang tercapai di antara keduanya.
"Keputusan Telkom Group ini bukan didasarkan pada kepentingan bisnis semata, namun guna melindungi kepentingan pelanggan dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya," ujar Arif, dalam keterangan yang diterima kumparan, Jumat (10/1).
Telkom Indonesia. Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyebut bahwa keputusan Telkom memblokir Netflix lebih didasari oleh kepentingan bisnis semata. Tak hanya ragu dengan alasan pemblokiran, partai yang berdiri sejak 2014 itu juga menuding bahwa Telkom telah melanggar prinsip netralitas internet (net neutrality).
ADVERTISEMENT
Hal tersebut, kata mereka, justru akan merugikan konsumen karena penyedia jasa internet (ISP) bisa saja tiba-tiba memblokir layanan lain yang menjadi pesaing mereka.
Senada dengan PSI, Sudaryatmo, Wakil Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyebut bahwa langkah yang diambil Telkom dapat melanggar hak konsumen mereka. Pemblokiran sepihak oleh ISP tanpa perintah negara, kata dia, hanya akan membuat pengguna secara eksklusif mengonsumsi layanan yang disediakan oleh ISP terkait saja, tanpa diberikan alternatif lain.
"Ada dua sebenarnya bagi konsumen. Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan," kata Sudaryatmo, saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/1).
"Kemudian yang kedua, kaitannya dengan hak untuk memilih. Itu masalahnya di eksklusivitas."
ADVERTISEMENT
Sudaryatmo menambahkan, Telkom memiliki posisi tawar yang lebih tinggi ketimbang konsumennya. Hal tersebut memungkinkan Telkom berani memblokir Netflix tanpa ada arahan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Di sisi lain, menurut Heru Sutadi, seorang pengamat TIK dan ekonomi digital, keputusan Telkom untuk memblokir Netflix sudah tepat. Menurutnya, tak ada negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan prinsip netralitas internet.
Heru menambahkan, tidak dijalankannya prinsip tersebut bukan berarti hal yang buruk. Malah, hal ini justru dianggap berguna untuk melindungi norma sosial masyarakat.
"Di Indonesia memang kalau kita lihat undang-undang ITE, seolah-olah, kita teknologi internetnya netral. Tapi, ternyata nggak," kata Heru.
"Ini memang melindungi. Dilarang kalau misalnya kita mentransmisikan hal-hal yang terkait dengan pornografi di internet."
Pengamat TIK dan ekonomi digital, Heru Sutadi (kedua dari kanan), di acara diskusi polemik Netflix di Jakarta, Kamis (16/1). Foto: Aulia Rahman/kumparan
Telkom sebenarnya tak ambil pusing dengan tudingan Sudaryatmo. Menurut Arif, konsumen dapat menggunakan alternatif operator lain, kalau mereka bersikukuh ingin mengakses Netflix.
ADVERTISEMENT
"Pada dasarnya pelanggan memiliki hak untuk memilih layanan operator yang akan digunakan untuk kebutuhan telekomunikasi," kata Arif.
Pemerintah sendiri lepas tangan dengan isu pemblokiran Telkom terhadap Netflix. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Plate, pemerintah tak bisa mengintervensi masalah tersebut karena itu urusan bisnis-ke-bisnis.
"Netflix legal tapi masih diblokir? Kalau bisnis kita serahkan B to B, apa relasinya mungkin ada hal yang sifatnya komersial yang harus diselesaikan B to B. Tapi kalau dari sisi pemerintah itu minta taati aturan," kata Plate, pada Desember lalu.
Netflix dinilai langgar norma sosial
Konten pornografi dan LGBT memang dapat disaksikan dengan bebas di Netflix. Inilah salah satu alasan mengapa sejumlah pihak meminta Netflix untuk mengikuti aturan di Indonesia soal konten yang ditayangkan. Apalagi ada kekhawatiran tayangan-tayangan dewasa itu disaksikan oleh anak-anak.
ADVERTISEMENT
Terkait tuduhan bahwa kontennya melanggar aturan dan norma sosial Indonesia, Netflix telah memberikan berbagai fitur di mana pengguna dapat memilah konten yang hendak mereka dan anak mereka tonton.
Sebagai contoh, Netflix memberikan panduan rating dan sinopsis episode yang dapat digunakan pengguna untuk memilih konten apa yang sesuai dengan mereka. Selain itu, platform streaming video itu juga memiliki fitur Parental Control yang dapat digunakan orang tua untuk membatasi film apa yang akan ditonton anak mereka.
Tersedianya berbagai fitur tersebut diapresiasi oleh Agung Suprio, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, meski Netflix tak masuk ke dalam jangkauan pengawasan KPI, platform streaming video itu telah mengikuti aturan KPI.
"Lebih spesifik, Netflix sebetulnya sudah menciptakan parental lock. LPB (Lembaga Penyiaran Berlangganan) pun sudah kita wajibkan dalam UU 32 dalam P3SPS kita wajibkan parental lock, jadi anak kecil tak bisa mengakses konten-konten dewasa", kata Agung.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Agung menganggap bahwa inisiatif Netflix saja tidak cukup dalam mengantisipasi konten yang tidak sesuai dengan norma di Indonesia. Menurutnya, pemerintah perlu membuat regulasi di mana platform streaming semacam Netflix masuk ke dalam radar pengawasan penyiaran.
"Saya yakin di beberapa tahun yang akan datang akan lebih banyak layanan TV streaming serupa yang mungkin tidak seketat Netflix. Kita enggak hanya membicarakan Netflix," jelasnya.
Ilustrasi menonton Netflix. Foto: Shutter Stock
Agung menambahkan, saat ini pihaknya tak punya wewenang untuk mengawasi media baru seperti Netflix. Hal ini karena KPI hanya berkewajiban untuk mengawasi penyiaran konvensional. Sempat ada wacana agar KPI bisa mengawasi platform semacam Netflix dalam revisi UU Penyiaran, tapi tampaknya wacana ini tidak akan direalisasikan.
Jika nantinya punya wewenang, KPI belum tentu bisa mengawasi Netflix mengingat platform tersebut hingga saat ini tak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Belum bayar pajak di Indonesia
Ketiadaan BUT Netflix di Indonesia inilah yang menjadi perhatian Sudaryatmo. Menurutnya, konsumen akan kesulitan menuntut Netflix jika mereka menemukan konten yang melanggar aturan yang ada.
"Kalau dari sisi konsumen, kami lebih pilih Netflix ada di Indonesia dan punya badan hukum di Indonesia," jelas Sudaryatmo.
"Kita lihat bukan dari sisi pajak, tapi dari sisi ketika Netflix bikin tayangan yang bermasalah, dia secara legal bisa dituntut oleh konsumen," katanya.
Ilustasi Netflix. Foto: Stock Catalog/Flickr
Selain merugikan konsumen, ketiadaan kantor Netflix di Indonesia juga merugikan negara. Seperti yang diketahui, perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di luar negeri seperti Netflix tak membayar pajak ke pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri sedang menyusun aturan perpajakan perusahaan OTT yang akan dimasukkan ke dalam Omnibus Law Perpajakan. Netflix mengaku telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kominfo Johnny G. Plate terkait penerapan aturan wajib pajak.
ADVERTISEMENT
"Apapun peraturannya kita akan mengikuti. Dari tim Netflix sudah share dan diskusi, base case dari negara-negara lain, bagaimana mereka menarik pajak dari perusahaan digital seperti kita ini,” kata Kooswardini Wulandari, Communications Manager Netflix Indonesia, saat ditemui pada 10 Desember 2019 di Jakarta.
Bagaimana pendapatmu tentang kehadiran Netflix di Indonesia?