news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aktivasi Homestay, Cara Jitu Rawat Rumah Tradisional Indonesia

21 November 2019 13:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi homestay (portrait) Foto: Unsplash/Oanh MJ
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi homestay (portrait) Foto: Unsplash/Oanh MJ
ADVERTISEMENT
Homestay atau penginapan yang memanfaatkan rumah asli penduduk merupakan salah satu alternatif menginap saat berlibur. Di kawasan pedesaan, terutama yang tak menyediakan hotel atau vila di sekitarnya, homestay menjadi opsi bagi traveler untuk menikmati liburan yang padu.
ADVERTISEMENT
Karena kamu jadi punya kesempatan menikmati waktu bersama warga lokal. Melihat hal ini sebagai peluang, Kementerian Pariwisata lantas memanfaatkannya untuk memberikan pendapatan tambahan bagi warga sekaligus untuk merawat rumah-rumah tradisional.
Hal ini disampaikan Anneke Prasyanti, Tenaga Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dalam periode Menteri Pariwisata sebelumnya Anneke bertugas sebagai Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kemenpar yang melakukan aktivasi homestay.
Anneke Prasyanti, Tenaga Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Dengan mengaktivasi rumah-rumah tradisional atau rumah adat Indonesia menjadi homestay, masyarakat setempat tak akan menggantikan huniannya dengan bentuk modern. Sehingga rumah-rumah tradisional dapat bertahan dengan baik dan tetap menjadi bagian dari identitas suku bangsa yang ada.
"Jadi kepunahan itu juga terjadi karena ketidaktahuan dan kebingungan, gimana sih mengelola aset," kata Anneke pada kumparan ketika ditemui dalam Media Briefing Festival Wallacea Week, Selasa (19/11).
Media briefing Festival Wallacea Week di British Council, Senopati Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Anneke Prasyanti mengatakan bahwa homestay merupakan unit bisnis yang paling mudah dilakukan dari rumah tanpa harus mengubah bentuk aslinya. Di Wakatobi misalnya, rumah-rumah kayu panjang memiliki enam sampai tujuh unit kamar yang kebanyakan tak dihuni.
ADVERTISEMENT
Alasannya sederhana, karena orang-orang di sekitar tak merasa bahwa tinggal di desa merupakan sesuatu yang keren. Sehingga mereka pindah ke Jawa. Kosongnya kamar-kamar ini apabila diaktivasi untuk menunjang wisata bisa menjadi penghasilan tambahan bagi pemilik rumah.
"Satu kamar ditata interiornya, kamar mandinya ada, orang akan menginap di situ (dengan biaya) Rp 150 ribu per malam. Satu rumah bisa menghasilkan Rp 900 ribu per malam. Estimasi per bulannya, per tahunnya, itu sudah jadi penghasilan sampingan yang mereka enggak harus ngapa-ngapain. Mereka tugasnya cuma merawat, menjaga rumahnya," terang wanita yang sudah 20 tahun menjadi arsitek itu.
Davi Homestay Bar & Restaurant Foto: www.booking.com
Tak sekadar aktivasi belaka, Anneke bercerita bahwa ia masih punya banyak PR soal homestay ini. Karena pada umumnya masyarakat desa sendiri pun banyak yang tak lagi ingat akan budayanya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari lupa identitas diri hingga warisan budaya nenek moyang, sehingga Anneke dan timnya mesti melakukan edukasi kembali. Baik dari sisi identitas diri, edukasi warna dan wastra, sampai menaikkan 'kelas' rumah tersebut melalui fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan standar ASEAN.
"Terlalu banyak propaganda kampung warna-warni, propaganda jualan cat murah, sehingga sudah lupa mereka generasi suku apa, lupalah sama warna-warna identitasnya yang dulu dipakai di upacara. Kalau upacaranya sudah lama enggak dilakukan, dan hanya bikin kain atau aksesoris saja, nanti lupa, arti warna ini apa,"cerita Anneke.
Rumah tradisional dayak di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Shutterstock
Dengan mempertahankan bentuk rumah asli Nusantara sebagai homestay, Anneke berpendapat bahwa keragaman Indonesia akan tetap terjaga. Sementara di sisi pariwisata, wisatawan akan merasakan pengalaman yang berbeda di setiap destinasi wisata, sebab keragaman itulah yang jadi aset pariwisata yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Tak perlu takut soal daya tahan rumah melawan gejala alam. Karena kearifan lokal yang diterapkan dalam rumah-rumah tradisional Indonesia sudah terbukti mampu 'menangkal' itu semua.
"Yang perlu diangkat adalah bahwa kearifan lokal bisa mengatasi gempa, bisa mengatasi tsunami, karena mereka tahu jarak berdasarkan ilmu perbintangan, berdasarkan ilmu dari laut, itu kearifan-kearifan yang tidak ada catatannya," tandas wanita yang menggeluti arsitek bidang pelestarian itu.
Anak lelaki berlatar rumah adat Sumba. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Rumah-rumah tradisional juga dinilai Anneke lebih ramah lingkungan. Karena dibuat dengan bahan-bahan yang didapat langsung dari alam. Lalu ada pula sistem penanaman kembali atau reboisasi yang juga sudah diatur oleh adat.
Bicara tentang kesiapan, Anneke mengakui bahwa sudah banyak homestay yang dinilai layak huni dan siap ditindaklanjuti. Tetapi kebanyakan berada di kawasan barat Indonesia, tepatnya di Sumatera.
ADVERTISEMENT
Untuk kawasan tengah Indonesia yang dibatasi oleh garis Wallace, masih ada banyak hal yang mesti dikerjakan. Di beberapa lokasi di Sumba dan NTT, Anneke dan tim masih harus membekali masyarakatnya terlebih dahulu soal pariwisata.
Rumah adat di Desa Beleq Foto: Niken Nurani/kumparan
Sementara untuk masyarakat di bagian pesisir dianggap lebih siap. Karena sudah banyak bertemu dengan orang-orang asing, sehingga terbiasa untuk menerima tamu. Kalau untuk Lombok, Anneke menilainya relatif sudah siap, sebab sudah lebih kota dan sadar bahwa pariwisata bisa mendatangkan uang.
Hanya saja memang masih perlu dibina dari segi etika, pelayanan, dan hospitality. Sedangkan Sulawesi dinilai masih butuh banyak penanganan untuk melakukan aktivasi homestay.
"Karena rata-rata orang Indonesia tidak bersih, gitu. Kalau bicara ke timur, lebih bersih, tuh, orang Flores, Sumba, dari pada di NTT dan Sulawesi. Sulawesi itu PR banget," tutupnya.
ADVERTISEMENT