Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Foto: Mengunjungi “Surga” Minyak Kayu Putih
22 Maret 2017 6:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Kulit bentol gatal-gatal? Perut tak nyaman karena masuk angin? Badan pegal-pegal ingin dipijat? Benda apa yang pertama kali kamu cari?
ADVERTISEMENT
Minyak kayu putih tentu menjadi salah satu benda yang akan kita cari. Tapi tahukah kamu asal muasal minyak kayu putih yang memberikan kehangatan plus plus tersebut?
Yuk, berkunjung ke surga minyak kayu putih di Buru. Di pulau terbesar ketiga di Maluku ini, hampir tiap sudutnya dihiasi pohon berbatang putih dengan dedaunan yang tak terlalu rimbun. Pohon ini memiliki ketinggian bervariasi, mulai sekaki orang dewasa sampai 5 meter.
Itulah pohon kayu putih. Tumbuhan endemik yang tumbuh subur di Buru ini konon akan tumbuh sendiri di pulau tersebut tanpa perawatan atau tersiram air secara rutin sekalipun.
Pohon kayu putih menghasilkan minyak kayu putih setelah melalui penyulingan di rumah ketel.
ADVERTISEMENT
Di salah satu rumah ketel yang dikunjungi kumparan (kumparan.com), kami bertemu Mas Duli --seorang penjual minyak kayu putih berusia 29 tahun.
Mas Duli bersama 9 orang lainnya membentuk satu kelompok yang bekerja sama mengolah daun kayu putih menjadi minyak kayu putih siap jual.
Dalam rumah ketel tersebut, terdapat beberapa kelompok yang secara bergantian menggunakan ketel tradisional berbahan kayu kuning untuk menghasilkan minyak kayu putih.
Proses pembuatan minyak kayu putih tidak terlalu rumit. Diawali dengan memasukkan daun ke dalam ketel untuk dimasak. Ketel kemudian ditutup rapat agar uap yang dihasilkan tidak keluar, kemudian tunggu hingga 6 jam lamanya (tentu kamu tidak harus diam di samping ketel sampai 6 jam).
ADVERTISEMENT
Setelah 6 jam, uap yang dihasilkan lalu didinginkan hingga menjadi minyak kayu putih yang keluar dari pipa penyulingan. Proses ini memakan waktu sekitar 20 menit
Mas Duli mengatakan, dalam sehari kelompoknya dapat menghasilkan 12 botol minyak kayu putih ukuran 620 mililiter seharga Rp 150 ribu per botolnya.
Minyak-minyak kayu putih ini pun telah menarik pembeli dari luar provinsi.
“Penjualan belum online. Tapi ada yang beli dari luar kota sampai 100 botol. Dia langsung datang ke sini,” kata Duli.
Untuk masalah pengemasan, Duli mengakui hal itu masih dilakukan seadanya dengan botol kaca biasa. Namun jika dilihat, bentuk pengemasan sederhana ini memiliki nuansa klasik tersendiri. Terlebih aroma yang ditimbulkan masih kuat terasa meski botol telah ditutup rapat.
Memakai minyak kayu putih seolah juga telah menjadi budaya bagi masyarakat Maluku. Sepanjang perjalanan pulang malam hari dengan kapal feri menuju Pulau Ambon misalnya, tim kumparan mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat, menyebar dalam kapal tersebut.
ADVERTISEMENT
Minyak kayu putih ini sejatinya dapat menjadi salah satu masa depan Pulau Buru. Usaha alternatif yang jika diseriusi memiliki prospek bagus, dan terutama, jauh lebih aman dan sehat ketimbang berburu emas dengan merkuri. (Baca: Prahara Gunung Emas Pulau Buru )