Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kenangan Mei ‘98: Saat Seorang Muslim Bersyukur Melihat Rosario
18 Mei 2017 17:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Tentang berjuang, Firman tak segan melebur agama dan kelas. Baginya, hanya satu yang penting: reformasi harus terjadi.
ADVERTISEMENT
Mei 1998 selalu meninggalkan bekas dan kesan bagi mereka yang melintasinya. Pun demikian untuk seorang Muhammad Firman Hidayatullah, fotografer Forum Kota yang mengabadikan pergolakan rakyat menit demi menit selama sepekan lebih di bulan ganjil itu.
“Gerakan ‘98 adalah gerakan rakyat. Gerakan di mana seluruh rakyat turun ke jalan tanpa pandang bulu,” kenang Firman saat berbincang dengan kumparan di Jakarta, Jumat (17/5).
Firman ingat betul, semangat reformasi kala itu berhasil melebur kelas dan agama, membuat masyarakat menjadi entitas tunggal yang menyeru: Reformasi harus terjadi.
Kala itu tensi bangsa kian membubung. Karut-marut politik dan ekonomi berkelindan, meluas, dan membawa petaka bagi seluruh negeri.
Firman adalah salah satu saksi hidup yang mendengar, bahkan melihat, berondongan senjata aparat yang menembus tubuh mahasiswa yang turun ke jalan pada Mei 1998 itu.
ADVERTISEMENT
Menyaksikan semua itu, ia takut, tapi tak surut. Ia tak mau tinggal diam. Ia geram, “Bagaimana bisa rakyat jadi korban?”
Menghadapi ketakutan dalam diri, Firman mencoba menyapunya dan menguatkan jiwa raganya dengan mengingat sang Khalik. “Sebelum aksi, gue baca ayat kursi.”
Lantunan ayat kursi pun mendaras lirih dari bibir Firman sebelum ia merangsek ke jalan bersama Forum Kota, organ gerakan mahasiswa yang ambil bagian menuntut tumbangnya rezim Soeharto.
Ayat kursi Firman mengalir bersama pekikan “Reformasi!” “Demokrasi!”
Ketika itu, kenang Firman, semua seakan berlomba-lomba memberikan apapun yang bisa mereka berikan demi angin segar Reformasi.
“Mereka yang punya tenaga, bisa bantu turun ke jalan dan mengawal. Mereka yang punya suara lantang, bisa menjadi orator yang membakar semangat demonstran. Mereka yang punya pemikiran, bisa sumbangsih untuk agitasi dan propaganda. Karena saya punya kamera, maka saya turun untuk mengabadikan setiap detik sejarah bangsa melalui foto,” kata Firman.
ADVERTISEMENT
Ia terenyuh, terharu. Amat menyadari kekuatan rakyat yang sesungguhnya --kekuatan tanpa sekat yang belakangan makin sulit ditemui.
Di sela kesibukan pergerakan, dan sejak awal Forum Kota terbentuk, tak pernah sekalipun Firman mendengar pertanyaan “Apa agamamu?”
Firman acap kali menggelar konsolidasi dengan para aktivis lain yang berasal dari beragam latar belakang. Salah satunya bernama Adian.
Firman kerap memanggil Adian dengan sebutan “Abang.”
Suatu kali, Adian bertanya pada Firman ihwal ketuhanan. “Man, kamu percaya Tuhan?”
Firman sontak kaget dan menggebu menjawab pertanyaan Adian. Ia menegaskan, Tuhan jelas ada, sembari menceritakan rentetan pengalaman spiritual yang pernah ia alami.
Respons Adian membuat Firman kesal.
“Dia cuma nengok, terus nerawang ke atas ngeliatin eternit, terus bilang: udah, gitu doang argumentasi lo? Wah, sialan,” kata Firman diselingi tawa mengenang percakapan itu.
ADVERTISEMENT
Namun diskusi ketuhanan di antara mereka berdua terus berjalan. Firman terus-menerus menceritakan wujud Tuhan dalam berbagai rupa, entah turun dalam simbol nasi bungkus yang mereka terima saat aksi, hingga pengalaman belajar silat menggunakan ayat Alquran yang terbukti mampu membuat lawan terpelanting.
Obrolan usai saat petang tiba. Tapi Adian masih tak yakin Tuhan itu ada.
Sampai beberapa waktu telah berlalu sejak diskusi terjadi, dan suatu hari Firman-Adian duduk bersama dalam satu mobil.
Saat itu, Firman tanpa sengaja melirik ke Adian, dan kaget melihat kalung salib di kantung celana Adian.
“Gue tanya aja, itu kalung siapa? Dia jawab, kalung gue. Lalu gue tanya lagi, itu gantungannya apa? Si Abang jawab, itu salib. Gue tanya lagi, sekarang Abang percaya Tuhan? Terus dengan enteng dia jawab, ya gue juga butuh Tuhan kali,” kata Firman mereka ulang dialognya dengan Adian.
ADVERTISEMENT
Bukan main senangnya hati Firman. Sebab kalung salib yang dibawa Adian, yang kemudian digantungkan di lehernya, tak lain adalah rosario --semacam tasbih dalam Islam.
Sontak saat itu juga Firman berucap, “Alhamdulillah.”
“Saat itulah, gue sebagai seorang Muslim mengucapkan alhamdulillah melihat Rosario akhirnya menggantung di leher kawan yang beragama Katolik,” kenang Firman.
Agama, tegas Firman, tak seharusnya menjadi hal yang dapat memecah belah rakyat.
Meski berbeda keyakinan, Firman dan Adian berteman kian erat.
“Seorang Muhammad Firman Hidayatullah yang keluar dari masjid, akan terus bergandengan tangan dengan Adian Napitupulu yang keluar dari gereja, demi satu perubahan,” tutur Firman.
Dukungan rakyat dari berbagai golongan terhadap gerakan Mei ‘98 makin masif. Mulai sipil hingga marinir turun mendukung Reformasi.
ADVERTISEMENT
Firman terharu mengingat dukungan yang didapat dari berbagai lini. Saat seribuan mahasiswa melakukan long march ke arah Universitas Atma Jaya di Semanggi dan terjadi insiden mahasiswa berkejaran dengan panser TNI AD yang berusaha mengurai demonstrasi, bantuan dari marinir datang.
Di tengah pekat kabut kepanikan, seorang komandan lapangan marinir menghampiri salah satu mahasiswa. Sang marinir berkata singkat, “Kalian tidak usah khawatir. Kalau satu peluru saja keluar dari mereka, kami yang akan main.”
Firman terenyuh mendengarnya. “Mereka terus berjaga, bahkan patroli keliling Universitas Atma Jaya dari malam sampai jam tujuh pagi. Mereka menjaga kami, mahasiswa, yang sedang tidur di lapangan parkir.”
“Kalau Marinir nggak mengawal kami kala itu, abis hidup gue,” kata Firman.
Dan akhirnya, perlawanan yang persisten membuat Gedung MPR/DPR yang semula ditutup rapat dengan rantai, akhirnya dibuka lebar, seakan menyambut kedatangan para demonstran, meski tentara berjaga di sana-sini dengan senjata terkokang.
ADVERTISEMENT
Tragedi Mei ‘98 menjadi sebuah pengalaman spiritual bagi Firman. Saat itu ia percaya, keragaman benar-benar melebur menjadi perjuangan satu tujuan.
Di akhir ceritanya, Firman tampak terdiam beberapa saat, lalu tiba-tiba melontarkan tanya.
“Mungkinkah rakyat Indonesia bersatu seperti itu lagi?”