Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Jakarta sudah berubah beringas ketika Soeharto memutuskan untuk melawat ke Mesir pada 9 Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Mei 98 memang kelam. Tanggal 2, puluhan bentrokan terjadi antara mahasiswa dan aparat di seluruh negeri. Tanggal 4, enam orang meninggal akibat kerusuhan di Medan. Tanggal 7 terjadi Peristiwa Cimanggis dan 52 mahasiswa yang terluka oleh aparat dibawa ke RS Tugu Ibu. Tanggal 8, seorang mahasiswa terbunuh di Yogyakarta, dus terkenal dengan sebutan Peristiwa Gejayan.
Saat itu, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) yang lebih dari 71 persen tak hanya terjadi di Jakarta. Inflasi ratusan persen juga terjadi di seluruh Indonesia.
Masyarakat yang separuh berang separuh putus asa tak punya jalan lain selain memprotes. Namun, bak jongos yang hanya berkata iya-iya-saja, represi aparat menyebar mengikuti mengalirnya keputusasaan masyarakat.
Waktu itu, Presiden Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G15 --kelompok negara dunia berkembang yang menyebut diri memfokuskan kerja sama di bidang investasi, perdagangan, dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Pak Harto hadir pada acara itu. Ia membawa serta penasihat ekonominya Widjojo Nitisastro, Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursjid. Mestinya ia akan berada di luar negeri sampai tanggal 16 Mei.
Seperti yang selalu ia lakukan, Pak Harto merangkum beberapa kunjungan negara ke dalam satu perjalanan demi alasan penghematan anggaran. Selepas dari Kairo, rencananya Pak Harto akan mampir ke Arab Saudi.
Tapi perjalanan ke Saudi itu tak pernah terjadi.
Baru tiga hari berbicara di panel-panel internasional, Pak Harto dikabari rusuh di negerinya makin runyam. Empat mahasiswa mati --dan kali ini di ibu kota. Anak buahnya tak mampu menahan diri untuk tidak membedili massa yang bersenjatakan yel-yel pemompa semangat dan odol untuk mengurangi panas gas air mata dalam upaya mereka menumbangkan rezim yang bercokol 32 tahun.
ADVERTISEMENT
Hal itu jadi sorotan media-media luar. Tanggal 12 Mei, ketika menemui masyarakat Indonesia di KBRI Kairo, Soeharto sempat menyinggung ramai-ramai di tanah air. Sang Presiden yang tersudut, yang pada tanggal 1 Mei menyatakan baru mau melaksanakan Reformasi pada tahun 2003, mengisyaratkan kemauannya untuk mundur.
“Sebetulnya, kalau masyarakat tidak memberi kepercayaan lagi, tidak apa-apa. Saya sendiri sudah mengataken, jika sudah tidak percaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata,” kata Soeharto.
Kalimat Pak Harto tersebut seperti mimpi. Dan memang demikian kesaksian Pak Harto tersebut. Kesahihannya sempat abu-abu. Harian Kompas , dari laporan wartawan di Kairo yang mengaku setengah tertidur, menuliskan besar-besar “Soeharto Siap Mundur” meski beberapa hari kemudian diminta koreksi oleh Istana karena Pak Harto merasa tak pernah bilang demikian.
ADVERTISEMENT
Kondisi tanah air tak semakin membaik. Tanggal 13, kerusuhan berskala besar tumpah ruah di Jakarta dan Solo. Sehari setelahnya, massa terus membeludak, memadati jalanan hampir di seluruh daerah di Indonesia, dan mengepung gedung-gedung wakil rakyat.
Sialnya, Panglima ABRI waktu itu, Jenderal TNI Wiranto, malah tak ada di ibu kota. Tanggal 14, Ia menjadi inspektur upacara dalam rangka serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Malang, Jawa Timur.
Prabowo sebagai Panglima Kostrad saat itu menyarankan agar Wiranto tak usah datang ke ibu kota.
Jakarta semakin genting. Pembakaran dan kerusuhan terjadi di berbagai titik.
Jenderal Wiranto terbang ke Malang.
Kerusuhan mengganas. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat lebih dari 100 orang hangus terbakar. Pemda Bekasi mengumumkan puluhan mayat dievakuasi akibat bentrokan di masyarakat. Pusat Penerangan ABRI menyebut 500 orang tewas.
ADVERTISEMENT
Angka-angka tersebut dipercaya hanya sebagian kecil, karena ricuh-ricuh serupa juga terjadi di Solo dan beberapa daerah lain.
Tanggal 15, Pak Harto pulang ke tanah air, dan menemukan ia telah sendirian. Diare pula.
Mahasiswa yang 32 tahun sebelumnya mengusung ia ke tampuk kepemimpinan, berbalik menuntutnya turun. Mahasiswa yang dulu melihat Soeharto sebagai penyegar keadaan dan versi upgrade dari Sukarno, kini melihatnya sama saja dan bahkan lebih parah dari pendahulunya itu.
Tak berapa lama setelahnya, Harmoko, Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua MPR, ikut-ikut “berkhianat”. Ia yang terkenal sebagai kepanjangan lidah Orde Baru dan muncul di televisi-televisi hitam putih itu meminta Soeharto “agar secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”.
Langkah terakhir Pak Harto untuk membentuk Komite Reformasi berakhir gagal. Ia mendapati 45 nama yang diajukannya menolak untuk ikut serta. Beberapa menteri jajarannya pun pamit mengajukan pemotongan masa kerja.
ADVERTISEMENT
Tanggal 19, rombongan ulama dan tokoh masyarakat menemuinya, memberikan beberapa opsi agar Pak Harto lengser keprabon.
Tanggal 20 Mei, Harmoko, yang beberapa waktu sebelumnya meyakinkan tak ada yang pantas dan mau menggantikan Soeharto, berpaling muka lebih jauh dengan mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri selambat-lambatnya 22 Mei atau MPR akan memilih presiden baru.
Sehari kemudian, saat itu tiba juga. Pak Harto tampil di TV, dan menerima takdirnya: mundur di tengah gemuruh sukaria rakyat.
Sudah mulai lupa bagaimana Indonesia memasuki gerbang Reformasi? Simak di sini rangkaian kisahnya
ADVERTISEMENT