Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Suatu hari di bulan Februari 1998, sebuah surat elektronik masuk. Email itu berisi pesan singkat saja, “Hanya ada satu kata: lawan!”
ADVERTISEMENT
Pengirim email itu: Wiji Thukul, sang penyair aktivis pemberontak yang menjadi Ketua Jaringan Kerja Kesenian Rakyat --organisasi sayap Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang beroposisi terhadap Orde Baru-- dan kini hilang tak tentu rimbanya.
Satu kalimat pendek dari Wiji Thukul yang mendarat di mailing list (milis) gerakan mahasiswa dan prodemokrasi itu menjalar cepat, mengobarkan api perlawanan.
Kisah itu dikemukakan Sukardi Rinakit dalam tulisannya, Review: The Internet in Indonesia’s New Democracy, di jurnal Contemporary Southeast Asia, Agustus 2006.
Sukardi saat itu mengulas buku The Internet in Indonesia’s New Democracy karya David T. Hill and Khrisna Sen yang membahas tentang peran internet dalam dinamika politik Indonesia.
Alih-alih “berperang” dengan bambu runcing, pedang, atau senapan, para mahasiswa dan aktivis prodemokrasi bergerak menggunakan spanduk, plakat, media massa, dan: internet.
Peran sentral internet sebagai alat komunikasi gerakan prodemokrasi 1998 tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT
“Mayoritas anggota SMID dan PRD menggunakan email dalam koordinasi antara satu kota dengan kota lain --untuk merancang aksi-aksi demonstrasi dan perlawanan,” kata Nezar Patria, mantan Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), saat berbincang dengan kumparan di Jakarta, Rabu (17/5).
Bahkan penggunaan internet di kalangan aktivis prodemokrasi saat itu tergolong advance.
Misalnya, karena keamanan komunikasi via internet tak bisa dijamin, terlebih pada masa Orde Baru, dan karena semua platform gampang diterobos, maka para anggota gerakan menggunakan sistem enkripsi jika berhubungan antarkawan, antarkampus, dan antarkota.
Mereka memakai Pretty Good Privacy (PGP) --program untuk mengenkripsi dan mendekripsi email melalui internet, serta Pegasus --internet provider yang berfungsi sebagai “gerbang” ke jaringan online yang kerap digunakan para aktivis lingkungan, buruh, perdamaian, perempuan, dan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
“PGP bekerja dengan sistem password enkripsi. Jadi kalau kirim dokumen, baru bisa dibuka dengan dua password berbeda. Maka butuh dua orang untuk membuka dokumen. Masing-masing password hanya dia yang tahu, dan password itu panjang berbentuk kalimat --bisa dua kalimat, bukan password biasa,” kata Nezar.
Sistem tersebut dibuat untuk mengantisipasi jatuhnya dokumen penting ke tangan rezim Orde Baru.
“Kami amat aware dengan internet, dan belajar menggunakannya. Kami mencari tempat-tempat yang kira-kira memiliki provider buat langganan, biasanya CBN, Wasantara. Dengan itu, kami bisa kirim berbagai informasi antarkota dengan cepat. Berbeda dengan teknologi sebelumnya, faksimile, yang jauh lebih ribet,” ujar Nezar yang kini menjabat Digital Editor-in-Chief The Jakarta Post.
Lewat email dan grup milis, jejaring komunikasi gerakan prodemokrasi dirajut kuat antarkota, antarkampus, dan antarorganisasi. Informasi-informasi terkait upaya perlawanan yang sedang digalang disebar cepat dari dalam negeri ke luar negeri --ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara, juga Jepang, Eropa, hingga Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
“Kabar dalam negeri bisa diekspose ke media-media independen di luar negeri. Dan aktivis senior yang kabur (dari buruan aparat) --kebanyakan bekas anggota dewan mahasiswa, membantu dari luar.”
Peran milis ketika itu amat penting. Selain sebagai forum diskusi, juga menjadi semacam jurnal untuk mengumpulkan informasi antarkota untuk kemudian di-blast ke jaringan prodemokrasi di seluruh Indonesia.
Salah satu milis yang paling ditunggu-tunggu aktivis gerakan prodemokrasi ketika itu ialah Apakabar, dengan keanggotaan mencapai 250.000 orang yang tersebar di 96 negara --menjadikannya milis terbesar dalam sejarah internet Indonesia.
“Milis ini punya banyak informasi up to date, misalnya artikel-artikel analisis tentang situasi politik --yang tak akan membuat pemerintah Orde Baru senang,” kata Nezar.
Di antara tulisan yang beredar di milis Apakabar, misalnya, berisi pedoman untuk mengelola aksi massa besar, menghadapi kekerasan aparat di lapangan, juga tukar-menukar informasi dengan aktivis Korea Selatan yang memiliki pengalaman menggalang aksi buruh dan mahasiswa di negaranya.
ADVERTISEMENT
Milis Apakabar menjadi wahana perlawanan terhadap Orde Baru, diikuti mahasiswa, anggota organisasi masyarakat, pemuda, dan organisasi nonpemerintah lintas kota.
Milis tersebut mengisi dahaga mereka yang haus informasi, di tengah pemberedelan masif terhadap berbagai media di Indonesia. Media massa saat itu praktis berada di bawah kontrol rezim Soeharto.
Setelah Orde Baru runtuh, milis Apakabar ditutup sekitar tahun 2000, dan rekaman percakapannya dapat dilihat di arsip online Ohio University Libraries .
Apakabar, mau-tak mau berperan vital dalam kejatuhan Soeharto. Gerakan perlawanan mengkristal di jagat maya, dan mewujud di lapangan --menemukan pemicu ketika Soeharto kembali dilantik menjadi presiden dalam Sidang Umum MPR Maret 1998.
Sepanjang Maret sampai Mei 1998, rangkaian demonstrasi menuntut Soeharto mundur bergaung riuh, sambung-menyambung di berbagai kota, dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, sampai Makassar, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Aksi perlawanan menemukan titik didih ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak pada 12 Mei 1998, diwarnai situasi semrawut negara ketika kerusuhan pecah di Jakarta hingga Solo, dan akhirnya hari ini, 18 Mei 19 tahun lalu, Gedung MPR/DPR diduduki ribuan mahasiswa yang menuntut Soeharto mundur.
Ikuti kisah berikutnya:
Jangan pernah lupakan sejarah. Rawat ingatanmu, mari buka lembarannya di sini
ADVERTISEMENT