Selamat Tinggal, Soeharto

21 Mei 2017 6:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mahasiswa menduduki DPR, Mei '98. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa menduduki DPR, Mei '98. (Foto: Wikimedia Commons)
21 Mei 1998. Pagi tenang ribuan mahasiswa yang menginap di Gedung MPR/DPR terusik oleh sejumlah wartawan yang mendadak berlarian. Mereka mengabarkan: bakal ada pengumuman penting dari Istana Negara.
ADVERTISEMENT
Jantung kembali berdegup, was-was menanti apa kiranya pernyataan yang bakal keluar dari Istana sang tiran yang berjarak 30 menit dari lokasi para mahasiswa di DPR.
Kondisi di DPR sendiri sesungguhnya relatif tenteram dibanding ketegangan yang mencekam sehari sebelumnya, 20 Mei, saat ribuan mahasiswa itu berencana long march ke Monas dan Istana untuk berdemonstrasi --yang kemudian dibatalkan untuk mencegah pertumpahan darah bila mahasiswa sampai beradu dengan 80.000 tentara yang berjaga di sana.
Beberapa kelompok mahasiswa, termasuk dari Universitas Indonesia, bahkan sudah ada yang pulang karena sehari sebelumnya isu sweeping merebak. Tak cuma itu, ada pula wartawan yang memilih pulang untuk tidur sejenak setelah kelelahan bertugas berhari-hari tanpa memejamkan mata.
[Baca ]
Soeharto. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Di Cendana dan Istana, kesibukan terjadi --dan itu sudah sejak malam harinya, saat Soeharto memutuskan untuk mundur dari jabatan yang telah disandangnya selama 32 tahun dan jelas tak dapat diselamatkan lagi karena ia berhadapan langsung dengan rakyat yang kian garang.
ADVERTISEMENT
Penulis pidato presiden, Yusril Ihza Mahendra yang telah menginap berhari-hari di Cendana menemani Soeharto menghadapi hari-hari genting, memandang presidennya dengan perasaan campur aduk.
Yusril yang ikut memberi saran agar Soeharto mundur, menatap sedih ke arah sang tiran renta. Mencengkeram Indonesia selama tiga dekade, usia Soeharto saat itu 77 tahun.
“Bapak Soeharto harus segera mundur untuk memberi ketenangan pada semua orang,” kata Yusril dua hari sebelumnya, 19 Mei, saat Soeharto mengumpulkan 9 tokoh Islam di Istana, termasuk Yusril, untuk dimintai pendapat.
Mendengar ucapan Yusril, Soeharto bertanya gelisah, “Saya sudah mau mundur, tapi bagaimana caranya?”
Terlalu lama berkuasa mungkin membuat seseorang bingung cara meletakkan jabatan.
[Baca: ]
Soeharto. (Foto: Reuters.)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto. (Foto: Reuters.)
Soeharto sudah bersiap pergi ke Istana ketika ia menghampiri Yusril, memintanya menambahkan kata-kata “kabinet dinyatakan demisioner” pada naskah pidatonya yang telah rapi diketik.
ADVERTISEMENT
Dengan status demisioner atau tanpa kekuasaan, kabinet dianggap telah mengembalikan mandat kepada kepala negara, namun masih melaksanakan tugas sehari-hari sampai menunggu kabinet baru terbentuk di bawah presiden baru.
Mendengar permintaan Soeharto, Yusril ragu. Sebab ia pikir, BJ Habibie --wakil presiden yang akan naik menggantikan Soeharto sebagai presiden-- toh bisa melanjutkan memimpin kabinet.
[Baca: ]
Melihat Yusril bingung, Soeharto merebut pena di tangan Yusril dan menulis kata-kata tambahan itu sendiri di lembar naskah pidato, barulah ia berangkat ke Istana.
Wajah Soeharto saat itu, menurut Yusril, sangat tenang.
Setelah mobil yang ditumpangi Soeharto melintas, barulah Yusril menyusul belakangan.
Sesampainya di Istana, suasana muram membayang. Menit per menit yang terekam kamera televisi nyaris tak menampakkan seorang pun tersenyum.
ADVERTISEMENT
Ruang Credential Istana Negara, tempat sejarah penting itu berlangsung pukul 09.05 pagi, begitu sendu. Semua bak bermuram durja, tak tahu harus bersikap bagaimana.
Senyum alakadarnya baru tersungging di bibir Soeharto saat ia menyalami para hakim agung usai pelantikan BJ Habibie sebagai presiden baru Republik Indonesia.
[Baca: ]
[Baca: ]
Segala ucapan Soeharto, BJ Habibie, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang bersejarah itu ditonton para mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR. Ratusan orang berkumpul di lobi parlemen, di depan televisi, serius menyimak.
Beberapa saat setelah Soeharto mengumumkan berhenti dari jabatannya, DPR diguncang letusan pekik kemenangan membahana. Tinju terkepal ke udara, dan para mahasiswa mulai menyanyikan kencang lagu Indonesia Raya, sembari sebagian saling berpelukan dan menangis haru.
ADVERTISEMENT
Tak heran, mengingat perjuangan reformasi telah memakan korban rekan-rekan mereka yang diterjang peluru aparat.
[Lihat: ]
Aksi Mahasiswa 1998 (Foto: Youtube/dokumenter gerakan mahasiswa)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Mahasiswa 1998 (Foto: Youtube/dokumenter gerakan mahasiswa)
“Kami akhirnya bebas dari rezim Soeharto. Kami bebas dari rasa takut, kami bebas menyatakan apapun yang ada di benak kami,” ujar Heri, salah seorang mahasiswa.
Di atas atap kembar Gedung DPR, seorang mahasiswa mengibarkan bendera Merah Putih. Sementara sekelompok mahasiswa berbaris di dekat kolam, juga membawa bendera, sambil menyanyikan lagu-lagu reformasi.
[Baca ]
Suasana mencekam lenyap sekejap, berganti euforia tiada tara meski kantung mata para mahasiswa itu jelas memperlihatkan mereka kurang tidur selama berhari-hari berdemonstrasi menduduki Gedung DPR.
“Saya sudah membayangkan hal ini sejak lama,” kata salah seorang dari mereka.
ADVERTISEMENT
[Lihat: ]
Aksi Mahasiswa 1998 (Foto: Youtube/film dokumenter gerakan mahasiswa)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Mahasiswa 1998 (Foto: Youtube/film dokumenter gerakan mahasiswa)
Orde Baru telah berlalu.
Selamat tinggal, Soeharto.
Sumber: wawancara penulis dengan Yusril Ihza Mahendra dan sejumlah mahasiswa demonstran ‘98 pada tahun 2015, serta berbagai sumber lain.
Simak selanjutnya: