Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Habibie sudah siap-siap mengambil kacamata dari dalam saku dalam jasnya saat ia kemudian harus repot memasukkannya kembali.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menoleh, mundur sejenak, pandangan matanya bergerak ke sana ke mari, nyalang mengerjap, membaca apa yang tengah terjadi.
Rupanya podium tempatnya bersaksi nanti harus digeser dan diputar beberapa sudut.
Perkara remeh-temeh kecil. Sungguh tak penting di tengah rentetan peristiwa mahadahsyat yang kelak mengubah jalannya arus sejarah sebuah bangsa dengan 200 juta orang.
Sebuah dokumen diserahkan padanya, kitab suci diacungkan di atas kepalanya.
Menelan ludah beberapa kali, dan dari mulutnya menyembur, “Bismillahirrahmanirrahim. Berdasarkan Pasal 9, Undang-Undang Dasar...”
Tapi episode politik masa itu bukan soal Habibie, melainkan seseorang lain yang sebelumnya hanya menjadi menjadi latar buram, berganti mendapat fokus oleh kamera.
Di sana, matanya yang kuyu memandang lelah “anak didiknya” mengambil alih peran yang ia rengkuh dan emban lekat 32 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Soeharto baru usai membaca kalimat pengunduran dirinya. Usai pengunduran diri dibaca Soeharto, ikrar jabatan presiden disuarakan Habibie.
“Sang Semar” berlalu keluar ruangan, dengan senyum tipis namun tanpa sepatah kata apapun.
Dan Habibie ganti menjadi presiden.
Sebelum itu, belum genap setahun Soeharto bertakhta pada masa presidennya yang ketujuh, Jakarta sudah berkobar.
Sepulangnya dari Mesir, yang ditemui Pak Harto hanyalah rakyat yang frustrasi, militer yang terbelah, dan aliansi politik yang hancur lebur.
Saat upaya terakhirnya membentuk Komite Reformasi juga gagal, mau tak mau Pak Harto berpaling pada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pilihan ini problematik, karena meskipun hubungan keduanya sangat dekat dari dekade 60-an, Soeharto tak begitu percaya seorang teknokrat macam Habibie bisa mengurus politik runyam Indonesia yang penuh intrik dan saling sikut.
ADVERTISEMENT
“Tapi Habibie tak akan sanggup memegang kekuasaan dan akan terjadi chaos. Jika sudah begitu, tentara bisa mengambil alih,” ujar Soeharto seperti dikutip dari majalah Tempo edisi khusus Soeharto, Setelah Dia Pergi, Februari 2008.
Laporan yang sama bahkan menyebut Soeharto sudah melihat gelagat Habibie dan Prabowo mencoba menggulingkannya beberapa waktu sebelum Mei 1998. Maka dari itu, kesumat keluarga Soeharto tak hanya ditujukan buat Habibie, namun juga Prabowo.
Tapi Soeharto tak punya pilihan lain. Setelah kebanyakan dari 45 nama yang diusulkan mengisi Komite Reformasi menolak bergabung, dan 14 menteri mundur dari kabinetnya, Soeharto hanya menemui jalan buntu. Dan beralihlah kekuasaan di pagi 21 Mei itu.
Habibie sendiri mengerti bahwa mentornya di Orde Baru itu meragukannya sebagai suksesor di masa Reformasi. Dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab , Habibie hanya menjawab singkat ketika ditanya apa betul Soeharto sempat meragukan dirinya. “Ya, memang.”
ADVERTISEMENT
Namun, lanjutnya, ketika ia mendengar sendiri ragu Soeharto untuk menyerahkan estafet kepemimpinan ke Habibie dalam sebuah pidato di 19 Mei 1998, Habibie langsung mendebat sengit Soeharto.
“Kalau Bapak mengatakan saya tidak mampu, kenapa Bapak menyetujui saya jadi wakil presiden? Itu tidak konsekuen, jangan begitu, Pak!” ulang Habibie menirukan ucapannya pada Soeharto.
Soeharto, menurut Habibie, hanya terdiam. Toh dua hari berikutnya, Soeharto tetap menyerahkan mandatnya pada Habibie.
Meski begitu, hubungan keduanya benar-benar menyentuh garis nadir justru setelah Habibie menjadi presiden.
Habibie tak berkutik mendapati dorongan masyarakat yang menuntut investigasi terhadap keluarga Cendana untuk tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme di 32 tahun rezimnya dahulu. Gara-gara itu, Soeharto disebut-sebut selalu menghindari ketika Habibie ingin menemuinya.
ADVERTISEMENT
Namun Habibie tak peduli. Ia berbaik sangka, bahwa Pak Harto punya alasan yang baik dari sikapnya tersebut. Bahkan, di suatu sambungan telepon, Juni 1998, Habibie sempat dibuat menangis karena kata-kata Soeharto.
“Kenapa saya tidak bisa bertemu dengan Pak Harto?” tanya Habibie.
Saat itu, sang presiden pengganti ingin meminta saran dari pendahulunya. Ia separuh ingin mengkonfirmasi apa betul pendahulunya itu menyimpan dendam padanya.
“Habibie, tiap kali saya salat, saya doa untuk kamu, supaya kamu selamat dan sukses. Laksanakan tugasmu,” ujar Soeharto --entah menghindar, entah ikhlas mendoakan-- yang hanya bisa dibalas tangis Habibie.
Sampai Soeharto mati, Habibie tak sekalipun pernah bisa menemuinya lagi.
Simak di sini rangkaian kisah di masa penting nan genting sepanjang Mei 1998
ADVERTISEMENT