Di Balik “Khianat” Harmoko pada Soeharto

19 Mei 2017 13:32 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Harmoko (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Harmoko. Anda mungkin tahu namanya sebagai akronim yang menggelitik: hari-hari omong kosong. Tapi, ia pun tahu ia punya julukan itu.
ADVERTISEMENT
“Tenang aja saya. Nggak ada beban buat saya,” katanya.
Tersenyum, ia mengaku bangga menyandang julukan Harmoko apabila diartikan dengan hal-hal yang ia percayai sendiri.
“Bisa saja hari-hari omong koperasi, hari-hari omong komunikasi, nggak ada beban buat saya,” ujarnya terkekeh.
Ia yang menjabat sebagai Menteri Penerangan selama 14 tahun itu memang bertugas menjelaskan apa yang menjadi perhatian Presiden lewat jargon terkenal “Menurut petunjuk Bapak Presiden…”
Harmoko memang demikian. Aksi panggungnya yang menghibur dan teatrikal pernah menjadi senjata utama Partai Golongan Karya dalam menaikkan pamor di peta politik Indonesia.
[Lihat:]
Harmoko, tertumbuk di tengah pusaran kepentingan. (Foto: Dok. JogloTV)
Harmoko kini sudah sepuh, 78 tahun, dan kondisi fisiknya terus menurun. Ia beraktivitas dari atas kursi roda. Bicaranya pun pelan dan sudah tak jelas.
ADVERTISEMENT
Padahal, sosok Harmoko pernah menjadi orang nomor dua di Golkar (meski ia menjadi ketua umum, ada Soeharto di situ), partai nomor satu dan penguasa politik Indonesia selama 32 tahun.
Nama Harmoko meroket di dinamika politik Indonesia pada 1983, saat ia ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. Namanya terus berada di lingkaran kecil kekuasaan Soeharto, sampai tiba-tiba tahun 1997 dia dicopot Soeharto dari posisi kementerian yang melambungkan popularitas namanya itu.
Ia kemudian dibuatkan pos sendiri oleh Soeharto, sebagai Menteri Negara Urusan Khusus. Harmoko hanya menjabat dari 6 Juni hingga 1 Oktober 1997, tak sampai empat bulan.
Tak pernah benar-benar jelas untuk apa pos kementerian itu dibuat, karena posisi Harmoko berganti lagi menjadi Ketua DPR/MPR RI hingga tahun 1999.
ADVERTISEMENT
Di pos itulah Harmoko justru mengambil posisi antagonis dalam proses berakhirnya Orde Baru. Ia yang dikenal sebagai tangan kanan Soeharto selama berpuluh-puluh tahun tiba-tiba berganti posisi menjadi orang yang harus mendorong hancurnya Orde Baru itu sendiri.
Harmoko, pada 18 Mei 1998, mengumumkan bahwa Soeharto harus mau turun.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko, mengeluarkan “vonis”-nya.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, Harmoko masih menolak ada orang lain yang pantas menggantikan Soeharto. Ia sendiri yang susah-susah melakukan Safari Ramadhan ke daerah-daerah di Indonesia untuk meyakinkan Soeharto bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden pada tahun 1997, di dekade ketiga Soeharto memimpin Indonesia.
ADVERTISEMENT
[Baca: ]
Lalu mengapa Harmoko tiba-tiba berbalik mendorong Soeharto turun?
Menurut buku Dari Sukarno Sampai SBY karya Tjipta Lesmana, Harmoko hanya menjadi messenger dalam peristiwa mahapenting tersebut. Ia hanya bertugas menyampaikan apa yang menjadi hasil keputusan Fraksi Golkar di DPR.
“Harmoko berani mengeluarkan pernyataan yang meminta Presiden mundur (18 Mei pukul 14.00 WIB) karena ia telah mengantongi sikap Fraksi Golkar, ucap Hasan Sazili, salah seorang anggota Partai Golkar di DPR, tahun 1998.
Harmoko, yang memang Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR/MPR, mau tak mau mengumumkan keputusan bersama tersebut.
“Misalnya waktu saya menyampaiken aspirasi rakyat, masyarakat, minta kepada Presiden Soeharto untuk mundur, dengan jelas, ‘Pak, ini aspirasi, Pak. Saya menganut ajaran Bapak, supaya DPR itu menyampaikan yang benar itu benar,” ucap Harmoko dalam wawancaranya dengan Watchdoc soal pernyataannya yang mendorong Soeharto mundur.
ADVERTISEMENT
“Makanya saya dituduh Brutus, dituduh mengkhianati, menohok dari belakang… Nggak ada itu!” ucap Harmoko, menolak tuduhan khianat.
[Baca: ]
Penyerahan Kekuasaan Soeharto Habibie (Foto: Repro: Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia's Second President)
Tetap saja, julukan Brutus kadung tersemat di dada Harmoko. Ia dianggap sama dengan Marcus Junius Brutus yang mengkhianati temannya, Julius Caesar, ribuan tahun lalu.
Sikap Soeharto dan keluarganya yang tak mau ditemui sama sekali oleh Harmoko memperkuat adanya perasaan terkhianati di kubu Cendana.
Bahkan ketika Harmoko hendak menjenguk Soeharto yang sekarat di RSPP, hanya istri dari adik tiri Soeharto, Probosutedjo, yang menemui Harmoko.
Meski begitu, keretakan hubungan keduanya kemungkinan terjadi bahkan sebelum gonjang-ganjing reformasi. Masalah ini pulalah yang kemungkinan besar membuatnya kehilangan kursi Menteri Penerangan di tahun 1997.
ADVERTISEMENT
Saat itu Rancangan Undang-Undang Penyiaran sedang digodok. Di situ, Harmoko menjadi sasaran tembak dari anak-anak Soeharto. Anak-anak Soeharto yang banyak berbisnis di bidang pertelevisian Indonesia, mendorong agar izin stasiun swasta dibuat seumur hidup, bukan 5 tahun seperti yang disetujui Panitia Kerja di DPR.
Namun begitu, Panitia Kerja yang membahas RUU tersebut menolak mentah-mentah usulan dari anak-anak Soeharto. Masalahnya, Harmoko yang menjadi wakil pemerintah justru setuju pada apa yang diusulkan oleh Panitia Kerja.
Alhasil, begitu menurut Tjipta Lesmana dalam buku Dari Sukarno Sampai SBY, Harmoko langsung didepak ke Kementerian Negara Urusan Khusus yang antah berantah itu.
Harmoko yang dahulu rutin muncul di TVRI untuk memberikan pengumuman sesuai “petunjuk Bapak Presiden” kini tak pernah lagi terlihat. Entah apa ia masih kerap mengingat almarhum Soeharto yang pada satu masa pernah dekat dengannya.
Mengenang Reformasi Mei '98 (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
1998 belum terlalu jauh. Simak rangkaian kisahnya di sini bila ingatan mulai berdebu
ADVERTISEMENT