Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kala Wiranto Memilih Tak Ambil Alih Negeri Selepas Soeharto Pergi
20 Mei 2017 9:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Angin perubahan berembus.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto maju ke tengah Ruang Credential Istana Negara. Ia membawa secarik kertas, lalu membacakan pernyataan mewakili ABRI --Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Serta berdasarkan konstitusi, mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia.”
Sepintas, jika dilihat pada masa ini, larik-larik kalimat yang diucapkan Wiranto terdengar wajar. Namun, terdapat makna lebih dalam pada pernyataan penting itu.
Dalam konteks situasi negara saat itu, Jenderal Wiranto adalah satu-satunya orang yang memiliki kekuatan cukup besar secara politik maupun militer.
Malam 20 Mei 1998 sebelum turun dari kursi Presiden, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998. Inpres itu berisi pengangkatan Wiranto menjadi Komando Kewaspadaan dan Keselamatan --berinduk pada Ketetapan MPR Nomor V Tahun 1998 yang memberikan kewenangan kepada presiden (Soeharto saat itu) untuk mengambil langkah-langkah khusus kala negara dalam kondisi kritis.
ADVERTISEMENT
Wiranto, sesungguhnya, punya kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan negeri selepas Soeharto pergi, seperti yang dilakukan Soeharto pada 1966 lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Supersemar ketika itu memberi kewenangan kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi situasi keamanan yang buruk.
Berdasarkan Supersemar yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno itulah, Soeharto bergerak memberangus Partai Komunis Indonesia yang ia tuding menjadi dalang pembunuhan para jenderal Angkatan Darat pada Gerakan 30 September 1965.
Supersemar itu pula yang menjadi awal berdirinya Orde Baru --yang kemudian bercokol kokoh di Indonesia hingga tiga dekade.
Wiranto tak mengambil kesempatan yang tertuang dalam Inpres Nomor 16 Tahun 1998 itu, dan memilih membiarkan BJ Habibie menjadi Presiden RI ketiga lewat aturan yang sudah ada dalam konstitusi, bahwa wakil presiden menggantikan presiden yang berhenti saat masa jabatannya belum habis.
ADVERTISEMENT
Wiranto yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto selama 4 tahun, dari 1989 sampai 1993, memilih untuk mengarahkan pasukannya agar tidak bertindak gegabah menghadapi mahasiswa dan rakyat yang sedang marah.
Tapi kenapa Wiranto yang diberi kekuatan politik dan militer oleh Soeharto, memilih untuk tidak melakukan apa-apa?
Kembali dulu saat Soeharto terpilih sebagai presiden untuk ketujuh kalinya pada Maret 1998, saat itu ia merasa percaya diri. Meski rakyat mulai mengamuk, Soeharto merasa posisinya aman, dan karena itu pula ia tetap berangkat ke Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G15.
Aparat terus mengerahkan upaya untuk menyokong kekuasaan Soeharto. Personel bersenjata dikerahkan untuk menetralisir massa seperti yang terjadi pada Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 ketika timah panas aparat memakan korban.
ADVERTISEMENT
Situasi yang berkembang kian tak terkendali seiring raungan mahasiswa yang mengganas, membuat kondisi politik berubah tajam saat Soeharto memutuskan untuk memotong lawatannya dan kembali ke Indonesia.
Soeharto tiba disambut kekacauan, kerusuhan, dan demonstrasi besar di mana-mana. Ditambah lagi permintaan Ketua DPR/MPR Harmoko agar ia mengundurkan diri, yang disusul mundurkan 14 menteri kabinet, langsung melemahkan posisi Soeharto secara politis.
20 Mei, kondisi negara sudah gawat. Gedung MPR/DPR di Senayan dikuasai mahasiswa. Massa tak mau lagi kehilangan momentum.
Bab Yang Keluar dari Saku Jenderal Wiranto pada buku Salim Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, menceritakan malam genting menjelang Soeharto mundur.
Saat itu, pakar politik militer Salim Said diundang Kepala Sosial Politik (Kasospol) ABRI, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), untuk ikut rapat. Yang mencengangkan adalah judul yang tertera pada agenda rapat: Kalau Soeharto Mundur, Kemudian Bagaimana Cara Mundurnya?
ADVERTISEMENT
Selain tema, hal penting lain pada rapat itu ialah tamu yang ditunggu. Mereka yang diundang antara lain Tim Rektorat UI, sejumlah perwira tinggi ABRI, dan yang terpenting: Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Wiranto tiba setelah makan malam. Saat itu, pakar hukum tata negara UI Harun Al Rasyid mengatakan, jika Presiden sudah tidak mampu lagi melanjutkan kepemimpinan, maka harus digantikan oleh Wakil Presiden.
“Tidak ada debat mengenai ini. Semua yang hadir tampaknya sepakat. Tak lama kemudian, Panglima Wiranto meninggalkan ruangan. Bambang Yudhoyono meneruskan rapat,” tulis Salim.
Wiranto meninggalkan rapat dengan membawa bekal suara akademisi yang setuju bahwa pergantian kekuasaan secara konsitusional bisa diselenggarakan dengan cara memberikan mandat kepada BJ Habibie.
ADVERTISEMENT
Sementara di Cendana, BJ Habibie telah dipanggil dan diberi tahu akan menggantikan Soeharto sebagai Presiden keesokan harinya.
Soeharto lalu menyampaikan dua hal kepada Wiranto. Pertama, ia akan mundur esok paginya, 21 Mei. Kedua, menyerahkan dokumen Inpres Nomor 16 Tahun 1998 yang berisi pengangkatan Wiranto menjadi Komando Kewaspadaan dan Keselamatan.
Inpres yang membuka peluang berkuasa untuk Wiranto itu memang tak serta-merta membuat Wiranto menjadi sosok kuat. Itu tergantung pada pilihan Wiranto.
“Biasanya, seorang atasan memberi perintah untuk dilaksanakan, dan yang menerima perintah akan menerimanya dengan mengucapkan, ‘Siap, laksanakan!’ Malam itu keadaannya lain sama sekali. Penyerakan Inpres diantar dengan ucapan, ‘Instruksi ini saya berikan, kamu boleh pakai, boleh tidak,’” tulis Salim.
ADVERTISEMENT
Wiranto menentukan pilihannya. Ia --yang terbang ke Malang menghadiri acara Pasukan Pemukul Reaksi Cepat ABRI saat kerusuhan di Jakarta berkobar-- tak ingin membuat situasi makin rumit, dan mengatakan kepada Soeharto: ABRI akan melindungi dan mempertahankan pemerintahan yang sah sesuai konstitusi.
Usai pertemuan di Cendana bersama Soeharto, Wiranto kemudian mengumpulkan para perwira. Malam itu, ia sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menteri Pertahanan Keamanan untuk berkoordinasi.
Para jenderal dan panglima yang dikumpulkan Wiranto menunggu-nunggu cemas. Kasospol ABRI, SBY, bertanya kepada Wiranto: Panglima akan mengambil alih kekuasaan?
Wiranto menjawab: tidak.
Ia berkata, “Besok kita (ABRI) akan bersama-sama mengantarkan pergantian presiden dari Pak Harto ke Wakil Presiden Habibie lewat sebuah proses yang konstitusional.”
ADVERTISEMENT
“Pada situasi seperti ini, saya memilih untuk tidak masuk dalam rivalitas calon presiden atau cawapres. Posisi politik yang terbuka untuk saya, akan saya laksanakan hanya apabila rakyat benar-benar membutuhkannya,” imbuh Wiranto.
Malam 20 Mei itu, Wiranto telah memutuskan. Esoknya, Indonesia memasuki gerbang Reformasi.