Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
“Kami akhirnya bebas dari rezim Soeharto. Kami bebas dari rasa takut. Kami bebas menyatakan apapun yang ada di benak kami.”
ADVERTISEMENT
Demikian ucap para demonstran mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR saat mendengar Soeharto berkata “menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia” pada 21 Mei 1998.
Sudah 19 tahun berlalu sejak masa itu. Sungguhkah rakyat Indonesia, seperti yang diucapkan sang demonstran mahasiswa, bebas dari rasa takut dan bebas menyatakan apapun?
Ya, sampai batas tertentu. Tapi jangan terlalu yakin. Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga yang memperjuangkan kebebasan berekspresi, menunjukkan selama dua tahun terakhir, tepatnya Januari 2015 sampai Mei 2017, terdapat 60 kasus pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia.
Kasus-kasus itu terentang dari pelarangan pemutaran film, pementasan teater, pertunjukan pantomim, pameran teater, diskusi, seminar, demonstrasi, penarikan majalah, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Bertelssmann Stiftung’s Transformation Index (BTI) yang menganalisis dan mengevaluasi kualitas demokrasi, pasar ekonomi, serta manajemen politik di 129 negara berkembang dan negara dengan transisi demokrasi, mencatat kebebasan berekspresi di Indonesia naik-turun sejak 2013.
Begitu pula dengan perlindungan atas hak-hak sipil yang tak stabil sepanjang 2013-2015, termasuk --dan terutama-- di Papua. Sejumlah aktivis Papua mengalami represi, pun warga biasa yang dicurigai membantu mereka.
Tambah lagi, meski Indonesia memiliki pers yang aktif dan kritis mengawasi kebijakan pemerintah, tingkat kekerasan terhadap jurnalis justru meningkat beberapa tahun belakangan.
Selain itu, kebebasan berekspresi bagi sejumlah kelompok minoritas perlahan juga makin terbatas. Belum lagi sentimen agama dan rasial yang belakangan meningkat.
“Reformasi!” “Demokrasi!”
ADVERTISEMENT
Dua kata itu dipekikkan berulang-ulang oleh ribuan mahasiswa yang turun ke jalan dan mengepung Gedung MPR/DPR pada Mei 1998 menuntut Soeharto turun.
Reformasi, secara harfiah, ialah perubahan secara drastis untuk perbaikan sosial, politik, hukum ekonomi, dalam kehidupan masyarakat atau negara.
Sementara demokrasi yakni pemerintahan rakyat, dengan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan perlakuan sama bagi semua warga negara
Kini, sampai mana era Reformasi, yang tumbuh seiring runtuhnya Orde Baru, membawa angin demokrasi di Indonesia?
Mari kita lihat angka --statistik.
Freedom House, organisasi independen yang mempromosikan dan memonitor demokrasi di dunia, menetapkan status kebebasan sipil di Indonesia tahun ini, 2017, pada level partly free (bebas sebagian).
ADVERTISEMENT
Status partly free ini juga disandang Indonesia tahun 2016, 2015, dan 2014 --tahun-tahun Jokowi menjabat sebagai presiden. Sebelum itu, selama 8 tahun berturut-turut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 2006-2013, Indonesia berstatus free (bebas).
Sementara 8 tahun pertama Reformasi, 1998-2005, dengan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan SBY silih berganti memimpin negeri, Indonesia berstatus partly free seperti saat ini.
Parameter untuk mengukur naik-turun status itu ialah hak-hak politik dan kebebasan sipil.
Ketika status kebebasan sipil Indonesia turun dari free ke partly free tahun 2014, Freedom House menyatakan hal itu antara lain dipengaruhi oleh pemberlakuan Undang-Undang yang membatasi aktivitas organisasi nonpemerintah, meningkatkan pengawasan birokrasi atas kelompok itu, dan mengharuskannya untuk mendukung Pancasila sebagai ideologi negara.
ADVERTISEMENT
UU yang dimaksud adalah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Tahun 2016 ketika Indonesia lagi-lagi berstatus partly free, Freedom House menilai upaya reformasi yang lebih luas di negeri ini terhambat rivalitas kelembagaan atau mafia peradilan yang melibatkan Kepolisian, parlemen, dan beberapa badan hukum yang terbentuk pasca-Reformasi seperti KPK.
Freedom House menyebut Jokowi terlihat tak dapat mengendalikan pertikaian antarlembaga itu, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang reformis mulai diragukan.
Status partly free untuk kebebasan sipil Indonesia dari Freedom House sesungguhnya tak jauh beda dengan Indeks Demokrasi Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang terakhir dikeluarkan tahun 2015.
Indeks Demokrasi Indonesia pada 2015 berada pada angka 72,82 pada skala 0 sampai 100 --tak jauh berbeda dengan IDI 2014 sebesar 73,04.
ADVERTISEMENT
Dengan angka tersebut, level demokrasi di Indonesia masuk kategori sedang dari tiga klasifikasi tingkat demokrasi, yakni baik dengan indeks 80 ke atas, sedang dengan indeks 60-80, dan buruk dengan indeks kurang dari 60.
Variabel yang memengaruhi penilaian antara lain kebebasan sipil, hak-hak politik, kinerja lembaga-lembaga demokrasi, dan peran birokrasi pemerintah daerah.
Tahun 2016, Bertelssmann Stiftung’s Transformation Index (BTI) menetapkan Indonesia pada indeks status demokrasi 6,9 di urutan 37 dari 129 negara.
Status demokrasi itu turun dari tahun 2014 yang mencapai 7,1. Namun saat itu Indonesia berada di urutan 38 dari 129 negara. Sehingga secara pemeringkatan, posisi Indonesia tahun 2016 justru meningkat ketimbang dua tahun sebelumnya.
Sejauh ini, berdasarkan catatan BTI, indeks status demokrasi 7,1 pada tahun 2014 ialah yang tertinggi yang pernah diraih Indonesia. Sebelumnya pada 2012, indeks Indonesia berada pada angka 6,9 seperti saat ini, pada urutan 39 dari 129 negara.
ADVERTISEMENT
Pada 2010, indeks status demokrasi Indonesia 7,0 di urutan 37 --peringkat yang sama seperti 2016. Tahun 2008 atau 10 tahun Reformasi, indeks itu berada pada angka 6,5 di urutan 54 dari 129 negara. Dan tahun 2006, indeks itu berada pada angka 6,3, juga di peringkat 54.
Indeks BTI yang dipublikasikan tiap dua tahun, seperti dikutip dari website mereka, merupakan hasil analisis skala internasional yang melibatkan kolaborasi hampir 300 pakar di institusi akademis terbaik dunia dan jurnalis-jurnalis lokal di negara-negara terkait.
Terdapat 17 kriteria untuk menetapkan indeks BTI. Untuk menilai proses transformasi politik, terdapat 5 kriteria khusus yang menjadi sorotan, yakni kondisi negara, partisipasi politik, aturan hukum, stabilitas institusi-institusi demokratis, serta integrasi sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Indeks status demokrasi Indonesia yang mandek di angka 7,1 pada 2014, kemudian merosot ke 6,9 tahun 2016, didorong oleh sejumlah faktor. Salah satunya ialah kemunculan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu 2014 --yang meski akhirnya kalah oleh Jokowi, namun meraih perolehan suara cukup tinggi.
Saat itu Prabowo direstui sebagai presiden oleh 46,85 persen rakyat Indonesia, selisih 6,3 persen dari Jokowi yang mengantongi 53,15 persen suara. Kuatnya sosok Prabowo yang dianggap “peninggalan” Orde Baru dan figur antidemokratis, dicatat sebagai kerawanan demokrasi Indonesia.
Ditambah adanya dugaan jual-beli suara pada Pemilu Legislatif 2014, pemberitaan bias sejumlah media yang cenderung mengampanyekan calon yang didukung pengusaha pemilik media terkait, dan maraknya fitnah serta retorika menyesatkan selama kampanye.
ADVERTISEMENT
Terlebih setelah pemilu usai, Jokowi membayar mahal kemenangannya dengan membentuk aliansi politik berisi sejumlah oligarki, pensiunan militer, dan petinggi partai pendukungnya. Semua jejaring politik ini membuat Jokowi terikat, tak leluasa bergerak, dan lamban bahkan kesulitan dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya yang sesungguhnya amat reformis.
Jokowi tersandera oleh lingkaran politik yang menyokongnya, dan konsolidasi demokrasi Indonesia terancam mengalami kemandekan.
Di luar semua itu, setelah kampanye Pemilu 2014 yang amat memecah belah, proses politik Indonesia kembali ke level stabil seperti pertengahan tahun 2000-an --ini sebelum Pilkada Jakarta 2017 berlangsung dengan proses kampanye tak kalah mengerikan dari Pemilu 2014, dan BTI belum memasukkan pertarungan politik yang terakhir ini ke dalam analisisnya yang terakhir dirilis 2016.
Tren demokrasi Indonesia sesungguhnya telah berada pada jalur yang benar --sebelum belakangan terlihat mengkhawatirkan seiring sentimen ras dan agama yang meningkat saat Pilkada Jakarta, dan menjalar ke sejumlah daerah lain.
ADVERTISEMENT
Indonesia merampungkan tahap transisi demokrasinya secara penuh pada 2005, saat awal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai presiden.
Transisi demokrasi Indonesia dimulai oleh presiden pertama yang menjabat setelah kejatuhan Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie.
BJ Habbie menggelar pemilihan umum yang dinilai bebas dan adil, mengangkat pengekangan atas pers, membebaskan tahanan-tahanan politik, dan menerapkan desentralisasi yang segera mengubah drastis wajah Indonesia dari negara dengan sistem pemerintahan terpusat menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi di antara negara-negara berkembang di dunia.
Dari Habibie, kepemimpinan beralih ke Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di sini, BTI menilai kualitas demokrasi Indonesia turun karena Gus Dur dipilih oleh MPR lewat Sidang Umum MPR, bukan langsung oleh rakyat melalui pemilu.
ADVERTISEMENT
Namun Gus Dur bukannya tak meneruskan reformasi. Meneruskan langkah Habibie mencabut pembatasan pers, ia membubarkan Departemen Penerangan yang dianggap sebagai senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media.
Gus Dur juga mendekati Aceh secara lunak dengan mengurangi jumlah personel militer di sana. Ia pun mengembalikan nama Irian Jaya --provinsi paling timur Indonesia-- menjadi “Papua”, dan memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar di sana asal tidak lebih tinggi dari bendera Merah Putih.
Konflik politik dengan intensitas tinggi membuat Gus Dur dimakzulkan, dan Megawati yang saat itu menjadi wakilnya akhirnya naik untuk menggantikan dia.
Meski Megawati kerap disebut tak memiliki visi, namun reformasi terpenting dalam sejarah Indonesia berlangsung pada masa pemerintahannya. Pemilihan presiden secara langsung digelar --menghilangkan sistem pemilihan presiden oleh wakil rakyat; pemilihan langsung gubernur, wali kota, dan bupati disahkan dalam UU; Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk --yang terus digoyang hingga kini sampai penyidiknya disiram air keras; dan Mahkamah Konstitusi didirikan --yang di kemudian hari dua hakimnya ditangkap KPK.
Pemerintahan Megawati berakhir, beralih kepada SBY, dan transisi demokrasi Indonesia dinilai tuntas. SBY menjadi presiden pertama yang menikmati sistem demokrasi secara penuh. Ia terpilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Sejak 2005, Indonesia beralih ke fase konsolidasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan berlangsung stabil pada masa kepemimpinan SBY, namun itu sebagian karena ia dinilai tak aktif dan menghindari beberapa hal yang riskan atau berisiko menuai reaksi publik keras. Di era SBY, Islam garis keras menguat.
Setelah dua periode, SBY digantikan oleh Jokowi --yang kemudian terlihat kerap melakukan kompromi politik untuk mengamankan pemerintahannya.
Apapun, BTI menilai Indonesia memiliki sistem checks and balances yang efektif, dengan institusi-institusi demokratis yang berfungsi dan beroperasi secara efisien, serta sistem kepartaian yang cukup stabil dan mengakar.
Paling penting, survei menunjukkan demokrasi ialah sistem yang didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Namun sejauh mana dukungan atas sistem demokrasi itu berbuah? Simak ulasan berikutnya di kumparan. Anda bisa follow topik Reformasi untuk mempermudah melihat rangkaian kisahnya.
ADVERTISEMENT