Perempuan yang Turut Melahirkan Pancasila

1 Juni 2017 19:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pergerakan BPUPKI (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pergerakan BPUPKI (Foto: Wikimedia Commons)
Ada yang terlupa dari 1 Juni. Kiprah mereka bahkan mungkin tak banyak diketahui, hingga tak lantas masuk deretan “Bapak Negara” atau founding fathers. Jelas, karena mereka adalah dua orang perempuan.
ADVERTISEMENT
Mereka hadir saat bangsa ini masih dalam kandungan, dan falsafah negara masih terus dirancang para penggagas bangsa. Adalah dua orang perempuan yang turut berpikir keras tentang ke mana arah negeri ini akan bergerak?
Ny. Maria Ulfah Santoso duduk bersama Ny. R.S.S Soenarjo Mangoenpoespito di antara deret laki-laki. Kehadiran mereka diperhitungkan dalam tiap pembahasan dasar negara yang akan menjadi akar kehidupan bangsa nantinya.
Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo lahir pada 18 Agustus 1911. Ia lebih dikenal dengan nama pertemanan pertamanya, Maria Ulfah Santoso. Banyak bergerak di bidang politik dan perempuan, status aktivis hak asasi perempuan dan politikus Indonesia melekat kuat padanya.
Dia adalah perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar sarjana hukum, juga anggota kabinet perempuan Indonesia yang pertama.
Maria Ulfah Santoso (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Maria Ulfah Santoso (Foto: Wikimedia Commons)
Maria, putri seorang politisi, tertarik memperjuangkan hak perempuan setelah melihat banyak ketidakadilan di masa mudanya. Meski mendapat tekanan untuk menjadi seorang dokter, dia lulus dengan gelar sarjana hukum dari Universitas Leiden, Belanda, pada 1933.
ADVERTISEMENT
Saat masih menempuh pendidikan di Belanda, dia kerap terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Setelah kembali ke Hindia Belanda, Maria mulai mengajar dan bekerja menuju reformasi perkawinan. Dia adalah anggota Komite Kerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kemudian menjadi Menteri Sosial mulai 12 Maret 1946 sampai 26 Juni 1947.
Setelah masa jabatannya usai, dia terus bekerja dengan pemerintah dalam berbagai kapasitas.
Maria membuka jalan masuk bagi perempuan anggota kabinet lainnya, termasuk S. K. Trimurti pada 1947, dan menerima sejumlah penghargaan dari pemerintah Indonesia atas aktivitasnya.
Kawan pikirnya, Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito, pun turut berkiprah memberi sumbangsih untuk mematangkan falsafah negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sukaptinah adalah salah satu tokoh perempuan yang berkiprah sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1944. Di saat yang sama, ia menjabat sebagai Kepala Bagian Perempuan (Fujinkai) di kantor pusat Jawa Hokokai, Jakarta.
Pergerakan BPUPKI (Foto: perpustakaan.id)
zoom-in-whitePerbesar
Pergerakan BPUPKI (Foto: perpustakaan.id)
Sejak muda, Sukaptinah telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ia pun berperan aktif dalam pergerakan kebangsaan dan pengembangan organisasi perempuan di Indonesia.
Tak hanya bergerak dalam bidang politik, Sukaptinah juga menjadi anggota organisasi pemuda Islam Jong Islamieten Bond yang berdiri pada 1925, dan menjadi ketua kedua dari Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA), yaitu seksi perempuan dari organisasi itu.
Sukaptinah menekankan pembahasan isu peran perempuan dalam Islam dan di tengah masyarakat, pembatasan poligami, juga perluasan kesempatan belajar bagi anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Sukaptinah merupakan salah satu perempuan Indonesia yang menuntut agar “Indonesia Berparlemen”. Ia pun diminta untuk memberikan masukan oleh Komisi Visman bentukan Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1941.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sukaptinah sebagai ketuanya membubarkan Fujinkai bentukan Pemerintah Pendudukan Jepang, dan menganjurkan dibentuknya organisasi wanita di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia, sehingga terbentuklah Persatuan Wanita Indonesia (Perwari).
Peranan perempuan yang tak kurang kuat dalam pergerakan perjuangan Indonesia, hingga negeri ini kini berdiri, membuat jargon “Bapak dan Ibu Bangsa” lebih tepat untuk menggambarkan kiprah para pemikir Indonesia.