Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Meninggalkan Mertua Hidup di Rumah Sendirian
13 April 2020 16:17 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selalu ada drama saat hendak meninggalkan rumah mertua untuk hidup mandiri. Apalagi jika mertua jadi hidup sendirian setelah kepergian Anda dan suami. Itulah yang dialami Betha, ibu satu anak asal Malang. Simak kisahnya.
ADVERTISEMENT
—
Sudah hampir sebulan aku dan suami meninggalkan rumah mertua. Keputusan itu bisa dibilang sangat berat, terutama untuk suamiku.
Dia adalah satu-satunya anak di keluarganya yang tidak pernah lama meninggalkan rumah, tidak pernah merantau. Suami punya dua kakak perempuan, tapi semua tinggal di luar kota.
Sebelum menikah, ibu mertua dan suamiku hanya tinggal berdua. Mertuaku bercerai sekitar 10 tahun lalu. Sejak saat itu, suamiku selalu setia menemani ibunya, tidak pernah menggubris tawaran kerja di luar kota. Benar-benar anak andalan.
Tapi situasi itu jadi tak mudah buatku. Aku sejak dulu punya prinsip untuk hidup mandiri setelah menikah. Ogah serumah dengan mertua maupun orang tua sendiri. Sebab semakin banyak kepala di dalam rumah, pasti makin sering terjadi konflik.
Butuh dua tahun untuk meluluhkan hati suamiku agar mau pindah dari rumah ibunya. Argumenku? Tak perlu ditanya.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita tinggal di sini terus, kita nggak akan berkembang. Aku mau apa-apa nggak enak sama ibu kamu,”
“Pernah nggak kamu mikirin stok beras, telur, minyak, sama kebutuhan lain? Pasti nggak. Soalnya dari dulu yang ngurus Ibu, kamu tinggal kasih duit. Kita nggak akan bisa mandiri kalau gini,”
“Setiap kali aku masak di dapur, ibu kamu selalu ngawasin. Nggak nyaman banget. Coba aku punya dapur sendiri,”
Dan banyak argumen lainnya. Karena kami sering adu mulut, akhirnya suamiku mengalah. Kami mencari kontrakan yang tidak begitu jauh dari rumah mertua.
Proses pindahan kami berjalan lancar. Mertua juga mengizinkan. Sepertinya dia sudah mengantisipasi skenario ini jauh-jauh hari. Mungkin dia berpikir rasanya tidak mungkin kami mau tinggal di rumahnya selamanya.
ADVERTISEMENT
Sampai suatu malam, suami mengajakku mampir ke rumah ibunya karena ada barang yang tertinggal. Saat itu sudah pukul 10 malam, biasanya mertua sudah tidur. Tapi tak masalah karena suami membawa kunci sendiri.
Aku memutuskan menunggu di mobil. Tidak akan lama, pikirku. Sekitar 15 menit kemudian, dia kembali dengan raut wajah sedih.
“Ibu ternyata masih bangun. Tadi aku dengar ibu ngobrol sama kucing di kamarnya. Kasihan nggak ada temen ngobrol lain,” tuturnya. Tampak matanya berkaca-kaca.
Aku bingung mau merespon apa. Tiba-tiba aku merasa jahat karena membuat ibu mertuaku yang sudah tua hidup sendirian. Aku jadi membayangkan berada di posisinya. Pasti sangat kesepian. Air mataku mengalir tanpa bisa aku tahan.
“Aku minta maaf,” ucapku.
ADVERTISEMENT
“Coba bayangin ibu kamu yang tinggal sendirian. Apa kamu tega?”
Kami lalu berdua terdiam, terjebak dalam dilema. Antara tidak tega dengan kondisi mertua tapi ingin hidup mandiri.
“Tiap weekend nanti kita nginep di rumah ibu, ya. Atau Ibu yang nginep di rumah kita kalau dia mau. Aku janji bakal sering-sering ngecek ibu kamu,”
Cuma itu yang bisa aku janjikan kepada suami demi menenangkan hatinya. Barangkali juga untuk menenangkan diriku sendiri dari rasa bersalah. Rasa bersalah dan dilema ini sebenarnya juga konsekuensi atas keputusan kami sebagai orang dewasa. Dan mau tidak mau, kami harus siap menanggungnya. (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Betha? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]
ADVERTISEMENT