Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Hidup Bagai Boneka di Rumah Mertua
24 Februari 2020 15:49 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Punya mertua perfeksionis memang paling menyiksa. Setiap hari ada saja yang salah. Itulah yang dirasakan Lina yang hidup serumah dengan mertuanya. Ibu satu anak itu bahkan merasa hidupnya seperti boneka yang selalu diatur-atur.
ADVERTISEMENT
—
Kalau dulu aku tahu begini rasanya tinggal serumah dengan mertua, mungkin aku akan menolak lamaran suamiku. Itulah yang berkali-kali aku pikirkan kalau sedang kesal-kesalnya. Ya, dulu suamiku mengajukan syarat aku harus mau tinggal di rumah ibunya setelah kami menikah.
Saat itu aku tidak berpikir panjang. Namanya juga sedang cinta-cintanya dengan calon suami. Alasannya pun logis. Dia anak tunggal, ayahnya sudah meninggal. Mana tega dia meninggalkan ibunya sendirian?
Saat itu aku tidak tahu kalau ibunya perfeksionis. Eh salah, yang benar ibunya sangat sangat sangat perfeksionis. Dan kini aku harus mengikuti semua standar sempurna dari ibu mertua .
Begini contohnya. Pernah suatu kali aku membeli merek minyak goreng berbeda dengan yang biasa dia gunakan. Merek itu sedang diskon di supermarket. Toh menurutku semua minyak goreng sama saja. Tapi begitu dia tahu, hebohlah seisi rumah.
“Minyak goreng apa ini? Kok kamu beli merek ini sih Lin? Baunya itu loh ibu nggak tahan. Merek yang biasa ibu beli itu lebih sehat,” tuturnya dengan nada kesal.
ADVERTISEMENT
“Gitu ya bu? Minyak ini lagi diskon. Jadi Lina beli deh,” jawabku.
“Ckck. Ibu pokoknya nggak mau pakai minyak ini. Kasih aja ke tetangga. Semoga aja ada yang mau. Atau dibuang aja lah biar gampang,” tuturnya sambil berlalu dari dapur.
Duh. Siapa coba yang tidak kesal? Menurutku minyak goreng itu baunya normal kok. Suamiku juga bilang gitu. Memang niat cari gara-gara deh si ibu.
Ada contoh lain. Suatu kali aku membelikan baju batik motif Mega Mendung untuk suamiku. Menurutku batiknya cantik sekali. Warna putih-tosca yang elegan. Eh begitu dipakai, si ibu komentar lagi.
“Loh kamu pakai batik kok warnanya norak gitu. Siapa yang pilih?”
“Lina, bu. Kembaran sama dia. Nggak norak ah, warnanya cocok buat aku,” kata suamiku mencoba membelaku.
ADVERTISEMENT
“Nggak ah, ibu nggak suka. Mending kamu ke kantor pakai batik hitam yang ibu beliin dulu,” ujarnya sambil mendorong pelan suamiku, agar segera berganti baju.
Nah, apa coba maksudnya? Baju suamiku saja dia ikut ngatur. Kami rasanya benar-benar hidup seperti boneka yang senantiasa dia kendalikan.
Begitu anak pertama kami lahir, ibu mertuaku pun tak mau ketinggalan. Mulai dari susu, merek pampers, hingga bedak bayi pun dia yang memilih. Sungguh menguji kesabaran.
Pernah suatu kali aku dan suami memberontak. Kami membantah keinginannya dengan tegas. Saat itu suamiku kelepasan pakai nada bicara tinggi saking kesalnya. Ibu mertuaku langsung masuk kamar dan menangis. Dia tidak mau bicara pada kami hingga tiga hari.
Sejak saat itu, aku dan suami berusaha dengan sangat untuk terus sabar. Mending sabar dan damai daripada terjadi drama. Tapi diam-diam kami juga menabung untuk biaya DP rumah.
ADVERTISEMENT
Ya, ternyata suamiku juga tidak tahan melihatku terus diatur-atur ibunya. Mungkin ia sendiri juga tidak tahan. Lagi pula, siapa yang tahan hidup dengan mertua yang perfeksionis? (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Lina? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]