Hidup Hemat, Ternyata Tabungan Mertua Menggunung

Mertua Oh Mertua
Curhatan, keluh kesah, dan kisah cinta tentang mertua. Banyak drama di antara kita.
Konten dari Pengguna
30 Juli 2020 15:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi buku tabungan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi buku tabungan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jangan menilai orang dari sampulnya saja. Itulah yang pelajaran yang didapatkan Ayu dari mertua. Selama ini, dia menilai mertuanya terlalu hemat. Padahal, mertuanya sebenarnya punya rencana jangka panjang yang mengejutkan. Simak kisahnya.
ADVERTISEMENT
--
Ayah dan ibu mertuaku adalah orang yang paling rajin mengingatkan kami untuk segera beli rumah. Hampir setiap minggu mereka mengirim brosur price list perumahan terbaru. Hampir setiap minggu menelepon untuk kasih kabar ada rumah bagus dijual.
Tentu aku dan suami ingin beli rumah. Sangat ingin malah. Nggak mungkin rasanya kontrak terus, apalagi setelah anak kami sudah masuk sekolah. Sering pindah rumah pasti akan mempengaruhi psikologisnya.
Tapi masalahnya ada pada tabungan kami. Kami masih berusaha mengumpulkan dana untuk uang muka KPR. Rencananya sih ingin DP minimal 50 persen dari harga properti biar nggak berat di cicilan KPR. Sayangnya, tabungan kami masih terkumpul setengah.
Kadang jenuh juga mertua terus-terusan mendorong untuk beli properti. Kami berusaha memaklumi, namanya juga orang tua. Baru bisa tenang kalau anaknya sudah “sukses” yang ditandai dengan punya rumah sendiri. Tapi kalau terus-terusan dicekoki brosur rumah, rasanya kesal juga.
Dok: Giphy
Suamiku pun merasa begitu. Suatu hari, dia sampai ngegas ke ibunya.
ADVERTISEMENT
“Udah ngecek brosur perumahan di Cibitung yang ibu kirim? Itu murah lho, harganya cuma 700 juta-an,” tanya ibu mertua lewat telepon.
“Sudah Bu, iya nanti aku pikir-pikir,” jawab suamiku sekadarnya.
“Udah jangan kebanyakan dipikir. Cepetan ditentukan mau beli rumah di mana. Beli rumah itu memang harus dipaksa. Kalau nggak, yakin deh nggak bakal kebeli,”
“Ya harus dipikir lah Bu, beli properti kan nggak kayak beli mesin cuci. Ini aku sama Ayu juga masih ngumpulin dana buat DP,” suamiku mulai ngegas.
“Lah iya makanya buruan dipilih, Ibu itu--”
“Udah ya Bu, aku ada perlu lain,” potong suamiku, menutup telepon.
Kami anggap telepon itu sebagai angin lalu. Sudah biasa ibu menelepon cuma untuk menawarkan rumah, seakan dia marketing propertinya. Tapi dua hari kemudian ibu menelepon lagi. Dia bilang sudah lama ingin mencairkan deposito untuk bantu kami membayar DP rumah.
ADVERTISEMENT
Aku sedikit terkejut. Sebab, menurutku ayah dan ibu mertuaku selama ini hidupnya sederhana banget, cenderung irit malah. Rumahnya lantai 1 tipe 36. Cat rumahnya sudah kusam, seperti sudah bertahun-tahun tidak dicat ulang. Ibu mertua selama ini juga menolak dicarikan asisten rumah tangga atau katering harian. Nggak mau boros katanya.
Ayah mertuaku adalah pensiunan guru PNS, sedangkan ibu mertua dari dulu mengembangkan bisnis telur asin rumahan. Aku sudah bersyukur jika mereka nggak membebani finansial kami di hari tuanya nanti. Nggak perlu bantu kami, yang penting mereka bisa mandiri sampai ajal menanti.
Tapi ternyata ayah dan ibu mertua punya rencana lain. Mereka selama ini hidup hemat demi bisa membantu anak-anaknya membeli rumah.
ilustrasi KPR rumah. Foto: Pixabay
“Ayah itu sudah bayangin kalau harga rumah pas kamu udah berkeluarga pasti udah fantastis. Makanya ayah sama ibumu bertekad kami nggak cuma nabung buat pensiun, tapi bantu kalian beli rumah,” jelas ayah mertua.
ADVERTISEMENT
Aku dan suami terharu. Ternyata itu alasan selama ini ayah dan ibu mertua terus mendorong kami beli rumah pertama. Mereka ingin melihat usaha kami dulu, baru setelah itu membantu kekurangannya.
Mertuaku menyumbang Rp 175 juta untuk DP rumah kami. Adik iparku juga nggak perlu cemburu. Sebab ternyata, ayah dan ibu mertua juga sudah menyiapkan bagiannya. Banyak juga ya tabungan mertuaku.
Akhir kata, aku jadi malu sering underestimate mertuaku. Aku kira mereka kolot karena terus memaksa beli properti. Aku kira mereka pelit karena hidupnya terlalu irit. Padahal ternyata sebaliknya. (sam)
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Ayu? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua? Kirim email aja! Ke: [email protected].
ADVERTISEMENT