Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Iri Banyak Teman yang Positif Hamil Saat Pandemi
22 Mei 2020 14:24 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mertua biasanya nyinyir saat menantu tak kunjung punya anak. Tapi mertua dari Ayu justru sebaliknya. Saat Ayu iri dengan teman-temannya yang positif hamil selama pandemi, mertuanya justru sangat pengertian. Berikut kisahnya.
ADVERTISEMENT
—
Sudah dua tahun terakhir ini aku dan suami berusaha punya momongan.
Sejak dulu aku pengen tahu rasanya hamil , susah tidur karena si kecil tendang-tendang perut, deg-degan menjelang persalinan, dan gendong bayi yang keluar dari rahimku. Menurutku masa kehamilan itu penuh keajaiban.
Setelah setahun berhubungan tanpa pengaman tapi nggak kunjung hamil, kami mengunjungi dokter kandungan. Hasil pemeriksaannya menyatakan aku punya polip rahim . Semacam pertumbuhan jaringan abnormal pada dinding rahim yang membuat penderita susah hamil hingga 50 persen.
Untungnya, polip rahimku tergolong kecil dan nggak membutuhkan operasi. Aku cuma perlu dipantau rutin oleh dokter dan minum sejumlah obat hormon.
Meski dokter optimis aku bisa segera hamil, aku tetap nggak sabar. Aku ingin segera menjadi ibu.
ADVERTISEMENT
Aku makin tertekan karena banyak temanku yang positif hamil di masa pandemi COVID-19 ini. Sudah lima atau lebih yang mengumumkan kehamilannya lewat story Instagram.
Ada yang baru menikah sebulan lalu, sudah posting buku pregnancy guide. Ada yang sudah hamil anak kedua. Ada yang USG ternyata bayinya kembar. Aku iri!
“Kamu kenapa Yu? Kok cemberut gitu?” tanya ibu mertua saat melihatku nonton story Instagram.
“Nggak apa Ma. Pandemi gini banyak yang positif hamil ya. Ini temanku udah ada lima,” ceritaku.
“Efek disuruh di rumah terus kali ya hahaha,” kelakarnya. Aku lalu terdiam
Lama, nggak menanggapi lagi.
Seperti bisa membaca pikiranku, ibu mertua lalu mengelus punggungku. Pelan dan menenangkan. Setelah beberapa saat, ibu mertua baru bicara.
ADVERTISEMENT
“Semua itu ada waktunya, Ayu. Jalan hidup tiap orang beda-beda. Ada yang punya anak umur 17, ada yang meninggal umur 25, ada yang hidup sampai 120 tahun. Kita nggak pernah tau,” tuturnya.
Pada titik ini entah kenapa mataku berkaca-kaca. Perasaan yang aku tahan selama berbulan-bulan, seperti meluap.
“Jangan merasa hidupmu kurang hanya karena belum dikarunia anak. Yang kamu miliki sekarang juga harus disyukuri. Mama yakin kamu mampu jadi ibu yang baik, tapi Tuhan yang paling tahu kapan kamu benar-benar siap,” lanjutnya.
Aku lalu refleks memeluk ibu mertua. Menumpahkan air mataku di bahunya. Ibu masih mengelus punggungku dengan lembut.
Aku bersyukur ibu mertuaku nggak seperti ibu mertua lainnya yang nyinyir saat menantunya nggak kunjung hamil. Dia tahu aku punya polip rahim tapi nggak pernah menghakimi atau menyalahkan gaya hidupku.
Sebaliknya, dia yang paling sering membesarkan hatiku. Paling sering mengingatkanku untuk bersabar dan rajin berdoa. Paling bisa meyakinkan aku bisa jadi ibu yang baik, meski belum pernah melahirkan.
ADVERTISEMENT
Dari perhatiannya, aku belajar satu hal, yakni aku nggak harus hamil dan melahirkan untuk memberikan kasih sayang seorang ibu, seperti yang ibu mertua beri ke aku.
Kalau ternyata akhirnya aku nggak bisa hamil, aku tetap bisa menjadi ibu dan mencintai anak yang nggak aku lahirkan. (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Ayu? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]