Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Dipaksa Mertua Segera Beli Rumah
7 April 2020 18:55 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beda generasi, beda juga prioritasnya. Generasi lama mengutamakan investasi properti seperti rumah dan tanah. Tapi beda lagi dengan generasi milenial yang lebih suka investasi saham atau reksadana. Generation gap ini dirasakan Mita, ibu yang dipaksa mertua untuk segera membeli rumah.
ADVERTISEMENT
—
Pernikahan kami sudah berjalan tiga tahun. Selama tiga tahun itu aku dan suami tinggal di kontrakan dan sudah 2 kali pindah. Rumah yang kami tinggali kini cukup layak, tidak jauh dari tempat kerja, dan memenuhi kebutuhan kami.
Baik aku maupun suami, merasa nyaman dengan kondisi sekarang. Tak ada yang salah dengan menyewa rumah, yang penting betah. Toh kami masih bertiga, baru punya satu anak yang masih balita .
Namun yang keberatan malah ibu mertua. Sudah dua tahun ini dia sering memberi wejangan agar kami segera membeli properti. Boleh rumah, boleh tanah, boleh apartemen, apa saja yang penting punya. Bahkan kalau jaraknya hampir dua jam berkendara dari kantor pun tak masalah. Yang penting punya properti.
“Kemarin Ibu dapat brosur perumahan baru di kecamatan P. Murah lho uang mukanya cuma 5 persen. Sayang ibu lupa bawa brosurnya. Kayaknya cocok tuh buat kalian,” katanya suatu hari.
ADVERTISEMENT
“Tapi itu jauh banget Bu dari kantorku sama Mita. Nanti tua di jalan dong,” jawab Ivan, suamiku.
“Ya nggak apa. Kalau beli properti itu lihat jauh ke depan. Siapa tahu lima tahun lagi dibangun tol dekat situ. Terus ke kantor jadi cuman satu jam,”
“Iya Bu, nanti coba aku browsing brosurnya,” jawab Ivan sekenanya.
Ivan dan aku memang sepakat untuk menunda beli rumah. Menurut kami, rasanya rugi bila harus beli rumah lewat KPR. Apalagi kalau uang muka sedikit dan dikenai bunga floating. Kalau dijumlahkan semuanya, pengeluaran bisa dua kali lipat harga properti.
Karenanya, sekarang kami fokus dulu mengumpulkan modal usaha. Daripada uang habis untuk bayar bunga KPR, mending ditabung. Siapa tahu nanti bisa beli rumah cash, ya kan?
ADVERTISEMENT
Ivan sudah pernah menjelaskan rencana itu kepada orang tuanya. Tapi sepertinya mereka tidak paham. Ibunya masih sering memberi kami brosur rumah, baik brosur fisik maupun lewat WhatsApp.
“Eh kemarin ibu ketemu teman lama. Dia nawarin rumahnya ke ibu. Dua lantai, kamarnya ada lima. Dijual murah banget, bisa nego lagi,”
“Kayaknya nggak dulu deh Bu. Sekarang kan masih masa krisis karena corona. Mending berhemat dulu, siapa tahu krisisnya masih lama,” jawabku.
Ku kira kalau aku membahas krisis dan Corona, ibu mertua akan langsung memaklumi. Ternyata tidak.
“Kemarin-kemarin belum krisis kalian juga nggak segera beli rumah. Nunggu apa sih? Harga properti itu naik terus. Kalau nunggu buka usaha ya kelamaan,”
ADVERTISEMENT
“Prioritas kami sekarang belum rumah, Bu. Selain nabung buat modal usaha, kami juga masih ngumpulin dana pendidikan. Meski ngontrak kan tetap bisa dapat rumah yang nyaman,” jelasku.
“Punya rumah itu juga penting, Nak. Kalau kalian berdua udah nggak ada, mau ninggalin apa ke anak kalau bukan rumah,” jawabnya lagi.
Berdebat tentang rumah dengan ibu mertua memang tidak ada habisnya. Kuakui dia punya argumen kuat dan masuk akal. Tapi bagaimanapun kondisi dulu dan sekarang sudah berbeda.
Dulu beli properti tidak sesulit sekarang. Harganya belum puluhan kali lipat dari pendapatan bulanan. Tak heran bila satu keluarga bisa punya berpetak-petak tanah untuk diwariskan ke anak-anaknya. Nah sekarang?
Aku sebenarnya bisa mengerti kenapa mertua terus memaksa kami segera beli rumah. Dia ingin kami segera settle. Standar sukses generasi lama adalah punya rumah. Sedangkan menurut kami, banyak hal lain yang bisa didahulukan.
ADVERTISEMENT
Yang aku pikirkan, bagaimana cara menyakinkan mertua bahwa kami baik-baik saja secara finansial meski belum punya rumah? (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Mita? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua ? Kirim email aja! Ke: [email protected]