Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Sejak Masih Pacaran, Mertua Sering Utang
19 Agustus 2020 17:11 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada yang bilang, jika Anda rela memberi pinjaman uang, berarti harus siap kehilangan. Apalagi kalau yang Anda beri utang adalah calon mertua. Pasti merasa serba salah. Itulah yang dirasakan Cia. Apakah Cia berani menagih uangnya? Langsung simak kisahnya.
ADVERTISEMENT
—
Aku pacaran dengan Andre sejak kuliah semester 5. Andre yang kini telah jadi suamiku. Hubungan kami bisa dibilang lancar, nggak banyak batu dan lika-liku. Justru yang jadi masalah adalah ibu mertuaku.
Sejak aku dan Andre masih pacaran, ibunya sudah beberapa kali pinjam uang ke aku. Padahal waktu itu aku masih berstatus mahasiswa, belum bekerja, dan hanya mengandalkan kiriman dari orang tua. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tega juga ya dia.
Pertama kali utang, aku ingat jumlahnya lumayan besar untukku. Sekitar Rp 1,5 juta kalau nggak salah. Katanya untuk tambahan biaya sekolah adik bungsu Andre. Karena sungkan menolak, aku berikan tabunganku yang seharusnya untuk beli handphone baru.
Tentu aku juga nggak enak hati untuk menagih. Aku juga nggak bisa menagih lewat Andre karena ibunya meminta aku nggak cerita ke anak sulungnya itu. Entah apa alasannya. Mungkin nggak mau Andre marah atau malu. Ya sudah, aku cuma bisa menunggu.
Beberapa minggu kemudian, aku baru tahu kalau ternyata uang dariku bukan dipakai untuk biaya sekolah adik Andre. Semua biaya sudah dibayar Andre dari kerja freelance. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin uangku dipakai untuk belanja kebutuhan pokok atau berobat.
ADVERTISEMENT
Utang pertama belum dibayar, eh ibu mertua sudah minta pinjaman lagi. Saat itu cuma Rp 500 ribu, tapi tetap terasa besar bagiku. Lagi-lagi aku nggak bisa menolak.
Sebenarnya, aku sudah merasa itu sebagai “red flag”. Tapi karena terlanjur sayang dengan Andre, aku berusaha mengabaikan kebiasaan buruk ibunya. Aku ikhlaskan saja utang itu. Toh uang bisa dicari lagi, pikirku.
Setelah menikah, aku tahu hubunganku dengan ibu mertua akan tetap canggung gara-gara utang. Tapi nggak kusangka, sikapnya malah menjadi-jadi. Aku malah disebut sebagai menantu matre. Lho nggak kebalik?
Aku dibilang matrealistis hanya karena meminta kewenangan mengatur keuangan suamiku. Setelah menerima gaji, aku meminta suami mentransfernya ke rekeningku untuk dibagi ke dalam pos-pos kebutuhan dan tabungan.
ADVERTISEMENT
Memang aku yang minta. Sebab, kalau Andre sendiri yang pegang, naik gaji berapa kali pun akan habis nggak bersisa. Ibunya akan minta berkali-kali meski sudah diberi jatah bulanan.
Aku sudah nggak bisa berprasangka baik lagi karena sudah lihat sendiri ibu mertua suka menghambur-hamburkan uang. Buat arisan lah, online shopping produk-produk nggak penting, beli perhiasan, tas branded dan lain-lain. Gaya hidupnya nggak sesuai dengan kondisi finansialnya.
Karena sekarang semua pengeluaran harus lewat aku, ibu mertua sudah nggak bisa sewenang-wenang “memeras” Andre. Keluarlah kata-kata kasar dari mulutnya.
“Dasar menantu matre. Anakku dikadalin mulu,” kata ibu mertua via chat. Sangat keterlaluan kalau ingat dari dulu aku sudah diporotin padahal belum jadi apa-apa.
ADVERTISEMENT
Aku memutuskan nggak membalas. Percuma juga ditanggapi. Karena ibu mertua, aku jadi sadar usia nggak bisa jadi patokan kedewasaan dan kebijaksanaan mengatur uang. (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Cia? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua? Kirim email aja! Ke: curcolsoalmertua@gmail.com