news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Urban Farming: Peluang di Tengah Bonus Demografi dan Tantangan Urbanisasi

Armansyah
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN
25 Maret 2025 12:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Enrique dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Enrique dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam buku “Analisis Profil Penduduk Indonesia” yang dirilis 24 Juni 2022, bonus demografi Indonesia telah terjadi sejak tahun 2012 yang lalu, dan akan melandai pada 2035.
ADVERTISEMENT
Dan saat ini Indonesia tengah berada pada periode puncak bonus demografi (2020-2030), di mana jumlah penduduk usia produktif dua kali lipat dari jumlah penduduk usia anak dan lanjut usia.
Bayangkanlah, kita memiliki potensi besar dalam bentuk lautan tenaga kerja muda yang energik, siap mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, tanpa lapangan kerja yang memadai, keberadaan tenaga kerja ini berpeluang menjadi bencana, menyebabkan pengangguran masal, ketidaksetaraan sosial yang semakin melebar, dan peningkatan kemiskinan di area perkotaan.
Di tengah puncak bonus demografi, masalah lain muncul dari urbanisasi yang terus melaju dengan cepat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung semakin ramai oleh pendatang yang berharap menemukan kehidupan lebih baik.
Selama periode 1980-2010, populasi penduduk perkotaan Indonesia naik empat kali lipat, dari 32,8 juta menjadi 118,3 juta jiwa (Mardiansjah dkk., 2021), dan diprediksi akan terus meningkat hingga 62,8 persen di 2030 dan 70 persen di 2045.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik gemerlap urbanisasi tersebut, terdapat masalah serius yang tidak bisa kita abaikan. Meningkatnya pekerja sektor informal, permukiman kumuh, kemacetan, pengangguran, naiknya harga tanah, ketergantungan terhadap pangan impor, dan berkurangnya ruang hijau membuat kehidupan di perkotaan dan pengoptimalan bonus demografi semakin menantang.
Urban Farming sebagai Alternatif Solusi
Di tengah isu-isu tersebut, urban farming muncul sebagai alternatif solusi menarik dan penuh harapan. Siapa sangka bahwa bertani di tengah kota, baik di pekarangan rumah, atap gedung, maupun lahan kosong bisa menjadi alternatif untuk menghasilkan pangan segar sekaligus membuka peluang usaha baru?
Dengan memanfaatkan teknologi modern seperti hidroponik, akuaponik, dan pertanian vertikal, urban farming telah terbukti sukses di berbagai belahan dunia, seperti di Inggris, Austria, Spanyol, Italia, Amerika Serikat, China, dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Menurut Nesheli & Salaj, (2024), dalam artikelnya yang berjudul ‘Urban farming for social benefit’, teknologi modern mampu memaksimalkan hasil panen sambil meminimalkan dampak lingkungan, sehingga tidak hanya menyuplai makanan segar, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduk perkotaan.
Urban farming juga memberi kesempatan bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitas dan inovasi. Investasi awal yang relatif kecil dan perkembangan teknologi kini mendorong banyak anak muda berani mengubah lahan sempit menjadi kebun produktif yang mampu memberikan pendapatan stabil.
Di Bandung, misalnya, program urban farming terintegrasi yang bernama "Buruan SAE" bukan hanya menyediakan bahan pangan bagi penduduk, namun juga menjadi usaha yang menguntungkan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan kohesi sosial, memperluas ruang terbuka hijau dan sekaligus menjadi kegiatan yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Tantangan
Namun, tantangan juga tak bisa diabaikan dalam pengembangan urban farming. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan lahan. Di tengah laju pembangunan yang cepat, lahan untuk bertani menjadi sangat langka.
Bayangkan sebuah kota besar seperti sebuah kue raksasa, di mana hampir seluruh bagiannya sudah terpotong-potong untuk pembuatan gedung-gedung tempat tinggal, kantor-kantor, dan berbagai infrastruktur penting lainnya.
Hanya sedikit ruang yang tersisa untuk pertanian atau kegiatan lain yang memerlukan lahan terbuka. Seolah-olah kue itu hampir habis dimakan, sehingga menyisakan hanya celah kecil untuk menu tambahan yang lain.
Selain itu, kebijakan pemerintah masih lebih terfokus pada pertanian tradisional di pedesaan, sehingga insentif dan regulasi yang mendukung urban farming masih minim.
Para pelaku yang tidak mendapatkan bantuan atau insentif itu ibaratnya harus berlari dengan kekuatan mereka sendiri, saling mendukung satu sama lain layaknya tim yang kompak.
ADVERTISEMENT
Dengan modal terbatas, mereka mengandalkan kerja keras dan dukungan komunitas seperti teman-teman yang memberikan dorongan semangat di sepanjang lintasan untuk tetap bertahan dan meraih kemenangan dalam mengembangkan usaha urban farming.
Salah satu tantangan utama lainnya dalam pengembangan urban farming adalah persepsi masyarakat yang masih melihatnya sebagai hobi semata, bukan sebagai sektor ekonomi yang memiliki potensi besar untuk menghasilkan pendapatan yang stabil.
Untuk mengubah pandangan ini, diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intens, terutama di kalangan generasi muda. Pendekatan digital, pelatihan teknis, dan kerjasama dengan sektor swasta dapat menjadi kunci untuk membuka mata banyak orang tentang potensi urban farming.
Stategi Pengembangan
Strategi pengembangan urban farming di Indonesia harus melibatkan banyak pihak dengan pendekatan yang holistik. Pemerintah, misalnya, perlu mengembangkan kebijakan proaktif, seperti memberikan insentif bagi pelaku urban farming dalam memanfaatkan lahan kosong milik negara untuk kegiatan pertanian perkotaan.
ADVERTISEMENT
Mengintegrasikan konsep urban farming dalam perencanaan tata kota juga sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan sektor ini. Selain itu, penguatan ekosistem pendukung juga sangat dibutuhkan.
Akses ke pembiayaan mikro, pelatihan teknis, dan kerjasama dengan sektor swasta harus ditingkatkan agar urban farming dapat berkembang secara berkelanjutan. Digitalisasi dan inovasi teknologi, seperti pemanfaatan Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI), berpotensi meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi secara signifikan.
Model bisnis berbasis e-commerce juga membuka peluang bagi petani urban untuk menjangkau pasar yang lebih luas melalui media sosial, sehingga mereka tidak lagi terjebak dalam rantai distribusi tradisional yang sering kali memberatkan.
Pada akhirnya, urban farming bukan sekadar solusi untuk mengatasi pengangguran dan ketergantungan pangan; ia juga merupakan langkah menuju transformasi ekonomi hijau yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Setiap inisiatif dan inovasi di bidang urban farming merupakan investasi penting untuk menciptakan masa depan perkotaan yang mandiri, inklusif, dan ramah lingkungan.
Mari kita dukung pengembangan urban farming, bukan hanya untuk menjawab tantangan urbanisasi dan bonus demografi, tetapi juga untuk mewujudkan kota yang lebih hidup dan berkelanjutan.
Dengan semangat kebersamaan dan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat melangkah lebih jauh menuju masa depan yang cerah dan hijau.
Referensi
Mardiansjah, F. H., Rahayu, P., & Rukmana, D. (2021). New Patterns of Urbanization in Indonesia: Emergence of Non-statutory Towns and New Extended Urban Regions. Environment and Urbanization ASIA, 12(1), 11–26. https://doi.org/10.1177/0975425321990384
Nesheli, S. A., & Salaj, A. T. (2024). Urban farming for social benefit. IFAC-PapersOnLine, 58(3), 351–356. https://doi.org/10.1016/j.ifacol.2024.07.176
ADVERTISEMENT