Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Imparsial: Pelibatan TNI Tak Perlu Diatur dalam UU Terorisme
30 Mei 2017 10:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Salah satu isu penting dalam RUU Terorisme adalah pelibatan TNI dalam menindak aksi terorisme. Direktur Imparsial, Al Araf, menyebut peran TNI itu sebetulnya sudah diatur dalam UU TNI, sehingga tak perlu lagi dimasukkan dalam RUU Terorisme.
ADVERTISEMENT
"Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Mengacu pada pasal itu, sebenarnya Presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara," ucap Al Araf dalam keterangan tertulis, Selasa (30/5).
Menurut Al Araf, dalam praktiknya selama ini, militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan Tinombala di Poso dalam memburu kelompok Santoso.
"Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi last resort (pilihan terakhir) yang dapat digunakan Presiden, jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme," paparnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, Al Araf menyebut alangkah lebih tepat jika pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI saja. Seharusnya lebih tepat jika pemerintah dan DPR segera membentuk UU Perbantuan sebagai aturan main lebih lanjut untuk menjabarkan seberapa jauh dan dalam, situasi apa militer dapat terlibat dalam operasi militer selain perang, yang salah satunya mengatasi terorisme.
Namun jika Presiden tetap berkeinginan mengatur dan melibatkan militer dalam revisi UU Terorisme, maka pelibatan itu hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik Presiden. Di sini militer tidak bisa melaksanakan operasi mengatasi terorisme tanpa adanya keputusan Presiden.
ADVERTISEMENT
Pelibatan militer dalam revisi UU Terorisme tanpa melalui keputusan politik negara, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara aktor pertahanan dan keamanan, mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil, dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum, sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system.
Al Araf menambahkan, permasalahan lain terkait pengaturan keterlibatan TNI dalam UU Terorisme adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus), terhadap setiap upaya paksa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lainnya yang dilakukan oleh aparat TNI untuk menjamin terpenuhinya hak asasi manusia.
Terlebih, anggota TNI juga belum tunduk pada peradilan umum bila terjadi kesalahan dalam penanganan teroris dan hanya diadili melalui peradilan militer yang diragukan independensinya untuk menyelenggarakan peradilan yang adil.
ADVERTISEMENT
"Pendekatan criminal justice system model yang selama ini telah digunakan dalam penanganan terorisme di Indonesia sejatinya sudah tepat dan benar, meski memiliki beberapa catatan terkait hak asasi manusia," tutur Al Araf.
"Kami meminta kepada Presiden dan DPR agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap dalam sistem negara demokrasi, penghormatan pada negara hukum dan ham serta menggunakan model mekanisme criminal justice system," tutupnya.
Baca juga: