Merantau Demi Bujuk Rayu Emas Buru

20 Maret 2017 12:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hartono, penambang emas di Gunung Botak. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hartono, penambang emas di Gunung Botak. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Rumput tetangga lebih hijau. Tampaknya itulah alasan Hartono dan Pos menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Buru, Maluku --yang sayangnya tak lagi sehijau dulu.
ADVERTISEMENT
Keduanya nekat merantau ke Buru mendengar cerita-cerita tentang potensi emas yang luar biasa di tanah bekas pengasingan tahanan politik Orde Baru itu. (Baca: )
Padahal, waktu yang mereka miliki terbatas. Mereka tahu tambang emas di Gunung Botak, Buru, resmi ditutup 17 Maret 2017, Jumat pekan lalu.
Maka saat kumparan (kumparan.com) menemui mereka di Gunung Botak, Jumat (10/3), Hartono dan Pos tinggal memiliki waktu 7 hari atau seminggu lagi untuk mencoba peruntungan mencari emas di kawasan pertambangan liar itu.
Hartono, pria 40 tahun asal Pati, Jawa Tengah, bercerita belum mendapatkan keuntungan satu rupiah pun selama 20 hari menambang di Gunung Botak --yang kini benar-benar makin botak karena terus digali tanpa henti. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia yakin galian yang ia hasilkan bersama ketiga orang kawan seperantauannya akan segera membuahkan pundi-pundi rupiah.
Sebelum merantau ke Buru, Hartono dan tiga rekannya mengadu nasib sebagai penambang batu pasir. Namun penghasilan mereka ketika itu tak seberapa.
“Kami ke Pulau Buru karena kebutuhan makin mendesak, makin tinggi. Menambang batu cuma Rp 50 ribu sehari. Kalau di Buru kan bisa sampai Rp 100 ribu sehari,” kata Hartono.
Ajakan seorang teman dari Pulau Buru yang menawarkan penghasilan besar, akhirnya membuat Hartono tergiur. Sang kawan itulah yang kini menjadi bosnya di penambangan Buru, dan memfasilitasi segala kebutuhan dia untuk mencari butiran-butiran emas.
Seperti para penambang liar lain di Gunung Botak yang marak memakai merkuri atau air raksa untuk memisahkan pasir dengan emas, Hartono juga akan menggunakannya. Ia tak takut dengan bahaya merkuri bagi kesehatannya di masa depan. (Baca: )
ADVERTISEMENT
“Enggak takut sama perak (merkuri). Kalau takut, nanti keluarga enggak makan. Anak saya ada dua (di Pati), enggak dibawa ke sini entar kasihan, capek. Biar di rumah saja,” ujarnya. (Baca juga:)
Hartono sesungguhnya berharap tambang di Gunung Botak itu tak ditutup. Namun ia pasrah.
Pak Pos, penambang emas asal Sukabumi. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pak Pos, penambang emas asal Sukabumi. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Seorang perantau lain bernama Pos asal Sukabumi, Jawa Barat, juga berharap Gunung Botak tak ditutup. Ia kadung merasa nyaman di sana, meski belum beroleh hasil apapun selama dua minggu menambang di Buru karena masih pada tahap penggalian.
“Belum pernah ngolah (emas). Saya ikut-ikut saja. Kalau pemerintah suruh pulang, ya pulang. Kalau pemerintah bisa selesaikan masalah (tanpa menutup tambang), saya juga nyaman di sini,” kata Pos.
ADVERTISEMENT
Ia sebelumnya bekerja sebagai penambang emas di Cihiris, Cisarua, Kabupaten Bogor. Pos lantas memilih merantau karena mendengar potensi emas Gunung Botak yang lebih besar dari Cihiris.
Di Cihiris, Pos mengolah tambang dengan merkuri atau raksa. Larutan perak itu, menurutnya, tak menimbulkan masalah dan tidak mengancam kesehatan jika dipakai menggunakan mesin gelondong atau tromol yang tertutup. (Baca juga: )
Mesin tromol yang terbuat dari drum besi berfungsi sebagai penghancur atau penggerus bebatuan dan penangkap butiran emas.
Emas yang sudah dikeruk dari Gunung Botak sejak pertama kali penambangan di sana bermula tahun 2011, menurut Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas usai bertemu Bupati Buru awal Desember 2016, telah mencapai lebih dari 200 ton.
ADVERTISEMENT
Dengan emas sebanyak itu, bagaimana mereka tak tergiur memburunya di Buru?
Penambang di Gunung Botak yang sedang beristirahat (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Penambang di Gunung Botak yang sedang beristirahat (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Gunung Botak kini resmi ditutup sesuai Instruksi Gubernur Maluku Nomor 48 Tahun 2017, selaras dengan perintah Presiden Jokowi melarang tambang emas bermerkuri beroperasi.
Letnan Kolonel Sindhu Hanggara, Komandan Komando Distrik Militer 1506/Namlea kepada kumparan, Minggu (18/3), mengatakan penutupan tambang Gunung Botak ditanggapi penambang emas tanpa izin (peti) dengan baik.
“Mereka sadar untuk turun sendiri (dari Gunung Botak),” kata Sindhu. (Baca: Penertiban Gunung Botak Damai, Penambang Turun Sendiri)
Sementara Pangdam Pattimura Mayjen Doni Monardo mengatakan penambang dari luar Buru telah meninggalkan Gunung Botak.
Selama ini, ribuan penambang ilegal di gunung itu mayoritas memang berasal dari luar Buru, seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Awal bulan ini sebelum ditutup, Gunung Botak dipadati oleh sekitar 3.000 penambang ilegal. Jumlah lebih besar menyerbu gunung kerontang itu pada tahun 2015, saat sebanyak 50.000 penambang berburu emas.
Yang paling disayangkan dari penambangan itu, tentunya, pemakaian merkuri yang meracuni dan mencemari. Dan cairan perak itu tak ada artinya bagi para penambang dibanding emas. (Baca )
Bujuk rayu memang selalu manis didengar.
Para pekerja saling bahu membahu di Gunung Botak. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Para pekerja saling bahu membahu di Gunung Botak. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)