Perlunya Sensitivitas dalam Menyikapi Perang Ukraina-Russia

M Scessardi Kemalsyah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Maret 2022 15:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Scessardi Kemalsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/NZc-YH3JJZk?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/NZc-YH3JJZk?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagaimana diketahui sekarang, Perang antara Ukraina dan Russia menjadi salah satu fenomena kekerasan global sekaligus krisis kemanusiaan yang tidak dihindarkan. Berbagai bukti menunjukkan bagaimana krisis kemanusiaan mulai terjadi seperti jumlah kematian warga sipil, kesulitan bahan pangan, terancamnya dan gelombang migrasi besar-besaran warga Ukraina ke Polandia.
ADVERTISEMENT
Sejak awal invasi hingga 27 Februari 2022, terhitung 352 warga sipil meninggal termasuk 14 anak-anak. Selain itu, masyarakat sipil juga dihadapkan dengan kelangkaan bahan pangan. Penduduk Kota Kiev mulai mengalami kesulitan bahan pangan di pasar swalayan akibat invasi ini. Krisis kesehatan juga membayangi masyarakat Ukraina yang saat ini masih terjebak di negaranya. Seiring dengan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, mulai terjadi kelangkaan oksigen karena sulitnya proses transportasi oksigen ke rumah sakit-rumah sakit di seluruh Ukraina menurut laporan WHO
Beberapa indikasi diatas berpotensi membawa Ukraina menuju krisis kemanusiaan yang lebih hebat. Hal-hal diatas juga mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional yang berlaku jika terjadi kontak senjata. Salah satu contohnya adalah serangan terhadap fasilitas dan infrastruktur sipil di Kota Kharkiv termasuk pemukiman dan sekolah. Menurut hukum humaniter internasional, masyarakat sipil dan infrastruktur sipil wajib dilindungi dan tidak boleh diserang sebagaimana tertuang dalam Konvensi Jenewa.
ADVERTISEMENT
Perang dan kekerasan tentu merupakan hal yang zalim dan hanya membawa kemungkaran. Nyawa masyarakat sipil menjadi harga yang harus dibayar dalam kekerasan. Harus diingat mereka juga merupakan seorang anak, ayah, ibu, tulang punggung keluarga, dan "rumah" bagi orang lain. Sebagaimana penulis, tidak sedikit orang-orang yang terkejut akan perang yang terjadi saat ini. Selain itu, harus diingat pula bahwa para tentara yang diterjunkan baik dari Ukraina maupun Russia juga merupakan manusia-manusia yang terjebak dalam sistem rantai komando dan seringkali tidak memiliki banyak pilihan selain mematuhi perintah.
Sayangnya banyak sekali yang kurang sensitif terhadap krisis kemanusiaan ini. Tanpa berupaya membatasi kebebasan dalam berpendapat, miris melihat komentar-komentar yang abai terhadap kondisi masyarakat Ukraina sekarang ini. Komentar-komentar dukungan terhadap Invasi Russia (salah satunya menjamurnya kata "Ura" yang menjadi teriakan pasukan Russia dalam perang) maupun upaya-upaya netral sering ditemui di sosial media. Meme mengenai latar belakang Presiden Zelensky sebagai seorang komedian yang dibandingkan secara lebih rendah daripada Presiden Putin sebagai mantan agen KGB Soviet juga ramai terlihat.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan bentuk insensitivitas masyarakat khususnya di Indonesia. Seringkali terlihat ketidakmampuan untuk membayangkan berada di posisi masyarakat Ukraina yang sedang beraktivitas seperti sedang mencuci pakaian, mengantar anak ke sekolah, atau bersiap pergi ke kantor namun tiba-tiba harus mengevakuasi diri ke dalam bunker dalam sekejap waktu dan dihadapkan dengan ketidakpastian akan keberlangsungan hidup mereka.
Sementara kita di Indonesia dengan mudahnya bisa berkomentar menjustifikasi kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan mengglorifikasi latar belakang Presiden Putin sebagai seorang military-man dan dengan mudahnya merendahkan Presiden Zelensky hanya karena masa lalunya sebagai artis komedi yang berhasil menduduki kursi presidensi melalui pemilu. Lagi-lagi banyak yang sulit membayangkan seorang mantan artis komedi untuk bisa memerintah dan memimpin negara dan terjebak dalam pemahaman militeristik bahwa seseorang dengan latar belakang militer mutlak lebih berwibawa dan pantas menjadi pemimpin dengan imajinasi "pemimpin ideal" yang itu-itu saja. Nampaknya ada kesulitan untuk mencoba memosisikan diri sebagai masyarakat yang terdampak.
ADVERTISEMENT
Harus diingat Perang Ukraina-Russia bukanlah sebuah kejadian dengan asal-usul tunggal tetapi memiliki akar masalah yang panjang dan melibatkan banyak aktor yang tidak sebatas kedua presiden itu saja. Perlu untuk membuka mata lebih lebar bahwa keputusan berperang bukanlah keputusan masyarakat secara kolektif tetapi hanyalah segelintir orang yang duduk atau dekat dengan kursi pemerintahan yang memerlukan dukungan masyarakat untuk menjustifikasi kekerasan melalui propaganda. Lagipula siapa yang mau perang berlangsung?
Kemudian, bagaimana posisi kita sebagai masyarakat biasa dalam menyikapi perang tersebut?
Perlu bagi masyarakat untuk tidak terpaku pada narasi-narasi nasionalis-militeristik saja dalam memahami perang. Dalam konflik disertai kekerasan, negara bukan satu-satunya aktor terlibat tetapi juga para pengambil kebijakan dan masyarakat sipil. Tanpa mengabaikan peran negara, akan lebih bijaksana bagi masyarakat luas untuk memahami perang dengan melihat dampak kemanusiaan dan penderitaan yang dihasilkan daripada terus mengonsumsi narasi-narasi yang seringkali saling menjatuhkan dan terjebak dalam dualisme tanpa akhir.
ADVERTISEMENT
Sensitivitas terhadap aspek kemanusiaan akan memberikan titik terang bagi masyarakat untuk berpihak pada yang seharusnya dibela alih-alih memberi dukungan buta terhadap pihak-pihak yang dengan mudahnya menggunakan kekerasan terhadap masyarakat sipil tanpa senjata. Sadar untuk berpihak bisa menjadi titik mula dari partisipasi lebih jauh untuk memberi tekanan terhadap negara dan aksi kekerasan. Menjadi netral juga bukan pilihan karena ada kecenderungan untuk lepas tanggung jawab dan menutup mata-telinga terhadap kekerasan yang ada.
Berpihak pada korban-korban yang menderita menjadi jalan yang mudah bagi kita yang berada jauh dari Ukraina untuk menyikapi perang ini. Boleh menjadikan perang ini sebagai pelajaran untuk memahami konflik tetapi kekerasan yang terjadi sekarang ini bukanlah hal yang patut dikomentari dengan ringan. Satu hal yang harus diingat adalah mengomentari perang berarti berkomentar atas darah, keringat, dan nyawa anak-anak, ayah, dan ibu yang hak hidupnya sudah dicabut oleh manusia lain.
ADVERTISEMENT