Konten dari Pengguna

Evaluasi Ex-Post, Menyelamatkan Efektivitas Hukum dari Kemandulan Sosial

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
26 April 2025 9:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Evaluasi ex-post regulasi atau penilaian pasca-berlakunya suatu peraturan perundang-undangan merupakan instrumen penting dalam siklus regulasi yang acapkali terabaikan dalam praktik legislasi di Indonesia. Evaluasi ini seyogianya tidak hanya menjadi tugas administratif, tetapi berfungsi sebagai refleksi kritis atas efektivitas hukum dalam mengatur, mengarahkan, dan membentuk perilaku masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, pembudayaan hukum (legal culture) kerap berselisih jalan dengan produk hukum yang dihasilkan. Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang disusun melalui metode omnibus law, merupakan contoh mutakhir dari bagaimana hukum dibuat dengan orientasi ekonomi tetapi gagal menjawab kompleksitas sosial yang lebih luas, termasuk perlindungan tenaga kerja dan tata kelola investasi.
Undang-undang tersebut pada awalnya dirancang untuk menciptakan kepastian hukum dan menarik investasi asing. Namun, data sepanjang 2025 menunjukkan bahwa UU ini tidak berhasil menahan laju pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun mendorong signifikan arus modal masuk. Ketidaksinkronan antara harapan regulatif dan kenyataan empiris ini mencerminkan lemahnya proses evaluasi ex-post dalam sistem legislasi kita.
Evaluasi ex-post regulasi bukan hanya persoalan pengukuran dampak ekonomi, tetapi juga mengkaji sejauh mana undang-undang mampu membentuk kesadaran hukum masyarakat. Sebab, hukum yang efektif adalah hukum yang tidak hanya ditaati karena takut sanksi, tetapi juga diyakini sebagai sesuatu yang benar dan adil.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks teori efektivitas hukum modern, keberhasilan sebuah regulasi diukur dari tiga dimensi utama, yaitu kejelasan norma, keberterimaan sosial, dan kemampuan penegakan. Ketiganya hanya bisa diketahui melalui evaluasi menyeluruh setelah undang-undang diberlakukan.
UU Cipta Kerja justru memperlihatkan kesenjangan besar antara produk hukum dengan kebutuhan masyarakat. Banyak pasal yang multitafsir, tumpang tindih dengan regulasi sektoral, dan belum cukup disosialisasikan. Akibatnya, implementasi hukum menjadi bias, menimbulkan resistensi sosial, dan menggugurkan legitimasi negara dalam proses hukum.
Konsideran "Menimbang" dan "Penjelasan Umum" dalam setiap undang-undang seharusnya menjadi titik acuan utama dalam evaluasi ex-post. Jika realitas yang terjadi di masyarakat bertentangan dengan semangat dalam konsideran, maka dapat dikatakan hukum tersebut gagal memenuhi misinya.
Praktik kodifikasi hukum pidana nasional melalui pengesahan KUHP baru adalah contoh lain dari perlunya evaluasi regulasi secara sistemik. Upaya ini sesungguhnya sangat penting dalam konsolidasi hukum pidana yang selama ini terfragmentasi dalam berbagai undang-undang sektoral.
ADVERTISEMENT
Namun, kodifikasi ini menuntut pendekatan omnibus juga dalam pelaksanaannya. Misalnya, pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam berbagai undang-undang, serta mekanisme pertukaran narapidana antarnegara yang belum memiliki kerangka evaluatif terpadu. Tanpa evaluasi menyeluruh, kodifikasi ini berisiko menjadi "kitab mati" yang hanya hidup dalam teks, bukan dalam praksis.
Demikian pula dalam sektor keamanan nasional, khususnya keamanan maritim, kita menyaksikan inkonsistensi regulasi antara instansi seperti Bakamla, TNI AL, KKP, Imigrasi, dan Polairud. Tumpang tindih wewenang ini bukan hanya melemahkan efektivitas pengawasan laut, tetapi juga memperburuk citra tata kelola hukum di mata dunia.
Regulasi pertanahan juga memperlihatkan fragmentasi hukum yang akut, mencakup Kementerian Agraria, Kehutanan, Pertambangan, dan Pemerintah Daerah. Ketidakterpaduan ini menyebabkan konflik lahan terus berulang, dan tidak ada mekanisme ex-post yang memadai untuk mengoreksi kesenjangan antarperaturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penilaian dampak hukum (regulatory impact assessment – RIA) yang selama ini lebih bersifat ex-ante perlu dilengkapi dengan evaluasi ex-post yang konkret, transparan, dan berorientasi pada keadilan substansial. Kementerian Hukum serta Badan Legislasi DPR RI harus menempatkan fungsi ini sebagai bagian dari sistem legislasi nasional yang berkelanjutan.
Evaluasi ex-post juga memungkinkan adanya koreksi hukum secara responsif, bukan sekadar tambal-sulam melalui revisi sporadis. Dengan pendekatan ini, pembentukan hukum tidak lagi menjadi arena politik semata, tetapi menjadi alat pembudayaan hukum yang partisipatif dan progresif.
Dalam kacamata teori politik hukum Indonesia, praktik legislasi saat ini masih dikuasai oleh dominasi kekuasaan negara (state-centered law making) dan belum cukup membuka ruang bagi deliberasi publik yang bermakna. Padahal, legitimasi hukum modern harus berasal dari rasionalitas publik, bukan sekadar mandat formal institusi negara.
ADVERTISEMENT
Dengan evaluasi regulasi yang terstruktur dan melibatkan banyak pihak (multi-stakeholder review), kita bisa memastikan bahwa setiap produk hukum tidak sekadar legal secara formil, tetapi juga legitimate secara sosial dan fungsional secara institusional.
Pembudayaan hukum di masyarakat tidak bisa terjadi hanya karena banyaknya peraturan, tetapi dari kemampuan regulasi untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat. Di sinilah letak pentingnya evaluasi ex-post sebagai penghubung antara norma hukum dengan realitas sosial yang terus berkembang.
Kita tidak membutuhkan hukum yang hebat di atas kertas, tetapi hukum yang hidup di tengah masyarakat. Modernisasi hukum Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas regulasi, termasuk melalui digitalisasi sistem evaluasi hukum, penguatan kapasitas legislator, dan pendidikan hukum berbasis data empiris.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap hukum, evaluasi ex-post adalah harapan terakhir untuk memulihkan martabat hukum sebagai instrumen keadilan, bukan sekadar alat kekuasaan. Indonesia membutuhkan regulasi yang adaptif, responsif, dan manusiawi, karena hanya dengan itu hukum akan benar-benar menjadi budaya, bukan beban.
ADVERTISEMENT