Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pelambatan Regulasi Perampasan Aset dan Penyamaran Dana Ilegal
8 Mei 2025 12:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus kasus mega korupsi yang mencoreng wajah Indonesia, publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, belum ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset. Padahal secara kasatmata, negara tengah “berdarah-darah” oleh praktik korupsi yang bukan hanya masif, tapi juga sangat sistemik.
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya saat Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, justru telah menyampaikan dukungan kuat terhadap RUU Perampasan Aset. Ini menandakan adanya sinyal politik dari pucuk eksekutif bahwa penguatan regulasi sangat dibutuhkan untuk menindak tegas koruptor dan menyelamatkan kekayaan negara. Namun, sinyal tersebut tampaknya belum menjadi kesepahaman penuh di jajaran kementerian terkait.
Perlu ditegaskan, kerugian negara akibat praktik korupsi sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina yang disebut-sebut merugikan negara hingga Rp193,7 triliun pada 2023 hanyalah salah satu dari gunung es. Jika pola ini dibiarkan, estimasi total kerugian negara 2018–2023 mencapai hampir Rp1 kuadriliun, angka yang tidak hanya mencengangkan, tetapi juga membahayakan stabilitas fiskal negara.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif Anti-Money Laundering (AML), uang hasil korupsi tidak mengendap begitu saja. Ia mengalir, menguap, dan bertransformasi menjadi aset legal melalui mekanisme pencucian uang yang canggih menggunakan perusahaan cangkang, rekening lintas negara, hingga instrumen investasi derivatif. Tanpa perangkat hukum perampasan aset non-konvensional, negara seperti mengejar bayangan yang tak pernah bisa ditangkap.
Teori “kleptokrasi modern” menjelaskan bahwa negara gagal memberantas korupsi bukan karena kekurangan regulasi, tetapi karena sistem hukum tak cukup gesit menjawab dinamika ekonomi kriminal. RUU Perampasan Aset sesungguhnya adalah jawaban atas kelemahan struktural ini, menggeser beban pembuktian kepada tersangka dan memungkinkan penyitaan harta meskipun belum ada putusan pidana inkracht.
Sayangnya, narasi dari pemerintah bahwa perampasan aset sudah cukup diatur dalam UU Tipikor, KUHAP, dan peraturan di Kejaksaan, Polri, serta KPK, tidak sepenuhnya tepat. Alat hukum yang ada bersifat criminal forfeiture sehingga butuh pembuktian pidana terlebih dahulu. Padahal, dalam banyak kasus, pelaku telah melarikan diri atau meninggal dunia sebelum proses hukum tuntas.
ADVERTISEMENT
Konsep non-conviction based asset forfeiture yang hendak dibawa oleh RUU Perampasan Aset bukan barang baru. Negara seperti Inggris, Swiss, dan bahkan beberapa negara Afrika telah mengadopsinya sebagai bagian dari prinsip global follow the money. Prinsip ini mengutamakan penyelamatan aset negara, bukan sekadar menghukum pelaku.
Penundaan pembahasan RUU ini dengan dalih menunggu rampungnya revisi RUU KUHAP di akhir 2025 menunjukkan bahwa pembaruan hukum Indonesia masih terperangkap dalam urusan prosedural, bukan urgensi substantif. Padahal, di negara dengan indeks persepsi korupsi yang masih rendah, seperti Indonesia, langkah tegas dan cepat justru menjadi prasyarat reformasi sistem hukum.
Dari sudut pandang teori ekonomi institusional, lambannya regulasi perampasan aset menciptakan moral hazard di antara elite. Ketika hukum kehilangan taji untuk merebut kembali aset korupsi, para pelaku kriminal ekonomi merasa aman untuk menyembunyikan hasil kejahatannya di bawah bayang-bayang sistem peradilan yang lamban dan kompromistis.
ADVERTISEMENT
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah sejak 2008 menggagas urgensi undang-undang ini. Namun, setelah hampir dua dekade, gagasan tersebut seperti bola liar yang terus menggelinding tanpa arah. Meski kini RUU ini masuk Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029 di urutan ke-5 dari 40 prioritas, pertanyaannya apakah akan benar-benar dibahas atau kembali menjadi retorika legal semata?
Tanpa perangkat hukum yang adaptif, aset negara akan terus raib dan menjadi bagian dari shadow economy. Tak heran bila publik geram melihat daftar kasus korupsi raksasa, sebagaimana PT Timah (Rp300 triliun), PT Asabri (Rp22,7 triliun), Jiwasraya (Rp16,8 triliun), hingga ekspor sawit ilegal (Rp12 triliun)—tapi pemulihan aset berjalan sangat minim.
Indonesia seharusnya belajar dari Filipina dalam kasus penyitaan aset keluarga Marcos atau dari Swiss dalam penyitaan rekening hasil korupsi dari negara dunia ketiga. Di negara-negara ini, proses perampasan aset dilakukan secara progresif dengan standar pembuktian sipil, bukan pidana, demi mempercepat pemulihan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
RUU Perampasan Aset bukan hanya soal regulasi. Ia adalah simbol pertarungan antara negara melawan para oligark dan mafia ekonomi. Menunda pembahasannya sama artinya dengan membiarkan uang hasil korupsi tumbuh subur di luar jangkauan hukum, menjadi kapital untuk kejahatan baru, bahkan mendanai politik uang.
Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi, maka kegentingan itu harus ditafsirkan bukan sekadar oleh ancaman militer atau bencana, tapi oleh kerusakan institusional akibat korupsi sistemik. Perpu Perampasan Aset adalah jawaban konstitusional untuk situasi luar biasa ini. Dan sekaranglah waktunya bertindak, bukan menunggu hingga negara benar-benar lumpuh oleh ulah para pencuri berdasi.