Presidential Threshold dan Musim Kawin 'Paksa' Partai Politik

Muhammad Naufal
Jurnalis CNN
Konten dari Pengguna
3 September 2022 11:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Naufal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Kumparan.com

Genderang perang pada pemilu 2024 secara resmi telah ditabuh, tak ayal, dalam masa persiapannya menghadapi pertarungan tersebut, partai-partai politik saat ini tengah memasuki musim kawin yang terkesan dipaksakan.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Corak partai politik yang seakan terpaksa berkoalisi dengan partai lain ini tentu saja tidak terlepas dari norma Presidential Threshold yang termaktub pada pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu yang mewajibkan calon presiden dan wakil presiden di pemilu untuk mengantongi minimal 20 persen kursi di parlemen yang didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya. Apabila ditelisik lebih dalam, norma ini juga turut memaksa partai politik untuk melakukan "kawin paksa" dengan partai politik lainnya demi mengejar persyaratan 20 persen tersebut.
ADVERTISEMENT
Alhasil, koalisi partai politik yang terbentuk pun, bersifat sangat lintas ideologis dan sayangnya, pemandangan ini semakin dianggap sebagai suatu hal yang lazim terjadi di Indonesia kian harinya. Lebih dalam, jika kita berkaca dari corak-corak koalisi yang sudah mulai tergambar secara cukup jelas kian harinya, komposisi tersebut bersifat sangatlah lintass ideologis.
Bayangkan saja, PKB dibawah naungan Cak Imin yang identik dengan partainya para Nahdliyin dapat berkoalisi dengan Gerindra yang bisa dikatakan secara ideologis merupakan partai nasionalis. Selanjutnya, Golkar yang justru dapat dengan santainya menggandeng partai islam, PPP, dan partai basis islam, PAN.
Tercederainya Sistem Presidensial
Apabila diteropong melalui sudut pandang ketatanegaraan, khususnya dalam sistem presidensial sebagaimana yang dianut di Indonesia, maka garis demarkasi yang terbentuk antara Presiden dengan parlemen selaku lembaga legislatif sangat tegas. Keduanya sama-sama mendapatkan mandatnya secara langsung dari rakyat melalui pemilu.
ADVERTISEMENT
Artinya, pencalonan presiden yang mensyaratkan dukungan minimal 20 persen kursi di parlemen disini telah betul-betul mencederai ciri khas dari sistem presidensial itu sendiri. Meminjam bahasa Cindy Skach (2017) yang menyebutnya dengan istilah mutual independence.
Oleh karenanya, disaat kedua rumpun kekuasaan ini sebetulnya telah mendapatkan mandatnya secara langsung dari rakyat melalui pemilu, sebetulnya istilah koalisi itu tidak dikenal lagi di dalam sistem presidensial. Sayangnya, lain teori, lain praktek, perkawinan antara sistem presidensial dengan sistem multipartai di Indonesia, seakan semakin menihilkan kemungkinan bagi partai politik untuk bertarung tanpa berkoalisi dengan partai lain dalam setiap gelaran pemilu.
Rapuhnya Koalisi
Menakar sifat koalisi di Presidensial, maka akan sangatlah berbeda dengan koalisi di parlementer, koalisi dalam sistem presidensial bersifat lebih rapuh. Tidak dapat dipungkiri, koalisi ini memang seakan-akan dibangun hanya untuk sekedar memenangkan pemilu, tidak lebih, dan tidak kurang.
ADVERTISEMENT
Apabila berbicara pasca pemilu, maka itu masalah nanti. Hal ini berbeda dengan koalisi di dalam sistem parlementer yang kecenderungannya memang bersifat lebih kokoh. Dalam sistem parlementer, dimana telah tercipta suatu kondisi yang dimana, koalisi telah berhasil membentuk pemerintahan dan akhirnya pemerintahan tersebut dijatuhkan, maka koalisi tersebut harus bersedia saling bahu-membahu dan dengan berat hati melihat partai atau koalisi partai politik lainnya menggantikan kursinya di pemerintahan.
Dalam konteks ini, dapatlah kita meminjam pandangan Scott Mainwaring (1991) yang sekali lagi menekankan, koalisi di sistem presidensial memanglah rapuh, dan jika kita menengok kembali realitas politik di Indonesia setidaknya dalam tiga pemilu terakhir, maka tingkat fluiditas partai politik pun dapat dikatakan sangatlah tinggi. 
ADVERTISEMENT
Misal, partai Golkar pada awal tahun 2014 lalu memilih untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta yang pada pertengahan jalannya, partai berlambang pohon beringin ini membelot menjadi partai pendukung pemerintah Jokowi-JK. Kemudian, corak koalisi yang bersifat sangatlah cair secara ideologis, contohnya PKB yang pada tahun 2019 mengambil posisi berseberangan dengan Gerindra, sementara pada pemilu 2024 mendatang, mereka lebih memilih untuk bertarung bersama-sama dengan Gerindra.Berkaca dari fenomena tersebut, setidaknya kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, koalisi bersifat sangatlah pragmatis dan tidak kokoh, terhitung, jika kita berkaca dari bentuk koalisi partai politik tahun 2019 lalu saja, setidaknya hanya tersisa 1 partai yakni, PKS yang secara konsisten memilih jalan sebagai oposisi. Kedua, pragmatisme koalisi ini sekaligus juga menjadikan koalisi ini bersifat sangatlah non ideologis.
ADVERTISEMENT
Maka, tidak berlebihan untuk menyematkan koalisi partai politik di Indonesia dengan meminjam istilah Cindy Skach yang disebutnya dengan policy blind coalition atau suatu koalisi yang secara nyata mengenyampingkan nilai-nilai ideologis dan hanya mementingkan perolehan kursi semata.