150 Hari di kumparan

Nadira Adisti
a human with an occasionally functioning brain
Konten dari Pengguna
1 Januari 2020 18:15 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadira Adisti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolaborasi.
zoom-in-whitePerbesar
Kolaborasi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Entah harus memulai tulisan ini dari mana. Kalo kata Oasis di lagunya yang 'Wonderwall', sih, there are many things that I would like to say to you, but I don't know how.
ADVERTISEMENT
Dan, memang banyak, banyak sekali.
Mungkin bisa aku mulai dengan kepasrahan dan kebingunganku di pertengahan 2019, saat aku sedang dikelilingi rentetan tugas akhir semester dan dorongan dari kampus untuk cepat-cepat mencari tempat magang.
Saking bingungnya, aku sampai tidak ingat sudah menyebar CV ke mana saja saat itu. Perusahaan mana pun yang mencari anak magang translator, content writer, atau apa pun yang berhubungan dengan tulis-menulis, pasti aku langsung tekan tombol apply. Entah aku pernah mendengar nama perusahaan itu atau tidak.
Selama beberapa minggu, tidak ada satupun yang menelepon atau membalas emailku. Entah mereka memang tidak tertarik, sudah dapat anak magang yang lain, atau mungkin memang tidak baca.
Sampai akhirnya, salah satu HR (Human Resource) di kumparan menghubungiku dan menawarkan interview. Aku yang saat itu sedang berdiam diri di kasur langsung bangun dan semangat mencari-cari info lebih dalam tentang kumparan.
ADVERTISEMENT
Tapi, ada satu masalah. Saking pasrahnya dan aku apply di banyak tempat, aku enggak ingat aku apply di kumparan sebagai apa...
Aku pun membuka history browser-ku dan mengetik kumparan di keyword-nya. Dan yang aku temukan adalah aku apply sebagai reporter.
"Hah? Tau apa aku tentang jadi reporter dan berita?" Batinku saat itu.
If doubts and insecurities were human, they would be hugging me at that time. Hanya ada dua perasaan itu yang muncul di kepala dan hatiku. Aku pasti akan kewalahan di sana. Tapi, apa salahnya mencoba? Toh, kalau aku diterima, pasti akan jadi pengalaman yang baru dan seru juga untuk aku ceritakan di lain waktu.
Aku pun dihubungi oleh Kepala Redaksi Kolaborasi kumparan, Mas Gaga. Kami ngobrol pertama kali via video call. Katanya waktu itu, supaya aku tidak harus jauh-jauh ke kantor untuk interview yang belum pasti diterima atau tidak.
ADVERTISEMENT
Saat aku pertama ngobrol dengannya, rasanya deg-degan banget. Orangnya terlihat dingin, pelit senyum, dan straightforward. Sampai akhir video call itu pun, aku enggak tahu kira-kira aku akan diterima di sana atau enggak. Wajah dan ekspresi Mas Gaga ini datar sekaliiiii, aku tidak bisa menebak sebenarnya obrolan kami dari tadi itu cukup menarik atau enggak untuk dia meng-hire aku.
Setelah video call itu berakhir. Aku merenung kembali. Kalo gak dapet tempat magang, ngapain, ya, semester ini. Hanya itu yang ada di otakku. Sedih, ya??
Tapi ternyata beberapa hari kemudian aku dihubungi lagi oleh Mas Gaga untuk datang ke kantor--Kantor kumparan yang terletak di Jalan Amil. Dan ternyata, sesampainya aku di sana, Mas Gaga menjabat tanganku dan memberi tahu kalau aku diterima. Alhamdulillah.
ADVERTISEMENT
Aku ingat sekali, di hari itu aku dibawa Mas Gaga melihat sekilas ruang kerja Tim Kolaborasi--tim yang akan menaungiku selama aku menjadi anak magang dan dia bilang begini: "Di sini enggak terlalu ramai, enggak kayak di Jamur (Kantor kumparan yang lain), yang boleh teriak-teriak di sini aku doang soalnya."
Aku tertawa tipis sekaligus takut. Di situ, aku mengira Mas Gaga ini sangat galak. Tapi, ternyata enggak, kok. Ternyata Mas Gaga sangat suka melawak, cocok ikut stand-up comedy.
Di hari pertama aku magang di kumparan, aku dijemput seorang perempuan dari ruang tunggu ke ruang kerja. Namanya adalah Kak Tiara, yang ternyata punya nama lain yang banyak; Yara/Yayo/Tiayo (yang ini aku yang menciptakan). Setelah masuk ke dalam, aku bertemu Kak Anggita. Kak Anggita ini yang mengajarkan tentang bagaimana sistem kerja di tim ini, cara membuka ini-itu, menjelaskan apa saja yang harus aku kerjakan, dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Hari-hari pertama aku di kumparan sebenarnya aku kagok banget. Baca berita saja jarang, ini tiba-tiba bekerja di "balik layar" berita. Tapi, kakak-kakak di sana sabar-sabar, aku nanya macam-macam dari yang penting sampai enggak penting pasti mereka jawab.
"Kak, tulisan ini dimiringin, enggak?"
"Kak, ini digabung apa enggak?"
"Kak, ini tulisannya kapital enggak?"
"Kak, ini yang benar apa, sih?"
"Kak, ini kalo error diapain?"
Hmm, kalau aku menguraikan semua pertanyaan bodohku selama 5 bulan di sana, sepertinya tulisan ini tidak akan selesai.
Lebih baik aku menceritakan orang-orang unik dan pegalaman yang aku temukan di sana. I'm so grateful that I could meet them and become friends with them.
Mengenal mereka sepertinya menjadi salah satu hal yang paling aku syukuri di tahun ini (eh, tahun kemarin maksudnya. Kagok, nih, masih tanggal 1 Januari).
ADVERTISEMENT
Di sana, seperti yang sudah aku sebutkan tadi, aku bertemu Mas Gaga, yang hanya terlihat sangar pada awalnya. Padahal mah...gitu, deh. Susah dijelaskan. Coba saja kalian lihat lewat tulisannya yang ini. Kalau ingat Mas Gaga, yang terlintas di kepalaku pasti kegigihannya ingin diet tapi selalu gagal. Sudahlah, mas, sesekali menyerah itu tidak apa-apa.
Mas Gaga
Selain Mas Gaga, ada Mbak Dhini. Wanita cantiiiiik pemimpin Tim Kolaborasi yang enggak terlihat seperti seorang ibu anak satu, masih kelihatan kayak anak kuliahan, deh, pokoknya. Nih, kalau enggak percaya, kalian lihat saja di foto ini.
Mba Dhini
Beliau ini pintar dan kritis. Lucunya, Mbak Dhini suka ngambek dikit kalau kami lupa ajak dia beli kopi. Orangnya coffee person banget, deh.
ADVERTISEMENT
Nah, selanjutnya, nih, ada member kolaborasi yang unik-unik.
Yang pertama, ada Kak Anggita. Kakak yang ini kayaknya tahu banget semua tempat makan yang enak di Jakarta dan sekitarnya. Dan, yang paling aku suka adalah, Kak Anggita sering bawa roti bakar untuk kita makan ramai-ramai di pagi hari. Juga, ditanya tentang apa aja, kayaknya Kak Anggita ini tahu. Pengetahuannya tentang perintilan di Jakarta luas banget, deh.
Kak Anggita
Lalu, ada juga dua teman semeja Kak Anggita, Kak Audrey dan Kak Denia. Dua kakak ini kompak banget, kepribadiannya mirip. Kalau ada sesuatu yang lucu, pasti dua kakak ini yang tertawa paling kencang. Bisa hampir sekencang suara tawanya Mas Gaga. Hal-hal yang suka keluar dari mulut dua kakak ini pasti unik-unik. Nah, terakhir aku bertemu Kak Denia, rambutnya sudah berubah menjadi warna merah muda yang ngejreng. Mirip sama rambut Tante Rambut Palsu di 'Carita de Angel'. Kalau Kak Audrey, dia ini adalah partnerku tertawa kalau dengar insiden "sayur" Kak Emong (nanti ada ceritanya, kok, di bawah).
Kak Denia
Kak Audrey
Lalu, ada Kak Cia. Sejujurnya, aku enggak pernah tahu pekerjaan Kak Cia ini apa... Tapi, terlihat sangat penting, karena sering dicari dan selalu membawa tumpukan kertas. Kak Cia ini orangnya menggemaskan sekali. Katanya, kalau pesan makan, masih pesan makanan yang kids meal. Suara nyaring Kak Cia ini iconic banget dan kalau ngomong kadang jedanya sedikit. Apalagi kalau sudah berdebat dengan Mas Gaga. Selesainya bisa lama banget.
ADVERTISEMENT
Ada Kak Ela, si "tangan cepat" yang berdomisili di Ciba-deer (as known as Cibarusah). Jari-jarinya itu cepat banget kalau ambil berita buat diedit. Baru muncul, tiba-tiba sudah dia publish. Mungkin sebelum masuk kumparan, Kak Ela pernah bekerja sebagai pesulap. Makanya, tangan beserta jari-jarinya bisa sangat lincah dan cepat.
Kak Ela
Nah, ada juga Kak Emong. Nama aslinya Elma. Aduh, susah, deh, kalo harus mendeskripsikan Kak Emong. Orangnya terlalu unik. Aku enggak yakin bisa ketemu orang yang seperti dia lagi. Kak Emong ini fans nomor satu hal-hal yang berbau Korea. Hobinya nyanyi-nyanyi lagu Korea sambil ngedit berita, juga nonton drama Korea. Yang paling unik dari Kak Emong adalah dia pernah protes karena pesan salad sayur dan yang datang sayur semua. Bingung, enggak? Dia mengira isinya enggak akan sayur semua. Lha, namanya aja salad sayur, kak... Tapi, enggak apa-apa, biarkan itu jadi kisah Kak Emong yang tak akan terlupakan.
ADVERTISEMENT
Kak Emong
Lalu, ada Kak Selli. Kakak yang sudah pindah--tidak di kolaborasi lagi. Sudah pindah ke divisi di mana para ilmuwan berkumpul, alias kumparanSAINS. Seperti Mbak Dhini, Kak Selli ini juga enggak bisa lepas dengan kopi kayaknya. Entah di siang, sore, atau kapan pun, pasti keluar kata-kata, "Ada yang mau ikut beli kopi, enggak?" Sepertinya menurut Kak Selli, kafein dan oksigen sama pentingnya.
Ada juga kakak yang namanya enggak jauh berbeda dari namaku. Namanya Kak Adel. Nama depannya adalah Nadila--aku Nadira. Mirip seperti Kak Ela, tangan Kak Adel juga luar biasa cepat. Pernah suatu hari, aku salah naik ojol karena aku enggak ngeh kalau sebenarnya mas ojol nya itu bilang "Nadila" soalnya saat itu hari sudah gelap dan berisik, aku hanya lihat bentuk mulut mas ojol-nya berlekuk seperti A-I-A. Karena huruf vokal nama kami sama, jadinya aku iyaiya saja. Sampai akhirnya aku sadar, aku hampir dibawa ke tempat yang bukan aku tuju. Hehehe. Malu dikit. Tapi, ya sudahlah. Sudah lewat.
ADVERTISEMENT
Ada juga Kak Marissa yang sekarang punya baby. Saat aku baru pertama masuk kumparan, katanya pas banget Kak Marissa baru cuti melahirkan. Jadi di beberapa bulan pertama aku mulai magang, aku belum sempat bertemu dengannya. Tapi, saat aku bertemu Kak Marissa ternyata enggak canggung. Orangnya manis banget, halus, kelihatan banget sosok keibuannya. Kalau ketawa juga pelan dan anggun, enggak kayak Tim Kolaborasi yang lainnya, hehehe.
Ada juga dua pendatang baru di tim ini yang menyegarkan. Mas Akbar dan Kak Okke.
Mas Akbar ini kaleeeeem banget awalnya. Jarang banget ngomong. Paling buka mulut kalau mau makan. Tapi, akhirnya, sih, dia sudah enggak jadi pendiam. Karena sekarang kerjaannya berantem dan cari ribut terus sama Kak Emong. Kalo komentarin orang pedes banget kayak akun gosip di instaram. Baru kenal sekitar dua bulan sama Mas Akbar, tapi kalo ngobrol sama dia rasanya sudah kayak kenal dua tahun. Santai banget orangnya.
ADVERTISEMENT
Ada juga Kak Okke. Nah, kalau kakak yang ini rambutnya mirip seperti stabilo biru. Ngejreng. Anak nge-gigs banget. Keren, sekeren rambutnya. Kalau ngomongin musik, aku cukup nyambung sama Kak Okke. Selera musik kami beda-beda tipis. Orangnya susah makan. Katanya enggak doyan makan. Enak banget jadi dia, deh, pokoknya dietnya jadi gampang. Jarang-jarang ada orang yang enggak doyan makan seperti dia.
Selanjutnya ada Mas Katon. Kakak yang ini menurutku yang paling pintar! Cara Mas Katon menulis dan merangkai kata itu woow sekali. Tulisan-tulisannya keren. Ada tulisan buatan dia tentang perempuan yang dia suka, malah jadi aku yang baper. Kalau enggak percaya, coba aja baca. Dan yang paling aku kagumi, dia bisa menulis artikel tentang sepak bola jadi setara menariknya dengan tulisan gosip (ini cuma berlaku untuk aku, sih.) Kita juga nyambung banget kalau diskusi tentang buku dan penulis. Especially, Murakami's works.
ADVERTISEMENT
Mas Katon
Di tim ini memang jarang ada sosok cowok. Selain Mas Akbar dan Mas Katon, dulu ada yang namanya Mas Bagas dan Mas Owi. Tidak banyak yang bisa aku ingat tentang dua mas-mas itu. Mereka sudah pergi ke divisi lain. Yang paling mencolok tentang Mas Bagas dulu adalah ketertarikannya dengan pesawat dan keributannya dengan Kak Emong. Enggak tahu juga kenapa dari dulu Kak Emong yang paling sering diajak ribut... Kalau Mas Owi, hmm, cendol dan dawet adalah dua kata yang paling pas untuk mengenang dia.
Nah, selain aku, ada juga kakak yang harus meninggalkan kumparan kemarin (31/12). Namanya adalah Kak Lolita. Kak Lolita ini akan pulang kembali ke Oslo (maksudnya Solo, Jawa Tengah, hehehe). Kakak yang ini suka melawak secara tidak sengaja kayaknya. Kalau ngomong itu ceplas-ceplos yang akhirnya jadi lucu tanpa dia sadari. Seperti saat Kak Lolita publish tulisan ini. Mungkin niat Kak Lolita hanya mencurahkan isi hatinya, tapi saat itu, kami semua yang ada di kantor tertawa terbahak-bahak karena isinya yang sangat menggelitik.
ADVERTISEMENT
Kak Lolita
Last but not least, ada Kak Tiara atau Tiayo. Seperti yang aku ceritakan di awal tadi, kakak inilah yang pertama menemuiku saat hari pertama aku magang. Dan, dia juga member kolaborasi yang aku ucapkan "selamat tinggal" paling terakhir pada hari terakhir aku magang, di dalam mobilnya. Jujur, rasanya berat sekali saat harus berpisah dengannya. Practically, dia memang seperti kakak asliku (namanya sama persis dengan kakak kandungku dan sifatnya pun beda-beda tipis). Dia yang sering mengingatkan aku makan, salat, bahkan ke toilet. Beberapa kali kalau cuaca tidak kondusif untuk aku pulang atau sudah terlalu malam, dia pasti mengantarkan aku ke indekosku. Bahkan, dia pernah menginap di sana, hahaha. Kalau Kak Tiayo ini enggak ada, mungkin aku bisa jadi kelabakan.
Kak Tiara
---
ADVERTISEMENT
Masih banyak rasanya yang ingin aku ceritakan di sini. Hal-hal aneh, menyenangkan, dan seru lainnya. Tapi rasanya sulit. Takut malah jadi sedih, hehe.
Jadi, sebagai penutup, aku mau mengucapkan terima kasih saja ke kakak-kakak ini. Kakak-kakak yang sudah banyak sekali mengajariku dari hari pertama aku magang sampai kemarin aku selesai.
Terima kasih sudah mengingatkan aku cara menulis yang baik, ya, dan untuk Mas Gaga, terima kasih sudah berulang kali mengingatkan aku untuk membedakan penggunaan kita dan kami. Ini crucial, lho.
Bonus: Artikel lain yang tersembunyi di dalam tulisan ini, berjudul 'Foto: Nadira dan Tim Kolaborasi di Tahun 2019'