Hati yang Murah Pangkal Bahagia, Hati yang Ringan Pangkal Keadilan pada Sesama

Najelaa Shihab
Pendidikan adalah belajar, bergerak, bermakna. Pendidik adalah kita, Semua Murid Semua Guru
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2022 7:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najelaa Shihab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hati yang hangat Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hati yang hangat Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Banyak yang bilang, saya terlalu mudah percaya. Respons yang selalu saya berikan adalah: Terima kasih atas pujiannya. Untuk saya, kebiasaan berpikir sepositif-positifnya tentang orang atau peristiwa adalah anugerah yang membebaskan diri dari rasa sempit dan terjebak yang seringkali dialami saat kita punya begitu banyak praduga.
ADVERTISEMENT
Percaya bukan berarti mengharapkan hari yang sepenuhnya berisi 100% tawa, namun sebaliknya. Percaya seringkali berarti memberi ruang untuk menerima salah. Percaya ternyata butuh hati yang pemurah, antara lain: Yang merasa bahwa memberi maaf atau berbagai tanda sayang lainnya, justru membuat kita semakin kaya.
Hati yang murah, punya ciri lainnya: Ringan dirasa. Keringanan ini membawa keyakinan, bahwa membuka pintu kesempatan, bahkan kadang kala membopong pihak yang membutuhkan, adalah bagian dari keadilan yang bisa diperjuangkan oleh semua orang dengan atau tanpa kekuasaan.
Katanya, memang ada dua tipe orang di dunia, termasuk dalam hubungan asmara, tipe pemberi dan penerima. Ada nasihat juga, bahwa lebih baik dicintai daripada mencintai teman hidup kita. Untuk saya, ini sekadar teori yang tak terbukti di dunia nyata karena dinamika hubungan selalu berubah serta dipengaruhi oleh begitu banyak faktor di luar manusia yang terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Tingkah laku kita bukan hanya dipengaruhi oleh pilihan hati semata, tapi juga pengalaman masa lalu dan kecenderungan emosi di situasi tertentu. Hubungan terbaik selalu tentang dua pasangan, atau lebih dari dua, bersama anak dan keluarga besar yang semua dengan sukarela menjadi pemberi yang saling melampaui ekspektasi.
Rumus ini bisa digeneralisasi di konteks sosial yang lebih luas, berpartisipasi di berbagai kegiatan kemasyarakatan, beropini dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan butuh kemurahan dan keringanan hati untuk turun tangan, lagi-lagi dari semua orang.
Percayakah Anda, bahwa kebiasaan peduli dan berkeinginan untuk berkontribusi juga indikator utama dari kebahagiaan keluarga, yang kemudian “menular” dan menjadi kebermanfaatan bagi warga lainnya?
Memelihara hati yang pemurah, bukan hanya berguna untuk menguatkan interaksi dengan orang yang setiap hari bersama. Salah satu fenomena yang bisa kita observasi bersama, adalah reaksi berbeda dari banyak orang saat mengalami kemewahan dan mencoba menghayati pengalaman orang lain di kondisi terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan anak yang hidup dengan berlimpah harta, atau dukungan orang tua dalam berbagai bentuknya, namun tumbuh tidak dengan sense of entitlement yang menghasilkan ketinggian hati. Yang disadari adalah: Kontribusi diri pada kesuksesan yang dicapai sangat kecil dibanding apa yang menjadi bekal secara kebetulan karena terlahir di lokasi ini. Capaian yang menuai pujian, sesungguhnya hanyalah kewajaran yang jauh lebih mudah didapatkan dibanding semua sebaya lainnya yang melalui kerasnya perjuangan.
Ya, saya sedang berbicara tentang individu yang merasa 'malu' dengan 'kelebihan' yang dimiliki, alih-alih menjadi seseorang dengan semangat berlebihan untuk berkompetisi sebagaimana yang sering kita amati.
Mudah untuk mendapatkan kesenangan dari persaingan, menempatkan meritokrasi sebagai dewa secara berlebihan pada saat kita jadi bagian dari kelompok pemenang.
ADVERTISEMENT
Yang langka, dan amat sangat berharga: Individu yang sudah sampai duluan ke 'garis finis' persaingan, dan kemudian mengambil peran di masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Bukan hanya melihatnya sebagai bukti kesetiakawanan, tetapi sebagai keharusan mengangkat sesama yang kesuksesannya tidak otomatis disuapkan, yang langkah start-nya tertinggal di belakang.
Kolaborasi dan afirmasi, memang bukan hanya dilakukan dengan berempati di dalam hati, tetapi dengan perjuangan melawan miskonsepsi dan melakukan aksi. Hal ini mustahil terjadi apabila kepala dan dada dipenuhi rasa kurang dan khawatir semata. Seakan tak cukup ruang di dunia agar semua bisa maju bersama.
Ada doanya, memohon kemurahan dan keringanan hati pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Intinya, yang penting kita ingat bersama, hati sejatinya tak terkurung di dalam diri, tapi lentera yang sinarnya menjadi nyala perjalanan semua.
ADVERTISEMENT