Pegunungan Kendeng Napas Hidup Suku Samin

Nindi Widya Wati
Mahasiswi jurnalistik dari Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Juli 2021 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nindi Widya Wati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lahan pertanian sebagai sumber pangan. Foto : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lahan pertanian sebagai sumber pangan. Foto : Pixabay
ADVERTISEMENT
Ketika peradaban silih berganti, zaman kian maju karena berkembangnya alat dan teknologi. Mari melihat pada garis-garis perbatasan wilayah Indonesia, masih memiliki suku yang bertahan dengan nilai tradisi, dan kearifan lokal untuk tetap hidup berdampingan baik dengan alam. Kelompok masyarakat yang tak begitu saja tergerus oleh melesatnya modernisasi di era globalisasi.
ADVERTISEMENT
Mengenal Suku Samin (biasa disebut Orang Samin) sebagai salah satu dari sekian banyak masyarakat adat di Nusantara yang tetap menjaga etika, dan nilai teguh ajaran nenek moyang tanpa alih-alih tergiur dengan gemerlapnya dunia luar. Suku Samin yang secara geografis terletak di pegunungan Kendeng, wilayah perbatasan antara Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur. Suku Samin dikenal sebagai orang-orang yang lugu, senantiasa bersikap jujur, serta rendah hati. Namun, mereka sangat kritis jika membahas perihal kepedulian untuk melestarikan alam.
Awalnya pada 1890, orang Samin merupakan para pengikut dari Raden Kohar, atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Samin Surosentiko. Seorang pemimpin yang mengajarkan perihal 'Sedulur Sikep'. Suatu ajaran agar para pengikutnya saling menjaga alam dan kelestarian lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan, supaya wilayah orang Samin tak tersentuh oleh tangan-tangan usil ataupun tingkah buruk orang luar.
ADVERTISEMENT
Orang Samin memang lebih suka tertutup, maka tak heran jika wilayah pegunungan Kendeng yang memiliki kekayaan alam (bentang alam karst) membuat mereka betah untuk tinggal. Bahkan karena hal tersebut, perihal kabar kemerdekaan Indonesia saja baru diketahui orang Samin sekitar tahun '70-an. Mereka beranggapan dengan mengisolasi diri, sebagai upaya agar nilai adat dan tradisi orang Samin dapat terjaga keberadaannya.
Tradisi yang kerap dilakukan orang Samin, salah satunya adalah dengan upacara nyadran' (bersih desa). Hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk menjalankan tradisi leluhur. Namun, dengan gotong-royong 'nyadran' maka kebersihan desa senantiasa terjaga, serta kebersamaan antara orang-orang Samin diharapkan makin terjalin erat.
Pengikut ajaran Samin atau dikenal juga dengan istilah 'Saminisme' memiliki pokok ajaran. Diantaranya, orang Samin mempunyai paham untuk tidak membeda-bedakan agama. Oleh karena itu, orang Samin lebih mementingkan bagaimana seseorang hidup berdasarkan tabiat baiknya terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar. Orang Samin percaya, bahwa manusia yang berhasil diciptakan oleh Tuhan, telah menjadi salah satu makhluk yang hidup abadi dalam rencana pencipta-Nya sampai nanti kembali ke alam baka. Oleh sebab itu menurut mereka, manusia ketika hidup harus memahami betul makna dari setiap kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Orang Samin memiliki pandangan yang positif terhadap lingkungan. Wujud dari hal tersebut adalah dengan memanfaatkan alam tanpa berkeinginan mengeksploitasi. Seperti saat mengambil kayu untuk keperluan dapur, orang Samin menebang kayu hanya secukupnya saja. Hal tersebut, sesuai dengan pola pikir orang Samin yang sederhana, tidak berlebihan, dan apa adanya.
Lalu, bagi orang Samin tanah ibarat ibu yang memberikan sumber kehidupan. Oleh karenanya mereka akan merawat dengan sepenuh hati. Seperti pada pengelolaan lahan pertanian, orang Samin hanya menanam dua kali saja, yakni pada musim hujan dan kemarau. Berbeda halnya petani daerah lain, yang bahkan sampai empat kali menanam dalam setahun. Masyarakat Samin menyadari, bahwa isi kekayaan alam akan bermanfaat dengan baik, ketika manusia tidak hanya memakai akan tetapi disertai juga dengan rasa kepedulian.
ADVERTISEMENT
Bahkan, rasa peduli orang Samin terhadap alam juga tercermin saat mereka harus melawan perusahaan semen yang melirik karst (bahan baku semen) di wilayah pegunungan Kendeng pada 2017. Tergambar jelas perjuangan orang Samin ketika menolak penuh segala upaya pendirian pabrik semen di kawasan tempat mereka tinggal. Tentu saja, melihat hal tersebut orang Samin tak ingin alam Kendeng yang senantiasa dilindungi, harus dirusak begitu saja oleh segelintir orang yang hanya mementingkan keperluan komersial.
Bagi orang Samin, kekayaan pegunungan Kendeng yang terbentang luas bukan sekadar tempat untuk mereka menggantungkan hidup. Namun, dengan merawat alam Kendeng telah menjadi perantara untuk mereka dapat menghargai nikmat hidup dari pencipta-Nya. Sejatinya, kekayaan alam tersedia bukan untuk dieksploitasi secara membabi buta oleh jemari tamak manusia.
ADVERTISEMENT
Nindi Widya Wati
Politeknik Negeri Jakarta