Konten dari Pengguna

Sukarno: Istri Banyak Simbol Emansipasi Wanita

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
17 Oktober 2022 6:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Sukarno: Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno: Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Sukarno berkata “Kita tidak dapat menyusun negara dan masyarakat, jika kita tidak mengerti tentang wanita”. Perkataan itu ditulis dalam buku yang berjudul Sarinah. Sukarno dan wanita selalu menjadi tema perbincangan yang tidak kunjung usai dan menarik, baik dalam diskusi publik seperti kampus, auditorium, pojok kafe maupun di lorong-lorong jalan yang sempit.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1927 Sukarno sudah menyuarakan perjuangan wanita. Dalam beberapa catatan, Sukarno masuk kategori pemimpin dunia yang mencetuskan gerakan bagi kebangkitan kaum perempuan. Terkait hal ini Sukarno pernah mencetuskan gagasan trilogi kedudukan perempuan yang diterapkan di dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Pertama, Nationalegeest (semangat kebangsaan), kedua Nationale-wil (kemauan nasional), ketiga Natioale-daad (amal perbuatan nasional).
Untuk mempermudah memaknai trilogi tersebut, mari kita lihat kedudukan kaum perempuan tahun 1900-1950. Sukarno melihat, kedudukan perempuan waktu itu berada di kelas dua, atau mengerjakan urusan domestik seperti memasak, mencuci, merawat anak, bersolek, dan melayani batin suami. Alhasil, Sukarno ingin memberikan jalan bagi perempuan untuk tampil di ranah publik, maka dibentuk trilogi yang kemudian menjadi dasar dalam membuat program kerja bagi perempuan melalui PNI. Misalnya, perempuan diberi peluang dan posisi dalam organisasi PNI.
ADVERTISEMENT
Sukarno dan paham gerakan perempuan
Sejak muda Sukarno sudah memahami paham feminisme yang berkembang di belahan dunia melalui buku, misalnya buku karya Madame de Maintenon dari Prancis, A. H Francke dari Jerman, Mercy Otis Waren dari Amerika Serikat, Madame Rorand, Rose Lacombe dan masih banyak lagi.
Sukarno kemudian merenung dan melihat kondisi perempuan Indonesia. Alhasil, pada tahun 1947 ketika Indonesia sedang melawan agresi militer Belanda, Sukarno menulis buku berjudul “Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia”, ketika itu Sukarno melihat belum banyak perempuan yang turut andil dalam aktivitas publik guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buku ini berfungsi untuk membangkitkan kesadaran perempuan untuk terlibat dalam aktivitas Publik.
Secara garis besar, Sukarno membagi gerakan perempuan menjadi tiga bagian. Pertama, tingkat paling awal adalah perjuangan perempuan untuk menyempurnakan urusan kewanitaan. Pada fase ini perempuan sudah mulai berkumpul namun pembahasan masih seputar mempercantik diri, merawat anak, keluarga, dan suami. Seperti kumpulan ibu-ibu komplek kalau hari ini. Namun hal itu awal yang bagus karena perempuan sudah mulai bergerak untuk berkumpul meskipun baru dilakukan golongan elit.
ADVERTISEMENT
Gerakan perempuan tingkat kedua adalah perkumpulan perempuan yang menuntut hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hak itu di bidang publik, seperti pekerjaan, dan kenaikan upah. Pada tingkat ini gerakan perempuan sudah menyentuh kaum bawah. Tingkatan ketiga adalah gerakan perempuan sosialis. Bagi Sukarno gerakan ini adalah penyempurnaan dari gerakan sebelumnya, perempuan mulai menuntut persamaan hak seperti partisipasi dalam pemilu, hak memperoleh pendidikan, dan terlibat dalam urusan negara.
Pada fase ini, identitas gerakan perempuan Indonesia memiliki corak sendiri yang berbeda dengan gerakan feminisme barat, yaitu hak kodrati perempuan, jika di barat perempuan bisa menolak untuk tidak memiliki anak dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM), di Indonesia perempuan tidak menuntut hak seperti itu karena perempuan Indonesia paham jika kodrat perempuan adalah melahirkan anak demi menjaga keturunan.
ADVERTISEMENT
Peran Sukarno dalam gerakan perempuan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Sukarno mulai terlibat dalam gerakan perempuan jauh sebelum 1947, namun pada tahun 1947 ia memiliki keinginan untuk menyebarkan paham dan gerakan perempuan kepada seluruh perempuan Indonesia melalui buku, dengan harapan mendapat jangkauan yang lebih luas.
Pada tahun 1940-an Sukarno sudah berkeliling Indonesia untuk memberi kursus-kursus kepada perempuan, dalam proses itu, ia kerap mendapat penolakan karena masyarakat menganggap perempuan tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah. Dari sana Sukarno menarik kesimpulan jika persoalan wanita selama ini adalah soal hubungan dengan masyarakat. Jadi yang harus ia rubah adalah pemahaman masyarakat terkait peran wanita.
Segala usaha yang dilakukan tidak sia-sia, pada awal revolusi, kaum perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan lahirnya Laskar Wanita pada tahun 1945. Laskar Wanita ini memiliki peran sebagai juru rawat bagi pejuang yang terluka. Laskar Wanita ini dengan cepat menyebar di berbagai daerah di luar Jawa, seperti Sumatra dan Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Ketika menjadi Presiden Indonesia, Sukarno selalu melibatkan perempuan. Misalnya, mengangkat Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial (1962-1966), Soerastri Karma Trimurti sebagai Menteri Perburuhan (1947-1948), dan Artarti Marzuki Sudirdjo sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (1964-1966). Dari semua itu peran penting Sukarno dalam gerakan perempuan di Indonesia adalah paham kebangkitan kesadaran perempuan berhasil dibawa bukan hanya perjuangan feminisme semata namun diberi pemahaman nasionalisme dan turut andil dalam perjuangan nasionalis.
Sukarno dan poligami yang sering disalahpahami
Sukarno merupakan presiden Indonesia yang memiliki sembilan istri, yaitu Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Saliku Maesaroh, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar. Sikap Sukarno yang memiliki banyak istri pernah menimbulkan gelombang protes dari beberapa kelompok perempuan. Bahkan sempat mendapat sindiran dalam aksi Tritura tahun 1966 yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat.
ADVERTISEMENT
Mengapa Sukarno memiliki banyak istri? Ada jawaban yang beragam, disini saya akan melihat bagaimana Sukarno memperlakukan istri-istri yang ia miliki. Pertama, sebagai ibu negara Fatmawati diberi ruang oleh Sukarno untuk turut aktif dalam kegiatan sosial, jadi peran Fatmawati bukan sebatas menjahit bendera Indonesia.
Ratna Sari Dewi, istri Sukarno berkebangsaan Jepang diberi kebebasan untuk tampil di ranah Internasional, bahkan Ratna Sari Dewi memiliki peran penting dalam hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Setelah Sukarno wafat, Ratna Sari Dewi masih aktif kegiatan di luar negeri. Hartini merupakan istri Sukarno yang aktif melakukan kegiatan dengan organisasi perempuan Indonesia. Hal itu dibuktikan ketika ia mengunjungi Gerwani di Sumatera Barat. Gerwani adalah sayap organisasi PKI yang menaungi kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Sekedar informasi, kala itu banyak sumber yang mengatakan tidak semua anggota PKI sepakat dengan pemberontakan yang dilakukan D.N Aidit, bahkan karena minim informasi, banyak anggota PKI di daerah tidak mengetahui kondisi di Jakarta, hal ini adalah ungkapan dari Nadiani Saridin selaku mantan pengurus Gerwani dalam sebuah wawancara di media. Jadi meski Hartini turut mengikuti kegiatan bersama Gerwani bukan berarti Hartini turut menjadi simpatisan PKI.
Sebagai penutup, yang saya maksud dengan Sukarno, istri banyak simbol emansipasi adalah Sukarno ingin menunjukkan kepada kaum perempuan jika seorang istri bisa turut serta dalam aktivitas publik, bukan sekedar menjalankan aktivitas domestik seperti bersolek, masak, dan melayani batin suami. Jika hari ini banyak perempuan aktif di ruang publik merupakan hal wajar, pada masa itu, yang dilakukan istri-istri Sukarno mampu memberi sengatan pada gerakan perempuan dan bisa kita rasakan pada sampai hari ini.
ADVERTISEMENT